Langsung ke konten utama

AUGUSTE COMTE

Biografi

            Auguste Comte bernama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte lahir di Montpellier, Perancis selatan pada tanggal 19 Januari 1978. Comte merupakan seorang anak yang lahir dari keluarga bangsawan berdarah katolik. Comte menyelesaikan pendidikannya di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier kemudian melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique namun tidak sempat menghabiskan masa studinya disana. Diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya dan kepada katolikny, hal tersebut merupakan pengaruh dari suasana pergolakan sosial, intelektual dan politik pada masanya.
            Kehidupan intelektual Comte dapat diklasifikasikan menjadi 3 tahapan, yaitu :
1)    Saat bekerja dan bersahabat dengan Hendri de Saint Simon. Pada tahap ini timbul pemikiran tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad pertengahan diganti dengan ilmuan, dan fungsi tentara dialihkan kepada industri.
2)     Saat menjalani proses pemulihan mental yang disebabkan oleh kehidupan pribadinya yang tidak stabil. Pada tahap ini Comte melahirkan karya terbesarnya tentang filsafat positivisme (Cours de Philosophie Positive) yang ditulis pada tahun 1830-1842. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi hal tersebut dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar  pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Ciri pengetahuan menurut Comte, yaitu:
1.  Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan,
2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka,
3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum  itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.
3) Tahap ketiga yaitu saat dimana Comte menulis karyanya yang berjudul A System of Positive Polity (1851-1854). Comte lebih dikenal sebagai praktisi ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik daripada dikenal sebagai seorang filosof karena penjelasan dan prediksinya tentang intuisi dan perilaku sosial.
     Comte menganggap keluarga sebagai kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran dari awal kepada manusia-manusia baru, yakni internalisasi nilai-nilai baru tentunya yang bersifat positif. Comte percaya bahwa perubahan tidak akan datang tiba-tiba dalam suatu masyarakat. Comte pun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan sosial yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga yang mengenalkan individu pada lingkungan sosial, tingkat keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma  (sifat eribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama), terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan  terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma. Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Ini disebabkan karena adanya sosialisas iantara keluarga terhadap keluarga lainnya.

Pandangan Comte terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuan yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat berupa revolusi sosial. Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik. Letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial dalam tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fase perkembangannya bersifat mutlak dan universal. Pada 5 September 1857 Comte yang dikenal sebagai bapak sosiologi itu meninggal dunia.


Pemikiran

            Dari sepanjang perjalanan hidupnya, comte melahirkan beberapa pemikiran penting yaitu :
1)   Comte membagi sosiologi menjadi sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum statis yang menjadi dasar dari adanya masyarakat, mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem sosial. Hal yang menjadi latar belakang dari sosiologi statis adalah bahwa semua gejala sosial saling berkaitan, unit sosial yang penting bukanlah individu tetapi keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Sosiologi dinamis adalah teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Teori dinamika menyangkut masyarakat-masyarakat untuk menunjukkan adanya perkembangan. Comte menyadari betapa perubahan cita-cita akan mengakibatkan terjadinya  perubahan-perubahan bentuk pula.
2)      Tiga tahap intelektual
a.    Tahap teologis, ialah tahap dimana tingkat pemikiran manusia yang beranggapan bahwa semua benda di bumi ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh kekuatan yang ada di atas manusia.  Comte membuat studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang hidupnya masih menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek.
Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Berkembang menjadi monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari.
b.   Tahap metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia.
c.     Tahap positif, adalah tahap dimana manusia telah sanggup berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan secara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental.
3)      Paham positivisme adalah faham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Paham positivisme memiliki asumsi-asumsi antara lain :
·         Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti.
·         Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali.
·         Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

Disini Comte berusaha mengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi untuk mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dari sini Comte mulai mengeluarkan pemikirannya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus.    
Comte menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato. Comte memberikan  penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.
Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul