Tak
terasa sekarang sudah di akhir penghujung tahun ketiga kuliah di Komunikasi.
Kalau membuka kembali lembaran masa lalu, bisa dibilang komunikasi bukanlah
jurusan yang ingin saya tuju. Dulunya ingin menuntut ilmu di jurusan yang berbau arsitek, statistik, atau
elektro. Hingga suatu hari mendapat kesempatan jalur undangan di kampus
pertanian. Pilihan pertama statistika, yah yang memang di sana statistika itu passing grade-nya cukup tinggi. Pilihan
kedua apa ya? Saya agak lupa, yah
pokoknya yang ada di deretan itulah, tapi yang jelas yang saya pilih itu yang
sama-sama passing grade-nya tinggi.
Dan dipertanyaan: jika kamu tidak masuk ke dalam jurusan yang kamu pilih, apakah
kamu masih mau kuliah di Kampus ini? Dan jawaban saya adalah TIDAK! Entah itu
saya yang nekat, percaya diri, atau terlalu idealis. Tapi yang jelas, jawaban
seperti itu agak gila setelah saya pikir ulang.
Singkat
waktu dapat tawaran juga untuk beasiswa full
kuliah sarjana magister teknik sipil di kampus berlogo obor. Untuk teman-teman
seangkatan, PTS masih dipandang sebelah mata, tidak sedikit yang meremehkannya.
Seperti sudah ada aksioma bahwa jalur kesuksesan itu yang masuk ke Kampus Gajah
Duduk, Kampus Kuning, atau PTN ternama lainnya. Seolah-olah yang kuliah di PTS
itu kemungkinan suksesnya hanya sekian persen. Saya, seperti semua anak yang
ada di posisi tersebut dihadapkan pada pilihan: berani keluar dari jalur mainstream ‘kesuksesan’ dan mengikuti apa
yang menjadi passion saya pada waktu
itu; atau menyia-nyiakan kesempatan
beasiswa penuh selama studi?
Dilema.
Yang jelas pikiran saya waktu itu saya masih mau belajar lagi (mau pakai banget), tapi siapa yang bisa menjamin
bahwa orang tua saya sanggup membiayai ongkos pendidikan yang makin tahun itu
makin mahal hingga saya lulus? Saya adalah anak dari keluarga sederhana, dan
saya tidak ingin jikalau pendidikan yang saya tempuh kemudian biayanya justru
membuat nafas orang tua saya kembang kempis.
Bismillah,
pilihan saya jatuh pada yang pertama. Bisa dibilang dari 250an siswa seangkatan
di SMA saya, saya tergolong yang ‘malas’ mengoleksi ujian masuk ke Perguruan
Tinggi baik itu dengan jalur SNMPTN, ujian mandiri, maupun ujian masuk bersama.
Setelah seleksi di teknik sipil, ternyata hasilnya di luar dugaan, saya belum
diterima. Tapi masih berpeluang besar untuk melanjutkan studi dengan beasiswa
penuh di Komunikasi.
Pertanyaannya
mau atau tidak?
Komunikasi??
Jurusan asing yang bahkan namanya pun tak ada dalam daftar dibenak saya. Mau
belajar tentang apa di sana? Benar-benar buta. Tapi kalau kata teman
seperjuangan, masa mau menolak rezeki demi keegoisan hasrat kita? Ibarat
berharap hujan lebat turun, air di tempayan dibuang. Iya kalau pas musim hujan,
kalau kemarau bagaimana? Kita tak akan dapat apa-apa kecuali penyesalan.
Dan
berusaha memantabkan hati untuk berada di sini, di jurusan Komunikasi. Jadi
ingat saat ditanya oleh guru bahasa Inggris SMA-Maam Hafsah, dalam tenses bentuk kata cinta mana yang kamu
pilih? Saya pilih: I am GOING TO love. Beliau tanya, tahu artinya apa? Going to berarti sesuatu yang akan
datang tapi pasti waktunya. Berbeda dengan will,
yang artinya akan tapi tidak jelas kepastiannya. Dititik awal yang tanpa tahu
apa-apa, saya berusaha, berusaha untuk mengenal komunikasi lebih jauh. Walau
awalnya komunikasi bukanlah passion saya, tapi saya akan berusaha menyukainya,
mencintainya, menerima jurusan ini dengan lapang dada. Saya akan berusaha
menjalani hari-hari di Komunikasi dengan tujuan yang sadar, bukan sekedar upaya
untuk bertahan hidup dari status Drop Out
di empat tahun masa perkuliahan.
Kalau
kata salah satu dosen bahasa Inggris saya: You should know, what do you want to be and
to do! Kita bisa memilih ke
tempat mana yang kita mau, ke tempat mana yang benar-benar kita inginkan. Kalau
komunikasi bukanlah tujuan kalian, tinggalkan saja. Tak usah pikirkan soal
beasiswa. Tapi kalau kalian memilih untuk mantap bertahan, berarti inilah blessing
disguise, anugerah yang tersembunyi dari Allah.
Bicara
soal beasiswa, saya rasa itu bukanlah hal yang hanya pantas diperjuangkan oleh
orang-orang yang belum mampu secara finansial. Bagi saya, beasiswa adalah capaian prestasi. Karena itu, ia butuh penyelamatan
tiap saat. Ia butuh komitmen agar layak disebut prestasi. Kadang saya
mempertanyakan diri sendiri atas tugas-tugas yang saya selesaikan dengan
prinsip ‘asal jadi’. Sebenarnya malu sih, harusnya tugas-tugas itu bisa
diselesaikan dengan usaha yang optimal. Bagi saya, beasiswa artinya juga
tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab terhadap diri sendiri, namun juga
ada nasib orang lain yang dipertaruhkan di dalamnya. Coba saja pikir, saat ini
dirimu sudah mendapat beasiswa, tapi kamu gak bertanggung jawab dengan anugerah
itu, kamu sia-siakan semuanya. Berapa banyak orang-orang di luar sana yang
tidak punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan? Andai bisa bertukar nasib, bisa jadi merekalah
yang lebih layak menerima beasiswa daripada dirimu. Kalau kamu tidak
bertanggung jawab, maka masih pantaskah kamu menyandang status sebagai penerima
beasiswa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu jadi kritisi khususnya bagi
diri saya sendiri.
Ya
Allah, semoga saya (dan juga teman-teman di Komunikasi 2010) bisa konsisten
dalam dinamika kehidupan di Kampus ini. Semoga kami bisa sukses dengan
cara-cara yang Engkau ridhoi, ya Allah. Semoga ilmu yang kami dapat ada nilai
keberkahan dan kebermanfaatan di dalamnya. Ya Allah, semoga Engkau selalu
ilhamkan kepada hamba untuk tetap bersyukur padaMu dalam segala kondisi.
Aamiin.
#perenungan
akhir tahun ketiga
Komentar
Posting Komentar