Langsung ke konten utama

1803 MDPL

Perjalanan tak terduga di tanggal 5-6 April 2018 ini berawal dari ajakan Dina Juniar Anggraini yang juga diajak mendaki oleh teman SMPnya, Deri. Dina chat malam tanggal 30 April, dan pekan itu memang agak kosong akhirnya saya langsung memutuskan untuk gabung. Pelipur lara karena batal ke Ijen. Jarak 5 hari tanpa latihan fisik buat naik. Sikat saja deh, toh katanya naik ke puncak Kencananya hanya sejam perjalanan. Sepertinya tidak akan berat, sepertinya lho ya.

Gunung Kencana terletak di kawasan Puncak Bogor. Lokasinya tidak jauh dari perkebunan teh Gunung Mas. Kami Bertiga memulai perjalanan pukul setengah dua belas siang dengan motor. Matahari cukup terik dan hampir berada tepat di atas kepala. Kami sengaja melewati jalan alternatif untuk menghindari kemacetan di Bogor Kota. Rute yang kami tempuh melalui jalan raya Bogor-Sentul-Bukit Pelangi-kemudian masuk ke jalur jalan raya Puncak. Medan jalan di Bukit Pelangi sendiri berupa tanjakan dan turunan dengan aspal yang lumayan bagus. Baru kali ini saya merasakan rasanya  mendaki digabung touring. Pertama kalinya juga saya merasakan menyetir motor melalui tanjakan di jalan beraspal tapi kecepatannya tak bisa lebih dari 60 km/jam. 

Di portal masuk kawasan Gunung kencana, kami beristirahat sekitar 30 menit sambil lapor pada petugas setempat. Melewati portal masuk artinya mengucapkan selamat tinggal pada kenyamanan jalan beraspal. Medan jalan sesudah portal adalah jalananan bebatuan yang sangat tidak rata. Bukan hanya jalanan batunya yang terjal, tetapi juga banyak tanjakan dan turunan. Off road. Baru lima belas menit melewati jalan ini, saya sudah rindu pada jalan beraspal yang biasa saya lewati. Apalagi ban motor matic saya memang bukan dirancang untuk jalanan berbatu. Beberapa kali Dina terpaksa turun dari boncengan karena motornya tidak kuat. Sudah di gas sampai full tetap tidak bisa naik dong, luar biasa!. Gas-rem-gas-rem-gas-rem dan harus ekstra hati-hati. Jalanan bebatuan ini mengajarkan tentang kesabaran, berani keluar dari zona nyaman, belajar beradaptasi dengan segala medan, dan untuk terus bergerak sampai tujuan.

Jalanan bebatuan
Istirahat sejenak

Dari tempat masuk awal, kita akan disuguhi oleh pemandangan kebun teh. Kemudian diteruskan hingga melewati SD Cikoneng (satu-satunya sekolah yang saya lihat di daerah ini) dan terakhir tiba di Kampung Lembah Cadangan. Kampung kecil ini hanya terdiri dari beberapa rumah. Kami tiba di basecamp Kampung Lembah Cadangan pada pukul 14.30 WIB. Kemudian kami beristirahat sebentar untuk sholat dan makan sekaligus menitipkan motor. Di basecamp ini juga tersedia beragam makanan berat seperti nasi goreng, nasi putih dan telur; kopi, teh, juga makanan ringan, obat-obatan serta bensin. Kami mulai lanjut mendaki dengan berjalan kali pukul 15.30 WIB. Ternyata banyak juga yang ingin mendaki di Kencana.

Jam empat lewat sedikit kami sampai di pos 1. Tiket simaksi bisa diurus di sini. Perjalanan dilanjutkan melewati tanjakan Sambalado. Trek pendakian bisa dibilang cukup aman karena sudah berbentuk tangga. Tapi jangan berekspektasi kalau tangga-tangga ini adalah tangga yang mudah. Karena anak tangganya cukup tinggi, bahkan kalau diperkirakan ada yang intervalnya lebih dari setengah meter. Melewati anak tangga di tanjakan Sambalado otomatis mulut bawaannya selalu ingin berdzikir. Astaghfirullah, Allahu Akbar, Masya Allah… Sesuai namanya, terasa pedas-pedas bagaimana begitu, huuuh haahh huuhh haaah. Kalau diingat-ingat jalur pendakian via Gunung Putri yang terkenal cukup terjal rasanya tak sepedas ini.

Pos 1 tempat mengurus simaksi
Tanjakan Sambalado

Kami tiba di puncak Kencana sekitar jam setengah enam sore. Puncak sedang penuh dengan kabut, jadi kami tidak bisa menangkap momen matahari terbenam. Kami bergegas cari lahan dan pasang tenda, Alhamdulillah dibantu sama mas-mas tenda sebelah. Mohon dimaklumi ya dua kru perempuan dari Bos Deri minim pengalaman pasang tenda, hehe. Terima kasih untuk mas-mas baik hati.

Puncak penuh kabut
Dibantu pasang tenda

Setelah maghrib, kami memasak untuk makan malam. Menunya adalah spaghetti. Menurut petuah Deri, spaghetti dan sejenisnya itu lebih baik daripada mie instan. Kalau mau bawa makanan ke gunung coba dilihat dulu kandungan kalorinya agar lebih efisien. Petuah lainnya tentang ultralight hiking. Teknik pendakian dengan membawa peralatan dan perbekalan yang ringan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip prosedur keamanan dan kenyamanan. Misal saat membawa sleeping bag, selain dipilih berdasarkan kenyamanannya, perlu juga dipertimbangkan beratnya. Oke bos, akan diingat petuahnya. Terima kasih lho sudah berbagi ilmu. Meski galak, Bos Deri tetap leader yang terbaik dipendakian kali ini.


Membahas tentang ultralight hiking, jadi terpikir Dina. Bagaimana jadinya bawaan Dina ya? Hihi.. Dina itu teman perjalanan paling sabar dan pengertian pokoknya. Cocok dinobatkan jadi Mom of the journey. Ini kali kedua saya mendaki bareng Dina. Seru kalau jalan sama Dina, ada saja cerita dan hal yang bikin tertawa. 

Malamnya eksperimen foto cahanya sebentar, ternyata ini menarik! Oiya rasanya langit sedikit lebih dekat, bulan dan bintang juga terlihat lebih jelas dari tempat ini. Suara-suara khas binatang hutan juga ramai menghiasi malam. Beradu orkes dengan suara nyanyian tetangga pendaki sebelah. Setelah itu lanjut tidur agar bisa bangun dini hari.


Sekitar tengah malam, saya terbangun karena tenda sebelah ribut dengan pacet. Hutan tropis memang banyak pacetnya sih. Perlu berhati-hati dengan mahluk penghisap darah yang satu ini. Oiya, di gunung ini kalian bisa memilih mau camping atau sekedar tektokan lho.

Senangnya pada dini hari kabut sudah tak setebal semalam. Saatnya berburu foto lampu kota. Melihat lampu-lampu kota dari kejauhan seperti melihat langit malam penuh bintang.

Bulan dilihat dari Puncak Kencana
Pemandangan lampu kota

Posisi matahari terbit di Gunung Kencana, cukup perhalang oleh pepohonan. Tapi sorotan cahayanya menjadi indah karena tepat jatuh pada pemandangan Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak di seberang. Good morning, Sun! All praises to Allah. Bersyukur banyak-banyak Allah sudah kasih kesempatan untuk hidup, sudah beri kenikmatan berupa kesehatan dan panca indera. Nikmat yang benar-benar mahal. Dan ini oleh-oleh foto saat matahari terbit. Enjoy!

Siluet pohon saat matahari terbit
Matahari mulai tinggi
Gunung Gede-Pangrango
Suka dengan pendaran cahaya di horizon ini,
Gunung Salak masih belum terlalu terlihat
1803 mdpl

Beautiful!

Sekitar jam 10 kami bersiap untuk turun. Sama seperti naik, turunnya pun juga tidak mudah. Kalau treknya mulus bisa sambil main perosotan ini. Waktu tempuh dari atas ke pos satu hanya sekitar 45 menit. Jam dua belas kurang kami sudah tiba di basecamp Kampung Lembah Cadangan Kembali.
Bagian bawahnya tak terlihat, udah hampir 90 derajat kemiringan ini.

Kuatkan tekad naik turun tangga semacam ini

Waktu turun sempat bertemu dengan kelompok anak-anak dan tutornya. Tutor itu tanya tentang kondisi di atas karena dapat info katanya terjadi longsor. Sebenarnya yang longsor di bagian lain, jalur utama pendakian masih aman.
“Mba di atas abis ngapain? Belajar ya?” tanya si tutor.
“Belajar?” tanya saya.
“Iya navigasi darat.” Si tutor melanjutkan.
“ohh engga kok, cuma camping aja.” 
Hemn, ilmu navigasi darat yang pernah saya pelajari sudah menguap. Dulu pernah belajar waktu masih aktif jadi anggota pecinta alam di SMA, tapi sekarang kebanyakan lupanya. Cara pakai kompas tembak juga tak ingat, sekarang lebih paham bagaimana menggunakan gmaps. Aktif hiking lagi pun karena terkena virusnya Dina, hehe.

Pulangnya tentu melewati jalan bebatuan itu lagi. Saya dan Dina sempat jatuh dari motor karena tak bisa mengerem saat terkena batu terjal di turunan. Untungnya tidak parah karena masih jatuh tertahan, cuma agak senut-senut sedikit. Maaf ya Dina saya bawa kamu jatuh. Rute yang diambil waktu pulang berbeda, kali ini lewat Kampung Arab. Jangan tanya jalurnya bagaimana, karena ternyata lebih terjal dan curam dibanding jalur yang awal. Berkali-kali harus berhenti istirahat dan atur napas untuk bisa turun dengan selamat. Dina pun terpaksa turun jalan kaki dulu.
“Din, kok ngelewatin turunan ini aku berasa naik gunung dua kali ya?” 
“iya, dan aku ngerasa turun gunung dua kali ini.” Jelas Dina.
“Hehe, iya sih.”
Akhirnya saya sampai pada batas, tidak kuat untuk boncengan saat turun. Saya khawatir nanti Dina ikut jatuh lagi. Dina pun pindah ke motor Deri dan saya bawa dua carrier. Rasanya senang sekali waktu menemukan lagi jalanan beraspal. Balik dari sini, cita-cita saya bertambah satu: jadi Menteri Pembangunan yang misi utamanya membuat jalan menjadi mulus hingga pelosok.

Alhamdulillah sekitar jam empat lewat kami sudah tiba kembali di Depok. Petuah dari Dina berikut rasanya akan sayang jika dilewatkan: Tujuan dari setiap perjalanan adalah untuk kembali pulang. Bukan asal pulang, tapi juga harus selamat (Dina, 2018). Iya banget kan, pulang dengan selamat menjadi sesuatu yang bernilai. Terima kasih untuk Dina dan Deri, senang bisa jadi teman perjalanan kalian.

Semoga nanti bisa main bareng lagi

Sajak Jangan
Yang tak mau kurus, jangan naik gunung.
Yang tak mau letih, jangan naik gunung.
Yang tak mau kotor, jangan naik gunung.
Yang tak mau kepanasan di siang hari, jangan naik gunung.
Yang tak mau kedinginan di malam hari, jangan naik gunung.
Yang tak mau mengenal alam, jangan naik gunung.
Yang tak mau mengenal diri sendiri, jangan naik gunung.
Yang tak mau mengenal teman seperjalanan, jangan naik gunung.
Yang tak mau berbagi kesulitan dan kesenangan, jangan naik gunung.
Yang tak mau mengenal penciptanya, jangan naik gunung.
Jangan! 
Jangan tanyakan pada kami dengan segala ketidaknyamanan itu mengapa lagi-lagi tidak membuat kami kapok mendaki, justru malah kembali lagi. Serius, kamu harus rasakan sendiri sensasinya dan menemukan jawaban versimu sendiri.


Salam dari kami yang jatuh cinta pada alam dan perjalanan.

*Bonus: Itinerary Perjalanan*
Bensin= 30.000
Madu 2 @2.000= 4.000
Gorengan 1 @1.000= 1.000
Makan siang nasi goreng = 12.000
Simaksi= 20.000
Toilet 2 @2.000= 4.000
Snack+air+obat+makanan= 70.000

Total: 141.000

#sabtulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IBNU KHALDUN

Biografi Ibn Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M.  

Sebuah Nasihat yang (Tidak) Perlu Dimasukkan ke Hati

Jarang-jarang temanku berpendapat sebegini panjangnya. "Ning, selama berhubungan dengan manusia; ketulusan itu utopis banget. Apalagi zaman sekarang. Naif namanya kamu percaya dengan hal itu. Nih ya, mungkin kamu engga sadar; sebenernya orang-orang yang memberi kebaikan mereka ke kamu diam-diam mereka sedang menganggapmu seperti celengan. Suatu saat mereka pasti akan meminta kembali kebaikan itu darimu dalam bentuk yang lain. Lalu ketika kamu tidak bisa atau memilih untuk tidak ingin mengembalikan itu; mereka mulai mengungkit-ungkit aset apa yang sudah ditanamkannya  kepadamu. Kemudian dengan bias, kamu dianggap tidak sadar diri, tidak tahu balas budi, tidak tahu caranya bersyukur pada mereka. See??? Waspada saja kalau banyak orang baik yang terlalu baik disekitarmu, ingat ya; di dunia ini tuh gak ada yang mananya gratisan. Jangan percaya, bohong! Mungkin mulanya kamu sulit melihat ujungnya, tapi pasti ada yang tersembunyi dibalik itu. Terserah sih ma...

Itinerary Gunung Papandayan 2018

Pendakian saya ke Gunung Papandayan kali ini ditemani oleh 4 orang. Pertama Amir, dia adalah teman sekelas saya ketika S1 di jurusan komunikasi. Kedua ada Ajeng, teman satu kampus, satu organisasi, juga teman mengaji bareng. Ketiga Esa, Esa adalah teman sekelasnya ajeng di jurusan teknik informatika. Dan terakhir ada Ryan. Ryan adalah temannya Amir. Kami berlima janjian untuk bertemu di titik kumpul Terminal Kampung Rambutan. Saya datang pertama, kemudian Ajeng dan Esa. Sambil menunggu Amir dan Ryan, kami bertiga makan malam dahulu dengan nasi padang. Tak lama kemudian Ryan tiba. Setelah Amir datang dan semua anggota lengkap kami langsung naik bis ekonomi AC meluncur ke Garut.  Kami berangkat sekitar jam sembilan malam. Tiba di Terminal Guntur-Garut jam setengah tiga pagi. Udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Di sini saya dan teman-teman sempat diminta oleh seorang pemuda untuk memberinya sekian uang. Sepertinya ia mabuk, terlihat dari pupil matanya dan mulutnya ya...