Jalan
Margonda Raya pukul 22.10 WIB, lengang dan sepi.
Lama
rasanya tak menikmati udara seperti ini dengannya, Dew. Ia masih sama seperti
dulu, tidak pernah santai kalau mengendarai motor, apalagi jalanan sepi, tancap
gas!
Dari
sapa, cerita, dan tanya, juga pertanyaan balik.
“kalau
kamu Ning, bagaimana?” tanyanya yang membuatku menarik nafas sejenak. Salah
satu pertanyaan dari tiga janji, tiga tahun lalu sebelum kami menentukan jalan
masing-masing. Berpikir keras mencari jawaban dalam waktu yang singkat. Tak
ada! Umn, belum ada maksudku. Atau
tepatnya aku tak berani berharap- l.e.b.i.h.
Saat
itu diam-diam kutitipkan doa pada langit, “Allah, jika ku tak mampu lagi
menggenggam tangannya, jangan biarkan mereka lepas dari genggaman-MU. Allah,
jagalah mereka, karena aku masih mencintainya”
***
Sebelum
maghrib, di rumah Yat.
Ia
juga masih sama; perempuan innocent, jujur, dan halus perasaannya. Dew dan Yat
ngobrol sesuatu yang membuatku penasaran.
“Dew
kalau pulang ke Depok apalagi yang bikin heboh, selain konspirasi perjodohan.
Iya kan?”
“hha..
kok tahu sih? Tahu dari mana?”
“ahahaha...
kita kan udah lama temenan. Apalagi coba yang jadi hot topic Ibu sama Bapak kalau Dew pulang?. Hahahahaha..” puas
banget ngetawain ini anak (devilnya keluar).
“gue
setress tahu Ning. Hhaa...” jawab Dew dengan pasrah. Iya juga sih, pasti ni
anak tertekan tiap pulang ada saja nama-nama yang ditawarkan ke dia.
Benar-benar tak terbayang kalau aku yang diposisinya (tiap mendekati liburan
pasti mikir keras gimana caranya menggagalkan perjodohan atau setidaknya
berhenti membuat orang tua untuk menyodorkan nama-nama).
“oiya,
tahu gak Ning? masa gak tahu sih Ning... itu loh.. si Yat!” Dew berusaha
memberi kode.
“apaan
deh Dew. Gak tahu beneran nih..”
“kabarnya
ada di WA.”
“WA?
Hhhaaaa... gak punya WA, jelas gak tahu lah... mau dong baca.”
Tak
berapa lama, Dew menunjukkan isi WAnya dengan Yat.
Wooooww...
surprised! Mataku mengerjap tak
percaya. Allah, kabulkanlah.
Lama
tak berkumpul dengan dua orang ini, banyak hal yang tak terduga.
***
Menjelang
sholat maghrib. Masih sama seperti dahulu zaman SMA, kebiasaan lempar-lemparan
jadi imam kalau jama’ahnya perempuan semua.
“udaaahh..
Ning aja.. Ning kan sekarang jadi (blablaba)?”
entah dari mana Yat tahu.
“iya
Ning. Hush huh..beneran kan?” Dew menimpali.
“.....”
aku masih gamang. Mereka tahu darimana? Dew di Solo, Yat sibuk dengan
kuliahnya. Tak mungkin juga ada orang yang memberi tahu mereka.
“Yat,
tahu dari mana?” selidikku.
“mengamati..
dan sedikit menyimpulkan.” jawabnya.
Bahaya
sekali firasat dua orang ini.
Seperti
resahnya Dew yang diutarakannya satu semester lalu di stasiun kereta, “Ning,
ngerasa gak sih? Makin ke sini kita bertiga itu makin aneh. Dulu kalau kita cerita
suatu hal, harus panjang dan sampai detail untuk membuat satu sama lainnya
mengerti. Tapi semakin ke sini, kita semakin banyak diam. Gak lagi banyak kata
yang kita ucapkan.”
Ya.
Dew benar, ada hal aneh yang tidak bisa dan tidak cukup hanya dijelaskan dengan
kata-kata, bahkan untuk hari ini. Firasat hati.
Komentar
Posting Komentar