Langsung ke konten utama

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi


Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi (Coordinated Management of Meaning-CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita.

Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.”

Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia sosial kita, kita menggunakan berbagai aturan untuk mengontruksi dan mengoordinasikan makna. Maksudnya, aturan-aturan membimbing komunikasi yang terjadi di antara orang-orang. CMM berfokus pada relasi antara individual dengan masyarakatnya. Melalui sebuah struktur hierarkis, orang-orang mengorganisasikan makna dari beratus-ratus pesan yang diterima dalam sehari.

Seluruh Dunia adalah Panggung Sandiwara
Untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman hidup, Pearce dan Cronen menggunakan metafora “teater tanpa sutradara.” Mereka yakin bahwa di dalam hidup, sebagaimana teater, terdapat aktor-aktor yang mengikuti semacam perilaku dramatis dan aktor-aktor lain akan menghasilkan “kekacauan yang memiliki titik-titik pertalian yang terpisah”.

Para teoritikus percaya bahwa dalam dunia teaterikal ini, tidak ada seorang sutradara utama, melainkan beberapa orang yang menunjuk dirinya sendiri sebagai sutradara, yang berhasil untuk menjaga agar tidak terjadi kekacauan.

Alur pembicaraan pada dasarnya adalah suatu produksi teater. Para peserta interaksi menyutradarai drama mereka sendiri dan pada saat-saat tertentu plot cerita menjadi semakin rumit walau tanpa naskah. Ketika para aktor mulai bercakap-cakap, mereka bergantung pada pengalaman akting mereka di masa lampau untuk mencapai kesamaan makna. Bagaimana mereka mengartikan drama tersebut adalah realitas atau kenyataan mereka, tetapi peran yang mereka mainkan dalam drama itu tidak diketahui hingga produksi dimulai. Sampai oada titik ini, para aktor secara terus menerus mengoordinasikan maskah mereka satu sama lain. Pearce dan Cronen mengindikasikan bahwa para aktor yang dapat membaca naskah aktor lainnya akan mencapai kohereni percakapan.

Asumsi-Asumsi Manajemen Makna Terkoordinasi
Asumsi-asumsi tersebut adalah:

1. manusia hidup dalam komunikasi.
Pearce berpendapat bahwa “komunikasi adalah, dan  akan selalu, menjadi lebih penting bagi manusia dari yang seharusnya”. Pearce menolak model-model komunikasi tradisional. Pearce dan Cronen menyatakan bahwa komunikasi harus ditata ulang dan disesuaikan dengan konteks demi memahami perilaku manusia. Ketika peneliti memulai perjalanan dalam pendefinisian ulang, mereka mulai menyelidiki sifat konsekuensial komunikasi (bahwa komunikasi selalu memilki konsekuensi), dan bukannya perilau atau variabel yang menyertai proses komunikasi.

2. manusia saling menciptakan realitas sosial.
Kepercayaan bahwa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka dalam percakapan disebut sebagai konstruktivisme sosial. Konstruktivisme sosial adalah kepercayaan bahwa orang-orang saling menciptakan realitas sosial mereka yang baru. Realitas sosial adalah keyakinan seseorang mengenai bagaimana makna dan tindakan yang sesuai atau tepat dalam sebuah interaksi sosial. Terkadang, pengalama-pengalaman komunikasi ini cukup lancar, namun pada saat lainnya cukup menyulitkan.

3. transaksi informasi bergantung kepada makna pribadi dan interpersonal.
Makna pribadi didefinisikan sebagai makna yang dicapai ketika seseorang berinteraksi dengan yang lain sambil membawa pengalaman-pengalamannya yang unik ke dalam sebuah interaksi. Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal. Makna interpersonal mungkin akan memakan waktu karena bersifat kompleks dan dihadapkan pada berbagai isu komunikasi. Cushman dan Whiting menyatakan bahwa makna interpersonal harus sering dinegosiasikan sehingga aturan-aturan makna tersenut bergeser dari “penggunan dalam lingkup pribadi” menjadi “penggunaan standar (dapat digunakan bersama).” Berbagi makna simbol-simbol tertentu menjadi lebih sulit karena adanya kenyataan bahwa makna dari banyak simbol seringkali tidak pernah dinyatakan dengan jelas.

Hierarki dari Makna yang Terorganisasi
Menurut para teoritikus CMM, manusia mengorganisasikan makna secara hierarkis. Teoritikus CMM mengemukakan enam level makna: isi, tindak tutur, episode, hubungan, naskah kehidupan, dan pola budaya.
1. Level isi merupakan langkah awal dimana data mentah dikonversikan menjadi makna.

2. Tindak tutur adalah level dimana tindakan yang kita lakukan melalui berbicara (misalnya bertanya, memberi pujian, atau mengancam). Pearce melihat bahwa “tindak tutur bukanlah benda, tindak tutur adalah konfigurasi dari logika makna dan tindakan dari percakapan, dan konfigurasi ini dibangun bersama.” Seringkali tindak tutur ditentukan baik oleh pengirim maupun oleh respons terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Selain itu, sejarah suatu hubungan juga harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan tindak tutur. Sangat sulit untuk menemukan apa arti sebuah pesan kecuali kita memiliki pemahaman akan dinamika yang terjadi antara partisipan-partisipan yang ada.

3. Episode merupakan rutinitas komunikasi yang memiliki awal, pertengahan, dan akhir yang jelas. Episode mendeskripsikan konteks di mana orang bertindak. Dalam sebuah interaksi, individu-individu mungkin akan memiliki perbedaan dalam menandai atau menekankan sebuah episode. Menandai adalah bagaimana seseorang menginterpretasikan atau menekankan sebuah episode. Perbedaan penandaan akan dapat menghasilkan kesan yang berbeda dari suatu episode, dan karenanya menciptakan perspektif “dalam” dan “luar” terhadap satu episode yang sama.

4. Level hubungan merupaka kontrak kesepakatan dan pengertian antara dua orang.  Level hubungan menyatakan bahwa batasan-batasan hubungan dalam parameter tersebut diciptakan untuk tindakan dan perilaku. Batasan memberdakan antara orang-orang yang termasuk dan tidak termasuk di dalam kontrak. Keterlibatan adalah tingkat batas di mana dua orang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari suatu sistem.
Naskah kehidupan merupakan kelompok-kelompok kehidupan episode masa lalu atau masa kini yang menciptakan suatu sistem makna yang dapat dikelola bersama dengan orang lain.

5. Pola budaya (arketipe) merupakan gambaran mengenai dunia dan bagaimana hubungan seseorang dengan hal tersebut. Hunungan seseorang dengan kebudayaan yang lebih besar menjadi relevan ketika menginterpretasikan makna. Hal ini menjadi penting ketika dua orang dari dua budaya berbeda berusaha memahami perkataan satu sama lain. Pandangan individualisme memprioritaskan kebutuhan atau nilai pribadi di atas kebutuhan atau nilai kelompok (identitas keakuan). Sedangkan pandangan kolektivisme memprioritaskan kebutuhan kelompok di atas kebutuhan individu (identitas kekitaan).

Koordinasi Makna: Mengartikan Urutan
Koordinasi ada ketika dua orang berusaha untuk mengartikan pesan-pesan yang berurutan dalam percakapan mereka. Ada tiga hasil yang mungkin muncul ketika dua orang sedang berbincang: mereka mencapai koordinasi, mereka tidak mencapai koordinasi, dan mereka mencapai koordinasi pada tingkat tertentu. Atau dengan kata lain: koordinasi sempurna, koordinasi tidak sempurna, dan koordinasi sebagian.

Pengaruh terhadap Proses Komunikasi
Koordinasi dipengaruhi oleh beberapa hal, termasuk moralitas dan ketersediaan sumber daya.

1. Pertama-tama, koordinasi mengharuskan individu untuk menganggap tingkatan moral yang lebih tinggi sebagai suatu hal yang lebih penting. Tingkatan moral pada dasarnya merupakan suatu kesempatan bagi individu untuk mengemukakan sudut pandang etis dalam sebuah percakapan. Tiap orang membawa berbagai tingkatan moral ke dalam percakapan untuk menciptakan dan menyelesaikan suatu episode. Kesulitan akan muncul ketika keharusan moral yang tidak konsisten ada dalam percakapan.

2. Kedua, para teroritikus CMM membahas mengenai sumber daya yang merujuk pada “cerita, simbol, dan gambar yang digunakan oleh orang untuk memahami dunia mereka.” Sumber daya juga mencakup persepsi, kenangan dan konsep yang membantu orang mencapai koherensi dalam realitas sosial mereka. Orang membawa sumber daya yang berbeda dalam sebuah percakapan, mengakibatkan orang lain untuk merespon yang lainnya berdasarkan pengelolaan makna mereka sendiri.

Aturan dan Pola Berulang yang Tidak Diinginkan
Salah satu cara yang digunakan individu dalam mengelola dan mengoordinasikan makna adalah dengan penggunaan aturan. Bagi Pearce dan Cronen, aturan memberikan kesempatan pada orang untuk memilih alternatif-alternatif yang ada. Pearce dan Cronen mendiskusikan dua tipe aturan, yakni konstitutif dan regulatif.

Aturan konstitutif mengorganisasikan perilaku dan membantu kita untuk memahami bagaimana makna harus diinterpretasikan. Contohnya, mengatakan “aku mencintaimu” akan memiliki dampak yang berbeda ketika hal itu dikatakan kepada teman sekamar, anggota keluarga, kekasih atau bahkan rekan kerja.

Aturan regulatif merujuk pada urutan tindakan yang dilakukan oleh seseorang, menyampaikan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam sebuah percakapan. Singkatnya aturan regulatif adalah tuntunan bagi orang-orang dalam berperilaku.

Jika dua orang berseteru, mereka akan terlibat dalam hal yang disebut oelh Cronen, Pearce dan Linda Snavely sebagai pola berulang yang tidak diinginkan. Pola berulang yang tidak diinginkan adalah episode konflik yang berurutan dan terjadi berulang kali yang terjadinya sering tidak diinginkan oleh individu yang terlibat konflik. Para peneliti menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena dua orang yang memiliki dua sistem aturan yang berbeda mengikuti suatu struktur yang mengharuskan mereka untuk menjalankan perilaku tertentu, tidak peduli konsekuensi apa yang muncul.

Rangkaian Seimbang dan Rangkaian Tidak Seimbang
Hierarki makna yang ditampilkan sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa level yang rendah dapat merefleksikan ulang dan memengaruhi makna dari level-level yang lebih tinggi. Pearce dan Cronen menyebut proses berefleksi ini sebagai rangkaian. Rangkaian adalah kemampuan suatu level dalam hierarki makna untuk berefleksi.

Rangkaian seimbang adalah aturan makna konsisten di seluruh bagian rangkaian atau ketika rangkaian berjalan secara konsisten melalui tingkatan-tingkatan yang ada dalam hierarki.

Pada saat-saat tertentu, beberapa episode dapat menjadi tidak konsisten dengan level-level yang lebih tinggi di dalam hierarki yang ada. Hal ini disebut rangkaian tidak seimbang di mana aturan makna berubah-ubah di keseluruhan rangkaian. Rangkaian tidak seimbang biasanya muncul karena adanya komunikasi intrapersonal yang terjadi saat-saat individu-individu sedang sibuk dengan dialog internal mereka mengenai sikap mereka yang merusak diri mereka sendiri. Rangkaian tidak seimbang akan terus berulang seperti sebuah lingkaran setan.

referensi: West | Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi. Salemba Humanika

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

This Is Not My Passion

Disemester ini, semester enam, rasanya seperti kehilangan semangat. Lost my passion. Malas banget. Kuliah rasanya gak nyaman. Dateng sih dateng. Raganya ada, tapi pikirannya gak tahu kemana. Parah banget ya. Gak cuma kuliah, organisasi pun juga lagi malas. Minggu-minggu ini cuma jadi pengamat aja. Dan hari ini ada setumpuk agenda, tapi akhirnya kuputuskan dirumah saja. Alias bolos. Gak kuliah, gak datang tahsin, dan gak datang kajian. Yaampun, devil sedang berjaya nih. Kuliah rasanya begitu-gitu doang. Dari semester ke semester dosennya itu-itu lagi, dengan cara mengajar yang gitu lagi gitu lagi. Ada sih dosen yang ajib, kalau beliau ngajar gak sekedar transfer ilmu, tapi transfer emosi juga. Kita diajak diskusi. Diajak mikir beneran mikir. Kalau kami salah, dikasih tahu yang benar. Bukan tipe dosen yang bisanya cuma menghakimi. Walaupun mata kuliah yang beliau ajar termasuk yang sulit dipahami, tapi ngajarnya enak. Aku pribadi enjoy, gak males-malesan masuk ke kelas beliau. Y

Brosur Profil Perusahaan

Tugas mata kuliah Sistem Multimedia bersama Ahmad Fauji dan Leo Susanto