Best seller sejak cetakan pertama. Inilah judul buku yang dikarang oleh Agus M.
Irkham. Buku yang membahas mengenai buku dan dunia literasi. Dibagian bab satu
buku ini lebih banyak mengulas soal perbukuan. Mulai dari jenis buku, penulis
buku, penerbitan, hingga misteri harga buku. Misteri harga buku? Penasaran kan?
Nah ini ada faktanya. Ternyata harga buku itu tidak selamanya mahal. Ini soal
perbisnisan buku, karena harus berbagi laba antara penulis, penerbit, dan toko
buku. Kalau kamu yang doyan baca
buku, tapi terpaksa patah hati karena buku-buku incaran kamu harganya melejit,
berikut ada beberapa alternatifnya. Kamu bisa saja memborong buku di book fair, dijamin harganya pas dengan
kantong kamu. Atau alternatif kedua, kamu bisa membeli buku langsung ke penerbitnya
atau di toko buku yang dimiliki oleh penerbitnya. Alternatif ketiga even-even
perbukuan atau pameran buku. Dan keempat, datangi lapak-lapak buku disekitar
alun-alun kota atau serambi masjid. Tidak percaya? Silahkan dibuktikan.
Di bab kedua berisi tentang pengalaman-pengalaman pribadi
dan komunitas literasi. Ada cerita tentang sosok kakek Dauzan Farook, seorang
veteran yang mendermakan uang tunjangannya untuk membuat perpustakaan keliling
dan ‘memaksa’ orang-orang disekitarnya untuk mau tidak mau membaca buku
diperpustakaannya. Walaupun dengan taruhan buku-buku koleksinnya ada yang
hilang. “ Membaca sebuah buku adalah
menelusuri padang luas pengetahuan, setiap halamannya mengajarkan kebaikan,
mereka bisa membuat kita berpikir, tertawa dan menangis, mereka menjawab
pertanyaan kita dan menciptakan sahabat terbaik; kecil gemar membaca, dewasa
kian bijaksana; membaca akan menghantarkan putra-putri kita ke gerbang kemajuan
dan kearifan di masa depan; orang tidak membaca hampir kehilangan segalanya.”
Itulah kata-kata sakti kakek Dauzan yang ditempel dibuku-bukunya, inspiratif
sekali!
Saya tahu, kita pasti sering membaca. Tapi dibanding buku
kita lebih terlena membaca status di facebook, twitter, atau sosial media lainnya.
Di bab ketiga buku ini, diceritakan tentang harapan-harapan
dunia literasi. Ada satu cerita yang sangat ironi bagi saya yang dikutip dalam
buku ini. Tentang sebuah karya Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen Pelajaran
Mengarang (Penerbit Buku Kompas, 1993:9-15) yang menceritakan tentang Sandra
(10 tahun), salah satu dari 40 siswa Ibu Guru Tati yang saat itu memberi tugas
untuk mengarang dengan pilihan judul “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan
ke Rumah Nenek”, dan “Ibu”. Kebingungan menyelimuti Sandra lantaran kenyataan
yang ia jalani sama sekali tidak ada yang sesuai dengan ketiga judul tersebut.
Bagaimana ia bisa menulis tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia” sementara
ayahnya tidak jelas siapa. Begitu pula dengan “Liburan ke Rumah Nenek”, orang
yang ia sangka neneknya (lantaran kesamaan ciri biologis: tua, sesuai dengan
status usia: nenek) nyatanya seorang mucikari. Ketika ingin menulis tentang
“Ibu”, Sandra juga mengalami kebingungan yang tak kalah pilunya. Hingga pada
detik-detik akhir dari 60 menit waktu pelajaran mengarang, Sandra hanya dapat
menulis kalimat pendek, “....Ibuku seorang pelacur...”
Banyak pencerahan dalam buku ini. Ternyata membaca dan
menulis, bukan hanya dalam ranah masalah personal, tapi juga masalah sosial.
Komentar
Posting Komentar