Langsung ke konten utama

Ramadhan di hati, Ramadhan di nanti


Ramadhan di hati, ramadhan dinanti.

Begitulah bunyi slogan yang kubaca disebuah pamflet acara kampus. Terdengar seperti ironi bagi diriku. Disatu sisi, aku memang merindukan ramadhan tahun ini. Di sisi lain, bila teringat ramadhan yang telah lalu, hatiku bak teriris nyeri.

 Ayahku seorang pedagang mainan. Dagangannya selalu laris diburu anak-anak saat-saat bulan ramadhan. Hanya pada saat ramadhan omset penjualan ayah meningkat, di bulan-bulan lainnya sepi. Tak jarang ayah alih profesi kerja serabutan atau bahkan kembali menganggur setelah selesai ramadhan. Lalu, bagaimana hidup kami di bulan lainnya? Pas-pasan, lebih sering minus dan berhutang. Ketika ramadhan tiba, Ayah jor-joran mengumpulkan uang, utamanya untuk melunasi hutang. Sebagai anak, aku bisa bilang apa? Dari dulu memang seperti ini tiap tahunnya.

Ayah, aku ingin sebulan saja, paling tidak saat ramadhan kita bisa menjadi keluarga yang semestinya. Ayah, aku ingin engkau menjadi imam yang patut bagi kami, sebulan saja di ramadhan yang suci. Ahhh ! kata-kata itu tak pernah sampai ke telinga ayah. Kata-kata itu hanya mampu terpendam dan berkarat bertahun-tahun.

Di ramadhan tahun lalu, minggu pertama bulan ramadhan, setiap sore ibu pasti sudah menyiapkan masakan. Ayah menyempatkan diri agar tiba di rumah  maghrib, dan kami berbuka bersama. Kami pergi ke masjid untuk tarawih. Minggu ke dua, ibu masih sibuk menyiapkan masakan. Undangan untuk berbuka puasa bersama teman-teman mulai berdatangan untukku. Ayah makin sibuk bekerja dan pulang makin larut. Tarawih berjamaah mulai bolong-bolong. Minggu ke tiga, ibu tidak lagi sesemangat menyiapkan masakan untuk sahur dan berbuka seperti minggu pertama, dan aku mulai sibuk dengan kegiatan ramadhan di kampus, terlambat pulang ke rumah. Ayah juga tidak pulang, katanya menginap dikontrakan agar lebih mudah bekerja besoknya. Minggu terakhir, sisa-sisa yang mulai enggan untuk diperjuangkan. Semangat ramadhan seperti hampir kehilangan nyawa.

Lebaran tiba, rasanya hanya ritual biasa. Setelah shalat berjama’ah, kami keliling kampung untuk saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Begitu saja, baru terakhir saling meminta maaf diantara keluarga kecil ini. Tapi mengapa aku merasa maaf ini hanya sekedar klise belaka?

Semoga Ramadhan tahun ini berbeda,
Semoga Ramadhan kali ini benar-benar berbeda,
Semoga Ramadhan ini membaik dan membawa berkah
Aaminn ;)
              


Komentar

Postingan populer dari blog ini

IBNU KHALDUN

Biografi Ibn Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M.  

Sebuah Nasihat yang (Tidak) Perlu Dimasukkan ke Hati

Jarang-jarang temanku berpendapat sebegini panjangnya. "Ning, selama berhubungan dengan manusia; ketulusan itu utopis banget. Apalagi zaman sekarang. Naif namanya kamu percaya dengan hal itu. Nih ya, mungkin kamu engga sadar; sebenernya orang-orang yang memberi kebaikan mereka ke kamu diam-diam mereka sedang menganggapmu seperti celengan. Suatu saat mereka pasti akan meminta kembali kebaikan itu darimu dalam bentuk yang lain. Lalu ketika kamu tidak bisa atau memilih untuk tidak ingin mengembalikan itu; mereka mulai mengungkit-ungkit aset apa yang sudah ditanamkannya  kepadamu. Kemudian dengan bias, kamu dianggap tidak sadar diri, tidak tahu balas budi, tidak tahu caranya bersyukur pada mereka. See??? Waspada saja kalau banyak orang baik yang terlalu baik disekitarmu, ingat ya; di dunia ini tuh gak ada yang mananya gratisan. Jangan percaya, bohong! Mungkin mulanya kamu sulit melihat ujungnya, tapi pasti ada yang tersembunyi dibalik itu. Terserah sih ma...

Itinerary Gunung Papandayan 2018

Pendakian saya ke Gunung Papandayan kali ini ditemani oleh 4 orang. Pertama Amir, dia adalah teman sekelas saya ketika S1 di jurusan komunikasi. Kedua ada Ajeng, teman satu kampus, satu organisasi, juga teman mengaji bareng. Ketiga Esa, Esa adalah teman sekelasnya ajeng di jurusan teknik informatika. Dan terakhir ada Ryan. Ryan adalah temannya Amir. Kami berlima janjian untuk bertemu di titik kumpul Terminal Kampung Rambutan. Saya datang pertama, kemudian Ajeng dan Esa. Sambil menunggu Amir dan Ryan, kami bertiga makan malam dahulu dengan nasi padang. Tak lama kemudian Ryan tiba. Setelah Amir datang dan semua anggota lengkap kami langsung naik bis ekonomi AC meluncur ke Garut.  Kami berangkat sekitar jam sembilan malam. Tiba di Terminal Guntur-Garut jam setengah tiga pagi. Udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Di sini saya dan teman-teman sempat diminta oleh seorang pemuda untuk memberinya sekian uang. Sepertinya ia mabuk, terlihat dari pupil matanya dan mulutnya ya...