Suka
makan di tempat mahal? Resto bermerek? Atau cafe bergengsi?
Kalau
saya sih bukan tipe orang yang sering dan suka makan di tempat itu. Hahaha,
uang jajan satu bulan langsung jebol kalau sering-sering pergi ke tempat
seperti itu. Apabila diminta memilih menghabiskan waktu antara belanja baju,
aksessoris, sepatu, atau hang out di resto? Saya mendingan ke toko buku, kalau
belum ada buku yang ingin dibeli, setidaknya bisa baca-baca. Mengenyangkan
pikiran itu lebih tahan lama daripada mengenyangkan perut.
Tapi
sesekali iseng nyobain makan di salah satu resto pinggir jalan Margonda bareng
teman. Foto makanan yang terpampang besar di dinding resto kelihatannya
menarik. Pas lihat daftar harganya lumayan.
Akhirnya memilih order nasi goreng karena kelihatan difotonya yummy banget. Jeng jeng... pas mbak waitress-nya meletakkan nasi goreng itu
ke meja, saya terenyuh. Kok tidak seperti yang difotonya? Ini porsinya lebih
sedikit dan tampilannya sederhana sekali. Pas dicobain, yaaahh ini mah nasi
gorengnya pakai bumbu jadi, bumbu yang sudah instan yang biasa muncul di iklan
TV. Kecewa~
Sambil
makan sambil iseng-iseng lihat-lihat keadaan sekitar. Di seberang meja kami,
ada pelanggan lain yang pergi, tapi tidak menghabiskan roti bakarnya. Paling
dia hanya makan dua potong kecil. Di daftar harga, roti bakar itu paling murah
sembilan ribu rupiah. kalau ditimbang-timbang, satu porsi roti bakar di resto
ini setara dengan empat roti bakar dengan harga per porsinya seribu di abang
roti bakar keliling. Mubazir kan?. Mengalihkan pandangan ke jalan, ada
mereka-mereka yang hidupnya memulung, mengais-ngais rezeki, memakan makanan
sisa. Tapi kok orang-orang yang rezekinya dilebihkan dari mereka yang hidupnya
sederhana, seperti sewenang-wenang ya sama rezeki yang ada di tangan mereka?.
Dulu pas masih kecil, selalu dimarahin oleh nenek di kampung kalau makan tidak
dihabiskan, walaupun itu hanya sebutir nasi. Nenek bilang, kasihan nanti
nasinya nangis kalau tidak dimakan dan sederetan wejangan lainnya. Nyesek aja
gitu menyadari kejadian seperti ini.
Pernah
juga jajan es krim di cafe yang pemilik aslinya orang korea. Itu gambar es krim
di banner cafenya sampai penuh. Harganya ya lumayan juga. Pas udah dibeli,
kecele lagi. Porsi es krimnya cuma setengah dari porsi es krim yang ada di
banner. Merasa ditipu~
Pernah
juga kawan saya yang bekerja di cafe sekaligus toko kue merek internasional
bilang, “Ning, kalau ditempat kerja saya tuh mahal-mahal memang kuenya.
Sepotong blackforest atau rainbow cake aja bisa tiga puluh ribuan. Tapi
sebenarnya tuh harga aslinya gak nyampe segitu. Mungkin karena toko ini sudah
internasional dan punya asing jadinya gitu. Kalau sisa kue-kue yang gak kejual
aja harganya bisa jatoh banget pas di atas jam sebelas malam jadi tiga ribu
atau lima ribu. Tapi ya itu hanya dijual ke pegawai aja sih, daripada basi.”
Saya
melongo aja mendengar ceritanya? Hhaa jauh sekali harganya. Sampai sekarang,
saya tidak bisa mengerti model bisnis macam ini. Kalau resto di pinggir jalan
memang harga sewa tanahnya lebih mahal, tapi bukan berarti kualitas produk
dengan harga jualnya ada ketimpangan yang cukup jauh begitu. Apalagi yang
mengandalkan merek.
Kalau
saya urutkan secara pribadi:
1.
resto atau cafe bermerek itu tempat lebih nyaman, harganya juga lebih mahal,
tapi kalau soal kualitas makanannya ya tergantung deh.
2.
angkringan/kaki lima itu tempatnya sederhana, harganya bersaing, kalau soal
kualitas makanannya agak diragukan. Tidak tahu itu piring makannya dicuci
dengan higienis atau asal dikucek-kucek yang penting kelihatan bersih doang.
Tapi kalau sudah kepepet lapar, yang penting makan. Hahaha.
3.
makan di rumah, masakan nyokap alias masakan ibu. Nah ini tempat makan favorit
saya. Tempatnya sudah pasti nyaman, di rumah sendiri. Harganya gratis, nol
rupiah, tak perlu bayar, kalau mau nambah silahkan. Kualitas makanannya sudah
pasti OK, dan bersih. Bumbu masakan yang tidak dipunya sama penjual makanan di
resto, cafe, atau angkringan lainnya itu bumbu kasih sayang. Dan ini cuma
dimiliki sama ibu. Para penjual makanan memasak makanan biasanya orientasinya
keuntungan jadi soal kualitas itu nomor sekian, tapi kalau ibu memasak makanan
pasti ingin agar keluarganya bisa hidup sehat. The best deh makan di rumah.
Komentar
Posting Komentar