Perempuan
itu tersipu malu. Wajahnya antara bahagia dan cemas yang samar.
“Kakak
yakin?” tanyaku penasaran.
“Iya.”
“Emang
awalnya gimana?”
“Ya
gitu....” tatapannya menerawang.
“Seriusan
nih gak ragu? Tapi kan sebelumnya kakak gak kenal siapa dia, orangnya
bagaimana.”
“awalnya
sih juga ragu, takut juga. Haha... bertanya-tanya sendiri, ini beneran gak ya?”
“lha
terus?”
“trus
karena Kakak masih agak ragu, akhirnya dipanggillah kakak sama dia di depan
ustad, ditemani murabbi kakak sama murabbinya dia juga. Akhirnya baca hafalan
Qur’an, murojaah di depan ustadnya. Aduuuhh kakak malu banget.” Lagi-lagi
wajahnya tersipu kemerahan.
“kalau
hafidz itu kan ada tingkatan-tingkatannya ya, kakak baru tahu pas di sana dia
tuh udah hafidz tingkat tiga atau berapa gitu, sedangkan kakak baru hafal juz
tiga puluh sama dua puluh sembilan.”
Jleb,
aku yang mendengarnya pun ikutan merasaaaa... euuummnn.. apa ya, campur-campur.
“Saat
itu ya Kakak meyakinkan diri sendiri, mungkin memang ini yang terbaik. Kakak
gak punya alasan syar’i lain untuk menolaknya.”
Wow
sekali kakak perempuan ini menghempaskan keraguannya untuk menerima pinangan
lelaki asing yang bahkan tak pernah ia ketahui wujudnya sebelumnya dengan
hafalan Qur’an.
--------------------------------------------------------------------------
Addduuuhhh,
aku sendiri jadi merasa minder, kalau nanti tiba saatnya seperti kakak
perempuan yang satu ini gimana ya? Tengok hafalan sendiri masih stuck. Perkembangannya lambat.
Sebenarnya bukan tentang pasangan yang terlalu bikin meresahkan. Tapi akan jadi
ibu yang bagaimana ya aku ini? Bisa gak ya nanti jadi ibu yang tutur bahasanya
halus, yang marahnya pun masih tetap dalam kebaikan. bisa gak ya jadi partner
yang baik? Bisa gak ya jadi best mom anak-anak untuk sama-sama belajar mengamalkan
Qur’an dan hadits? Addduuuhh gak mungkin juga kan persiapan seperti ini dikebut
dalam SKS (Sistem Kebut Sebulan).
Komentar
Posting Komentar