Pernahkah menyalahkan
cuaca, seseorang, atau apa pun yang membuatmu terganggu......?
Pernah ada suatu masa...
Hujan lebat di pagi itu tak kunjung surut.
Langit tetap mendung, tak ada tanda-tanda mentari akan muncul. Hujan bahkan tak
mau mengalah pada dua bocah SD yang berkejaran waktunya dengan bunyi bel masuk sekolah.
“Masih mau berangkat? Hujannya deras...”
tanya Ibunda pada dua anaknya yang sudah rapi dengan seragam merah putih.
“Iya ma, ini ada tugas juga mau dikumpulkan
hari ini.” Jawab anak tertua. Tugas berupa miniatur rumah lengkap dengan hiasan
pohon dan pagar yang terbuat dari karton. Tugas dari Guru yang dikerjakan
dengan sepenuh hati dan kebanggaan oleh si anak tertua.
“Yasudah, ini pakai payungnya.” Ibunda
membuka sebuah payung yang cukup besar bagi kedua bocah tadi, pelindung untuk
menembus hujan. “Kamu pegang payungnya, biar adikmu saja yang membawa rumah-rumahannya.”
Pesan ibunda pada anak tertua. Adik kecil menurut.
Walau sudah membawa payung, sesekali tetesan
air hujan tetap saja mengenai mereka. Waktu tak mau berkompromi, jika tidak
segera cepat-cepat mereka akan terlambat masuk sekolah. Jika tak boleh masuk
sekolah, Sang Kakak tak bisa mengumpulkan tugas. Kalau tak mengumpulkan tugas
berarti Guru akan memarahinya dan nilainya pasti nol! Maka sia-sia saja
usahanya. Sang kakak pembawa payung mempercepat langkah.
“Ayo cepetan dong jalannya nanti telat nih!”
seru Sang kakak. Adik kecil yang terpaut
dua tahun darinya memaksakan langkahnya mengikuti perintah sang kakak.
Lari-lari kecil mengimbangi gerak cepat langkah kakak sambil membawa tugas
miniatur rumah karton.
Sang kakak terus memacu langkahnya ke depan,
pikirannya lebih disibukkan dengan bagaimana caranya sampai di sekolah tepat
waktu dan tugasnya bisa ia serahkan kepada Bu Guru tanpa cacat. Tugas yang ia
buat dengan sempurna, perfect! Namun
mata sang kakak jarang mengawasi ke belakang. Alpa mengecek keadaan si adik
kecil. Adik kecil yang sedang kepayahan.
Sekalinya menengok, ia dapati miniatur
rumahnya sudah tak beraturan, beberapa hiasan pohonnya tumbang, atap rumah
mereot. Sang kakak kesal, tugas yang ia banggakan berantakan. Walaupun bobot
kertas karton lebih tebal, tapi akan rembes jua bila terkena air. Sang kakak
menghentikan langkahnya, menatap dalam-dalam si adik kecil, memarahi dan
menyalahkan ketidakbecusan adiknya. Menggerutui hujan, mengkambing hitamkan
cuaca. Adik kecil mulai menangis.
Seorang ibu paruh baya yang berpapasan
melihat mereka, menghampiri dan bertanya kepada Sang kakak, “kenapa adiknya
dimarahin? Kasihan itu..”
Diam. Sang kakak tak menjawab pertanyaan
perempuan asing itu.
“Ayo jalan.” Perintah kakak kepada adik
kecil. Si adik mengikuti sambil sesenggukkan menghentikan tangis. Kakak acuh
tak peduli.
Sampai di sekolah terlambat sedikit, tapi
karena hujan deras jadi siswa yang terlambat masih diperbolehkan untuk masuk.
“Yaudah itu tugasnya kamu bawa aja. Kalau gak mau dibawa, buang aja. Nanti
pulangnya gak bareng.” Ketus kakak. Mereka menuju ruang kelasnya masing-masing.
Ketika Bu Guru meminta murid-murid untuk
mengumpulkan tugas. Anak-anak lain di kelas sang kakak langsung berhamburan
maju ke depan membawa miniatur rumahnya masing-masing. Sang kakak maju ke depan
dengan perasaan takut-takut kalau bu Guru akan memarahinya karena tangannya
kosong. Tak ada tugas yang ia bawa.
“Ibu maaf, karena hujan tugas saya rusak di
jalan. Nanti saya buat lagi, boleh dkumpulkan besok?” pinta Sang kakak. Bu Guru
mengiyakan.
Setelah pulang sekolah, Sang kakak mendapati
tugas miniatur rumah yang sudah reot itu ada di atas meja. Adik kecil membawa
tugas itu kembali pulang bersamanya. Sang kakak yang masih cemberut membuat
miniatur rumah baru. Tugas yang ia kerjakan tak lagi bisa sama dan serupa
dengan tugas miniatur yang pertama. Hasil miniatur rumah yang kedua itu lebih
jelek. Sang kakak yang perfectionist tahu hal itu. Hasil pekerjaannya yang
kedua tak sempurna.
Tahukah kamu siapa sang kakak? Itu aku,
dulu.
Bila mengingat kejadian itu, sungguh
menyesal. Ya Allah, betapa jahat aku dahulu... hanya mementingkan detail-detail
kesempurnaan sesuai standarku sendiri.
Aku, seorang perfectionist... perfectionist
imperfect! Kakak yang sempurna bodohnya pada waktu itu. Kebodohan pertama, yang
lebih takut mendapat nilai nol dan dimarahi guru daripada melukai perasaan adik
kecilku yang lugu. Harusnya aku bisa lihat bahwa adikku sudah berbaik hati mau
membantu membawakan tugasku. Padahal guru itu pun cuma manusia, kata-kata
pujian dan omelannya sama saja, hanya sebuah suara, hanya penilaian manusia.
Bodoh karena lebih mementingkan penilaian manusia, padahal mungkin di mata
Allah nilaiku sangat-sangat rendah karena akhlak yang buruk.
Kebodohan kedua, yang karena
perfectionist-nya, aku melupakan sisi lain, keterbatasan kemampuan si adik
kecil.
Kebodohan ketiga, tak tahu cara menghargai
ketulusan orang lain. Kalau toh ia bisa membawakan tugas tersebut dengan baik,
mengantarkanmu pada ‘kesempurnaan’, apa yang bisa kamu berikan untuk menghargai
ketulusannya? Bukankah hanya sekedar ucapan terimakasih yang pertama kali
terucap dari lisanmu, Ning? Mohon ampun ya Allah.
Kamu tahu mengapa hasil tugas yang pertama
tak pernah sama dengan tugas yang kedua?
Karena kondisi kedua hati sudah jauh berbeda. Hati yang pertama membuatnya
dengan rasa bangga dan harapan, sedang kondisi hati yang kedua membuatnya
dengan rasa kesal dan kecewa.
Orang bijak bilang, kita perlu berkaca pada
orang lain untuk mengetahui apa sebenarnya kekurangan kita. Maka suatu hari
pernah ku tanyakan hal itu pada temanku, jawabannya, “... kamu itu orangnya gak
mau mencapai yang lebih, padahal sebenernya bisa tuh. Kalau aku sih tipenya kan
perfectionist, jadi yaa aku dorong terus sampai detail, pokoknya sampai
sempurna semuanya menurutku...hehe”
Kamu tahu? Butuh waktu yang panjang untuk
menyadari semua kebodohan itu. Aku memang ingin menyempurnakan semua performa,
apa pun itu...tapi kalau harus memaksa hati-hati yang lain, yang justru membuatnya
terluka, aku tak mau. Aku hanya bisa berusaha seoptimal yang aku bisa. Tak lagi
mau mengulangi atau menambah kebodohan yang lain. Kalau sudah seoptimal mungkin
usaha yang dilakukan tapi belum juga sempurna, aku punya jalanku sendiri,
mencoba berdamai dengan ketidaksempurnaan. Semoga Allah menyempurnakannya.
Nb:
teruntuk adik kecilku –entah kamu masih ingat cerita ini atau tidak- maafkan
ya.. maafkan kebodohan kakakmu. Dari lubuk hati terdalam.
Komentar
Posting Komentar