Langsung ke konten utama

Meyakinkan Diri

Perempuan itu tersipu malu. Wajahnya antara bahagia dan cemas yang samar.
“Kakak yakin?” tanyaku penasaran.
“Iya.”
“Emang awalnya gimana?”
“Ya gitu....” tatapannya menerawang.
“Seriusan nih gak ragu? Tapi kan sebelumnya kakak gak kenal siapa dia, orangnya bagaimana.”
“awalnya sih juga ragu, takut juga. Haha... bertanya-tanya sendiri, ini beneran gak ya?”
“lha terus?”
“trus karena Kakak masih agak ragu, akhirnya dipanggillah kakak sama dia di depan ustad, ditemani murabbi kakak sama murabbinya dia juga. Akhirnya baca hafalan Qur’an, murojaah di depan ustadnya. Aduuuhh kakak malu banget.” Lagi-lagi wajahnya tersipu kemerahan.
“kalau hafidz itu kan ada tingkatan-tingkatannya ya, kakak baru tahu pas di sana dia tuh udah hafidz tingkat tiga atau berapa gitu, sedangkan kakak baru hafal juz tiga puluh sama dua puluh sembilan.”
Jleb, aku yang mendengarnya pun ikutan merasaaaa... euuummnn.. apa ya, campur-campur.
“Saat itu ya Kakak meyakinkan diri sendiri, mungkin memang ini yang terbaik. Kakak gak punya alasan syar’i lain untuk menolaknya.”
Wow sekali kakak perempuan ini menghempaskan keraguannya untuk menerima pinangan lelaki asing yang bahkan tak pernah ia ketahui wujudnya sebelumnya dengan hafalan Qur’an.
--------------------------------------------------------------------------

Addduuuhhh, aku sendiri jadi merasa minder, kalau nanti tiba saatnya seperti kakak perempuan yang satu ini gimana ya? Tengok hafalan sendiri masih stuck. Perkembangannya lambat. Sebenarnya bukan tentang pasangan yang terlalu bikin meresahkan. Tapi akan jadi ibu yang bagaimana ya aku ini? Bisa gak ya nanti jadi ibu yang tutur bahasanya halus, yang marahnya pun masih tetap dalam kebaikan. bisa gak ya jadi partner yang baik? Bisa gak ya jadi best mom  anak-anak untuk sama-sama belajar mengamalkan Qur’an dan hadits? Addduuuhh gak mungkin juga kan persiapan seperti ini dikebut dalam SKS (Sistem Kebut Sebulan).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Sebuah Nasihat yang (Tidak) Perlu Dimasukkan ke Hati

Jarang-jarang temanku berpendapat sebegini panjangnya. "Ning, selama berhubungan dengan manusia; ketulusan itu utopis banget. Apalagi zaman sekarang. Naif namanya kamu percaya dengan hal itu. Nih ya, mungkin kamu engga sadar; sebenernya orang-orang yang memberi kebaikan mereka ke kamu diam-diam mereka sedang menganggapmu seperti celengan. Suatu saat mereka pasti akan meminta kembali kebaikan itu darimu dalam bentuk yang lain. Lalu ketika kamu tidak bisa atau memilih untuk tidak ingin mengembalikan itu; mereka mulai mengungkit-ungkit aset apa yang sudah ditanamkannya  kepadamu. Kemudian dengan bias, kamu dianggap tidak sadar diri, tidak tahu balas budi, tidak tahu caranya bersyukur pada mereka. See??? Waspada saja kalau banyak orang baik yang terlalu baik disekitarmu, ingat ya; di dunia ini tuh gak ada yang mananya gratisan. Jangan percaya, bohong! Mungkin mulanya kamu sulit melihat ujungnya, tapi pasti ada yang tersembunyi dibalik itu. Terserah sih ma...