Langsung ke konten utama

Hujan & Kenangan

Sore itu, hujan turun amat deras. Langit abu-abu sesekali memuntahkan kilat dan guntur yang gemuruhnya bisa membuat anak kecil bersembunyi di balik bantal. Air hujan menggenang hingga meluap dari selokan membuat banjir kecil di sepanjang jalan.  Ketika hujan jatuh selebat ini, apa yang sedang kamu lakukan? Duduk manis sambil menikmati cokelat panas tentu bisa terasa sungguh nikmat.

Bulan-bulan seperti ini, hujan sering turun kala sore. Aku ingin pulang, tapi daripada menunggu lama aku memilih untuk hujan-hujanan. Hanya dengan bermodal jas hujan, aku lanjut menembus badai di jalanan. Rasanya dingin juga. Kulit tanganku pun berubah mengkerut kalau terlalu lama terkena air hujan.

Musim hujan terasa sungguh nostalgik. Entah bagaimana hujan mampu membawa seseorang terhanyut kenangan. Aku teringat pada musim hujan beberapa tahun yang lalu. Seorang laki-laki paruh baya terburu-buru memindahkan kardus yang ada di punggung motornya ke dalam rumah. Sesegera mungkin menghindari basah. Sebab jika bungkusnya terlanjur basah, itu akan mengurangi harga jual dari produknya. Setiap hari, setiap kali hujan, selalu begitu. Ya, itu ayahku yang baru pulang bekerja. Tak peduli panas terik atau hujan, dia tetap bekerja untuk menghidupi kami – keluarganya.

Di pemberhentian lampu merah, aku mengamati sekeliling. Daun-daun yang basah. Air hujan yang terkena lampu sorot kekuningan. Aliran air dan riak-riaknya. Orang-orang yang berteduh. Pejalan kaki dengan payung warna-warni. Juga orang-orang sepertiku yang asik hujan-hujanan. Pemandangan yang cukup indah  ternyata.

Sekarang aku tahu bagaimana rasanya bekerja. Aku tahu bagaimana lelahnya perjalanan ke dan dari tempat kerja. Aku tahu bagaimana rasanya berjuang untuk orang-orang yang aku cintai. Kalau ingat itu, jadi malu sendiri dengan diriku yang dulu begitu kekanakan. Well, dahulu aku belum mengerti. Aku selalu merasa marah apabila keinginanku tidak terpenuhi. Aku tidak tahu kalau ayahku harus bekerja keras untuk itu. Aku tidak tahu seberapa terluka perasaannya saat aku tantrum sejadi-jadinya.

Karena tahu bagaimana rasanya, aku berjanji pada diri sendiri. Aku berjanji akan memperlakukan orang tuaku dengan lebih baik. Aku berjanji untuk menghargai setiap perjuangan orang-orang yang peduli padaku. Juga semoga aku bisa memberi manfaat lebih banyak seperti tetesan air hujan yang tak terhitung alih-alih menuntut pada orang lain.

---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul