Kenapa
ilmu komunikasi?
Awalnya
saya tak tahu apa-apa tentang ilmu komunikasi, hingga kemudian skenario Allah membawa saya untuk belajar ilmu
komunikasi. Apa ini sebuah kebetulan? Ooh ternyata bukan, skenario Allah tak
pernah terjadi atas dasar kebetulan.
Bila
menengok masa lalu, ada benang merah tak kasat mata yang menghubungkan antara
rasa penasaran saya dengan komunikasi. Saat itu saya menginjak kelas dua SMA di
kelas XI IPA 1. Sebuah kelas yang dianggap ‘ideal’ dan menjadi tolok ukur bagi
kelas-kelas lainnya. Sebuah kelas yang mayoritas diisi oleh anak-anak dengan prestasi
terbaik dari kelas sepuluhnya. Di kelas itulah adaptasi di lingkungan yang baru
telah dimulai.
Dulu
saya adalah tipe orang yang cuek, to do
point, tidak mudah akrab dan pendiam. Ada seorang teman laki-laki dengan
gaya yang menurut saya agak aneh mengajak berkenalan ke semua teman di kelas
itu, termasuk kepada saya. Saat itu respon saya datar, dengan ekspresi yang
teramat biasa, dan bicara seperlunya. Saya mengamati ekspresinya, bahasa
verbalnya, dan saya menangkap ada sedikit kecewa di matanya (mungkin dia merasa
teman barunya (which is me) tidak
menunjukkan ekspresi yang excited
seperti teman-teman lainnya). Hingga waktu berlalu, saya mengamati bahwa kesan
pertama itu berpengaruh pada interaksi-interaksi yang terjadi kemudian. Ketika
berinteraksi dengan saya dia tidak terlalu antusias dibanding ketika
berinteraksi dengan teman saya yang lain, sebut saja A. A adalah tipe orang
yang pendiam tapi perhatian, murah senyum, dan lebih mudah akrab dengan orang
lain. Saya penasaran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa bisa berbeda
perlakuannya?
Akhirnya
saya riset kecil-kecilan (hahaha penting banget yak?!) dengan meminta beberapa
teman sekelas saya secara random untuk menjawab pertanyaan sederhana: “apa
kesan pertamamu tentang saya?” Di sana
saya menemukan beberapa jawaban yang mengejutkan, yuning itu pendiam; jutek;
first sight: judes. Ya Allah... ternyata itu adalah daerah buta yang tidak saya
tahu sebelumnya tentang konsep diri saya. Bahasa non verbal yang tidak bisa
saya kontrol sepenuhnya.
Ternyata
titik masalah saya adalah masalah komunikasi. Pengalaman tadi mungkin hanya
secuil dari rangkaian peristiwa yang lain.
Terkadang apa yang diberikan Allah bukanlah apa yang kita inginkan, tapi
apa yang kita butuhkan. Dari kuliah di ilmu komunikasi, saya banyak belajar...
banyak mendapat pelajaran tentang komunikasi dan dalam memahami dunia di
sekitar saya.
Ternyata
komunikasi bukan hanya tenang memahami orang lain, tapi juga mengenal dan
memahami diri kita sendiri.
Ternyata
kesan pertama akan menentukan ke mana arah interaksi kita berikutnya.
Ternyata
komunikasi pun bicara tentang efek atau pengaruh.
Ternyata
cara kita berkomunikasi sangat berkaitan dengan hukum ketertarikan (law of
attraction), bahwa pribadi yang positif akan menjadi magnet bagi seluruh alam.
Kalau
dipikirkan lebih lanjut, apa irisan antara komunikasi dengan Islam sebagai way of life?
Ini
sesuatu yang menarik, karena komunikasi adalah ilmu yang bisa masuk ke semua
ranah praktis keseharian kita. Bila kita belajar dari sosok teladan umat
terbaik, Muhammad SAW yang telah mengajarkan Islam kepada kita, Muhammad SAW
memiliki empat karakter yang menjadikannya magnet bagi dunia. Salah satunya
adalah tabligh, yang artinya
menyampaikan; komunikatif. Seni berkomunikasi yang diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari beliau hingga mampu mengubah peradaban dunia.
Meskipun
begitu kita juga perlu menyadari dibalik powerful-nya ilmu komunikasi,
komunikasi bukanlah obat mujarab yang dalam sekejap bisa menghilangkan semua
masalah-masalah kita.
Komentar
Posting Komentar