Taman kota
siang ini tak begitu ramai. Sembunyi
dibalik dahan rindang pohon beringin dari ganasnya terik matahari memang terasa
lebih nyaman. Apalagi ditemani segelas es doger merah muda kesukaan Rara. Tapi
entah dari mana suara seseorang tiba-tiba mengejutkan keheningan taman itu.
“Raraaaa!”
“Huhuhu mau
cerita. Emnn.. tapi darimana ya?” Gea, perempuan tomboy dengan potongan
rambutnya yang pendek setelan kemeja dan jeans duduk disamping Rara dengan
wajah mirip layangan singit. Cemberut.
“cerita apa?
Haha, lucu banget sih kamu, Ge. Datang-datang bikin gempar.”
“ihh, lagi
sebel tahu! Sruupp... sruppp” sambil meneguk es doger milik Rara tanpa permisi.
“iya,
yasudah. Cerita aja. Tapi esnyaaaa.....”
“hehe, maaf
Ra, panas banget, haus jadinya. Jadi ceritanya tadi tuh...” Gea mulai serius
bercerita.
***
Pagi hari di
rumah Gea.
“Gea, kamu
itu perempuan! Jadilah perempuan yang semestinya. Yang lemah lembut, yang
cantik, ehhh ini mah kelakuan mirip anak laki-laki. Hobinya main motor, panjat
tebing, jalan-jalan. Liat tuh, Ihhhh
muka kamu isinya jerawat semua. Aduh anak mama yang ini kok beda banget yah,
heran deh.”
Protes mama
Gea melihat anaknya yang pagi ini sudah mau tancap gas dengan motornya.
“hha?
Cantik? Gea gak kepikiran mau jadi cantik. Gea gak mau jadi cantik ma.”
Mama Gea
geleng-geleng kepala, tak mengerti dengan pikiran anaknya. Yang mama Gea tahu,
gadis seusia anaknya biasanya berlomba-lomba untuk terlihat cantik. Tapi ada
apa dengan anaknya ini?
“ya ampun
Gea, kalau begini terus mana ada orang yang mau sama kamu, Ge.”
“Ma, Gea gak
mau jadi cantik kalau yang orang lain nilai itu hanya dari kecantikan fisik
Gea. Gea gak suka setiap kali ada laki-laki menatap perempuan dengan tatapan
mupeng karena kecantikan fisik perempuannya. Yah walaupun perempuan itu sudah
berjilbab sekalipun, menutup aurat, menjaga kecantikannya. Tapi Gea bisa
ngerasain ma, tatapan mereka berbeda.” Gea menghela napas. “Gea benci ma, untuk
sebuah kata ‘cantik’ perempuan rela berjam-jam mematung di depan kaca,
bertanya-tanya apakah dirinya sudah cantik atau belum. Atau menghabiskan uang
yang jumlahnya tak sedikit untuk membeli produk-produk yang katanya bisa
membuat mereka cantik. Gea gak ngerti sebenarnya mereka cantik untuk apa? Untuk
siapa?”
Kata-kata Gea
meluncur tajam ke hati, mama Gea mulai memikirkan mungkin ada benarnya apa yang
dikatakan anaknya. Mama Gea terharu, ternyata dibalik ke-tomboy-an Gea, dia
punya pikiran lain yang mungkin hanya dimiliki beberapa anak perempuan
seusianya.
“Gea..”
tangan mama Gea mendarat halus mengusap kepala anaknya,” tapi jerawatmu juga
harus disembuhin, jangan bikin peternakan jerawat juga. Kan jadi mama yang
geregetan kalau lihat kamu.”
“aaaaa sakit
ma.. iya iya” usapan halus mama Gea berubah jadi hantaman keras saat menyentuh
salah satu jerawat Gea yang lebih kelihatan seperti bisul. Gea kelabakan,
berusaha mengusap-usap wajahnya menghilangkan nyeri tadi. “Udah ah ma, pokoknya
Gea berangkat dulu. Assalamu’alaykum.”
***
“ummmnn...
begitu.” Rara mengangguk-angguk mendengar cerita Gea. Iya benar juga apa yang
dipikirkan Gea. Gea walaupun tomboy dan punya peternakan jerawat diwajahnya
tapi kalau diperhatikan dia perempuan yang manis dan eksotis. “Ge, kalau begitu
kenapa kamu gak pakai jilbab aja? Kan gak perlu repot-repot juga” lanjut Rara.
“Apa?
Jilbab? Errrrr... masa? Tapi jilbab zaman sekarang tuh aneh Ra. Modelnya macem-macem,
ada yang dililit-lilitlah, yaampun. Kalau mau jilbab syar’i kayak kamu, duhh
gak siap nih. Pengen sih.. doain aja ya. Eh tapi klo aku pakai jilbab aku gak
boleh pakai jeans kesayanganku dong? Trus gak bisa nongkrong bareng teman-teman
motorku dong. Panjat tebing gimana? You know lah, mereka kan kebanyakan cowok. Hha
apa kata dunia?”
“hehehe...”
Rara senyum-senyum saja mendengar celotehan Gea.
Sebenarnya mau Ra, tapi aku gak tahu harus
bagaimana memulainya.
Ada Gejolak
dalam hati Gea, rumit. Apa berjilbab akan mengubah semuanya? Apa ini akan
membunuh karakter Gea? Atau ini justru membuat Gea jadi cantik, setidakya dimata
Tuhan-Nya? Gea masih bimbang.
Komentar
Posting Komentar