Langsung ke konten utama

Profesi Membangun Peradaban

Menjalani hidup sebagai seorang dosen adalah sebuah profesi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Perasaan nervous tentang ilmu yang belum seberapa dan pengalaman dalam dunia praktis yang masih minim bisa dibilang sempat menjadi kekhawatiran tersendiri. Tapi bukan berarti kekhawatiran itu jadi palu untuk memukul mundur. Justru ketika dijalani, kekhawatiran tersebut berubah menjadi tantangan tersendiri untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai seorang dosen. Sebelum terjun ke dalam misi ini, saya sempat di-braindstorming oleh salah satu senior sekaligus dosen saya selama dua jam lebih. Kami berdiskusi tentang bagaimana semestinya menjalani pilihan hidup yang satu ini. Saya berterima kasih sekali pada beliau yang sudah berbagi pengalamannya secara terang-terangan pada waktu itu. Pencerahan dari beliau sedikit banyak memberi solusi dan kemantapan untuk menjalani profesi ini dengan sepenuh hati.

Kalau ditanya apa saja suka duka sebagai dosen muda, wah nano-nano rasanya. Mulai dari dipanggil kak di kelas, dikira mahasiswa oleh satpam kampus, dikira mahasiswa oleh mahasiswa sendiri, bahkan ada juga orang lain yang belum percaya kalau diseperembat abad usia saya ini sudah menjadi dosen; terlalu muda pikirnya. Lucu juga sih. Terlepas dari itu semua ternyata mengajar membuat saya lebih banyak belajar. Bukan hanya tentang materi pelajaran, tapi juga tentang ribuan karakter manusia dengan segala keunikannya. Selain itu hal yang berkesan lainnya adalah kita bisa saling berbagi hal-hal menarik.

Satu hal yang saya sadari bahwa menyandang status sebagai dosen bukanlah perkara ringan, karena ada tanggung jawab moral di dalamnya. Menjadi seorang pengajar sekaligus pendidik. Ini bukan hanya soal mentransfer ilmu dan pengetahuan, tapi juga mentransfer emosi, nilai-nilai kebaikan dan rasa penasaran intelektual yang dengan bekal ini diharapkan mereka terus bisa semangat belajar di universitas kehidupan. Jadi belajarnya tak sekedar selesai ketika mereka dinyatakan lulus kuliah, tapi ada pembelajaran seumur hidup (long life learning).

Ilmu pengetahuan dan teknologi akan terus berkembang, siapa yang tidak menguasainya akan tersisih. Setelah adanya berbagai macam revolusi dunia, mungkin beberapa tahun mendatang kita akan tiba pada masa revolusi teknologi (ICT). Beberapa gejalannya sudah mulai terasa di abad ke-21 ini, salah satunya adalah fenomena kebangkitan internet dan disrupsi. Perkembangan pengetahuan yang ada di masyarakat dan ilmu pengetahuan dalam pendidikan memang saling berkejaran. Meskipun institusi pendidikan bisa dibilang sebagai salah satu institusi yang lama berkembang, tapi pendidikan bukan berarti harus ketinggalan zaman. Ali bin Abi Thalib berpesan bahwa “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dari masamu.”

Mengajar dan mendidik, mentransmisikan nilai-nilai kebaikan adalah pekerjaan membangun peradaban. Belajar dari sejarah, sebuah peradaban tidak selamanya berada pada kondisi konstan, kadang ia tumbuh, bangkit, atau bisa juga runtuh tatkala masyarakat gagal mewariskan moral dan nilai-nilai kebaikan yang utama pada generasi berikutnya.

Saya juga percaya bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk memutus rantai kebodohan dan kemiskinan. Tentunya pendidikan dalam hal ini bukan hanya pendidikan dalam hal kognitif dan kemampuan/keterampilan, tapi juga sikap dan karakter. Sebab dengan memiliki pengetahuan orang bisa saja menjadi kaya, tapi belum tentu mulia jika tidak dibarengi dengan karakter yang positif.

Maka idealisme atau cita-cita saya hari ini bukanlah sekedar mencetak generasi-generasi penghafal yang hanya bisa memindahkan teks dari buku ke kepalanya dan menyalinnya kembali saat ujian. Bukan juga generasi robot yang hanya akan melakukan hal-hal mekanis dan terjebak rutinitas. Bukan, bukan itu. Saya berharap mereka yang akan menjadi generasi mendatang bisa menjadi generasi otentik yang mampu menjadi bagian dari solusi yang bisa menjawab tantangan zamannya. Semoga  semakin banyak generasi berkarakter baik yang mau membangun negeri ini menjadi lebih baik.

---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IBNU KHALDUN

Biografi Ibn Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M.  

Sebuah Nasihat yang (Tidak) Perlu Dimasukkan ke Hati

Jarang-jarang temanku berpendapat sebegini panjangnya. "Ning, selama berhubungan dengan manusia; ketulusan itu utopis banget. Apalagi zaman sekarang. Naif namanya kamu percaya dengan hal itu. Nih ya, mungkin kamu engga sadar; sebenernya orang-orang yang memberi kebaikan mereka ke kamu diam-diam mereka sedang menganggapmu seperti celengan. Suatu saat mereka pasti akan meminta kembali kebaikan itu darimu dalam bentuk yang lain. Lalu ketika kamu tidak bisa atau memilih untuk tidak ingin mengembalikan itu; mereka mulai mengungkit-ungkit aset apa yang sudah ditanamkannya  kepadamu. Kemudian dengan bias, kamu dianggap tidak sadar diri, tidak tahu balas budi, tidak tahu caranya bersyukur pada mereka. See??? Waspada saja kalau banyak orang baik yang terlalu baik disekitarmu, ingat ya; di dunia ini tuh gak ada yang mananya gratisan. Jangan percaya, bohong! Mungkin mulanya kamu sulit melihat ujungnya, tapi pasti ada yang tersembunyi dibalik itu. Terserah sih ma...

Itinerary Gunung Papandayan 2018

Pendakian saya ke Gunung Papandayan kali ini ditemani oleh 4 orang. Pertama Amir, dia adalah teman sekelas saya ketika S1 di jurusan komunikasi. Kedua ada Ajeng, teman satu kampus, satu organisasi, juga teman mengaji bareng. Ketiga Esa, Esa adalah teman sekelasnya ajeng di jurusan teknik informatika. Dan terakhir ada Ryan. Ryan adalah temannya Amir. Kami berlima janjian untuk bertemu di titik kumpul Terminal Kampung Rambutan. Saya datang pertama, kemudian Ajeng dan Esa. Sambil menunggu Amir dan Ryan, kami bertiga makan malam dahulu dengan nasi padang. Tak lama kemudian Ryan tiba. Setelah Amir datang dan semua anggota lengkap kami langsung naik bis ekonomi AC meluncur ke Garut.  Kami berangkat sekitar jam sembilan malam. Tiba di Terminal Guntur-Garut jam setengah tiga pagi. Udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Di sini saya dan teman-teman sempat diminta oleh seorang pemuda untuk memberinya sekian uang. Sepertinya ia mabuk, terlihat dari pupil matanya dan mulutnya ya...