Langsung ke konten utama

Muslimahmorfosis #1 : Perfectionist Imperfect

Pernahkah menyalahkan cuaca, seseorang, atau apa pun yang membuatmu terganggu......?

Pernah ada suatu masa...
Hujan lebat di pagi itu tak kunjung surut. Langit tetap mendung, tak ada tanda-tanda mentari akan muncul. Hujan bahkan tak mau mengalah pada dua bocah SD yang berkejaran waktunya dengan bunyi bel masuk sekolah.
“Masih mau berangkat? Hujannya deras...” tanya Ibunda pada dua anaknya yang sudah rapi dengan seragam merah putih.
“Iya ma, ini ada tugas juga mau dikumpulkan hari ini.” Jawab anak tertua. Tugas berupa miniatur rumah lengkap dengan hiasan pohon dan pagar yang terbuat dari karton. Tugas dari Guru yang dikerjakan dengan sepenuh hati dan kebanggaan oleh si anak tertua.
“Yasudah, ini pakai payungnya.” Ibunda membuka sebuah payung yang cukup besar bagi kedua bocah tadi, pelindung untuk menembus hujan. “Kamu pegang payungnya, biar adikmu saja yang membawa rumah-rumahannya.” Pesan ibunda pada anak tertua. Adik kecil menurut.
Walau sudah membawa payung, sesekali tetesan air hujan tetap saja mengenai mereka. Waktu tak mau berkompromi, jika tidak segera cepat-cepat mereka akan terlambat masuk sekolah. Jika tak boleh masuk sekolah, Sang Kakak tak bisa mengumpulkan tugas. Kalau tak mengumpulkan tugas berarti Guru akan memarahinya dan nilainya pasti nol! Maka sia-sia saja usahanya. Sang kakak pembawa payung mempercepat langkah.
“Ayo cepetan dong jalannya nanti telat nih!”  seru Sang kakak. Adik kecil yang terpaut dua tahun darinya memaksakan langkahnya mengikuti perintah sang kakak. Lari-lari kecil mengimbangi gerak cepat langkah kakak sambil membawa tugas miniatur rumah karton.
Sang kakak terus memacu langkahnya ke depan, pikirannya lebih disibukkan dengan bagaimana caranya sampai di sekolah tepat waktu dan tugasnya bisa ia serahkan kepada Bu Guru tanpa cacat. Tugas yang ia buat dengan sempurna, perfect! Namun mata sang kakak jarang mengawasi ke belakang. Alpa mengecek keadaan si adik kecil. Adik kecil yang sedang kepayahan.
Sekalinya menengok, ia dapati miniatur rumahnya sudah tak beraturan, beberapa hiasan pohonnya tumbang, atap rumah mereot. Sang kakak kesal, tugas yang ia banggakan berantakan. Walaupun bobot kertas karton lebih tebal, tapi akan rembes jua bila terkena air. Sang kakak menghentikan langkahnya, menatap dalam-dalam si adik kecil, memarahi dan menyalahkan ketidakbecusan adiknya. Menggerutui hujan, mengkambing hitamkan cuaca. Adik kecil mulai menangis.
Seorang ibu paruh baya yang berpapasan melihat mereka, menghampiri dan bertanya kepada Sang kakak, “kenapa adiknya dimarahin? Kasihan itu..”
Diam. Sang kakak tak menjawab pertanyaan perempuan asing itu.
“Ayo jalan.” Perintah kakak kepada adik kecil. Si adik mengikuti sambil sesenggukkan menghentikan tangis. Kakak acuh tak peduli.
Sampai di sekolah terlambat sedikit, tapi karena hujan deras jadi siswa yang terlambat masih diperbolehkan untuk masuk. “Yaudah itu tugasnya kamu bawa aja. Kalau gak mau dibawa, buang aja. Nanti pulangnya gak bareng.” Ketus kakak. Mereka menuju ruang kelasnya masing-masing.
Ketika Bu Guru meminta murid-murid untuk mengumpulkan tugas. Anak-anak lain di kelas sang kakak langsung berhamburan maju ke depan membawa miniatur rumahnya masing-masing. Sang kakak maju ke depan dengan perasaan takut-takut kalau bu Guru akan memarahinya karena tangannya kosong. Tak ada tugas yang ia bawa.
“Ibu maaf, karena hujan tugas saya rusak di jalan. Nanti saya buat lagi, boleh dkumpulkan besok?” pinta Sang kakak. Bu Guru mengiyakan.
Setelah pulang sekolah, Sang kakak mendapati tugas miniatur rumah yang sudah reot itu ada di atas meja. Adik kecil membawa tugas itu kembali pulang bersamanya. Sang kakak yang masih cemberut membuat miniatur rumah baru. Tugas yang ia kerjakan tak lagi bisa sama dan serupa dengan tugas miniatur yang pertama. Hasil miniatur rumah yang kedua itu lebih jelek. Sang kakak yang perfectionist tahu hal itu. Hasil pekerjaannya yang kedua tak sempurna.

Tahukah kamu siapa sang kakak? Itu aku, dulu.
Bila mengingat kejadian itu, sungguh menyesal. Ya Allah, betapa jahat aku dahulu... hanya mementingkan detail-detail kesempurnaan sesuai standarku sendiri.
Aku, seorang perfectionist... perfectionist imperfect! Kakak yang sempurna bodohnya pada waktu itu. Kebodohan pertama, yang lebih takut mendapat nilai nol dan dimarahi guru daripada melukai perasaan adik kecilku yang lugu. Harusnya aku bisa lihat bahwa adikku sudah berbaik hati mau membantu membawakan tugasku. Padahal guru itu pun cuma manusia, kata-kata pujian dan omelannya sama saja, hanya sebuah suara, hanya penilaian manusia. Bodoh karena lebih mementingkan penilaian manusia, padahal mungkin di mata Allah nilaiku sangat-sangat rendah karena akhlak yang buruk.
Kebodohan kedua, yang karena perfectionist-nya, aku melupakan sisi lain, keterbatasan kemampuan si adik kecil.
Kebodohan ketiga, tak tahu cara menghargai ketulusan orang lain. Kalau toh ia bisa membawakan tugas tersebut dengan baik, mengantarkanmu pada ‘kesempurnaan’, apa yang bisa kamu berikan untuk menghargai ketulusannya? Bukankah hanya sekedar ucapan terimakasih yang pertama kali terucap dari lisanmu, Ning? Mohon ampun ya Allah.
Kamu tahu mengapa hasil tugas yang pertama tak pernah sama  dengan tugas yang kedua? Karena kondisi kedua hati sudah jauh berbeda. Hati yang pertama membuatnya dengan rasa bangga dan harapan, sedang kondisi hati yang kedua membuatnya dengan rasa kesal dan kecewa.
Orang bijak bilang, kita perlu berkaca pada orang lain untuk mengetahui apa sebenarnya kekurangan kita. Maka suatu hari pernah ku tanyakan hal itu pada temanku, jawabannya, “... kamu itu orangnya gak mau mencapai yang lebih, padahal sebenernya bisa tuh. Kalau aku sih tipenya kan perfectionist, jadi yaa aku dorong terus sampai detail, pokoknya sampai sempurna semuanya menurutku...hehe”
Kamu tahu? Butuh waktu yang panjang untuk menyadari semua kebodohan itu. Aku memang ingin menyempurnakan semua performa, apa pun itu...tapi kalau harus memaksa hati-hati yang lain, yang justru membuatnya terluka, aku tak mau. Aku hanya bisa berusaha seoptimal yang aku bisa. Tak lagi mau mengulangi atau menambah kebodohan yang lain. Kalau sudah seoptimal mungkin usaha yang dilakukan tapi belum juga sempurna, aku punya jalanku sendiri, mencoba berdamai dengan ketidaksempurnaan. Semoga Allah menyempurnakannya.

Nb: teruntuk adik kecilku –entah kamu masih ingat cerita ini atau tidak- maafkan ya.. maafkan kebodohan kakakmu. Dari lubuk hati terdalam. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Husnuzhan

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kamu merasa jijik. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12) jleeebbb.. baca ayat ini rasanya jleb banget. semakin dibaca semakin ngerasa jleb! #istigfar banyak-banyak mungkin diri ini kerap kali lalai terhadap prasangka, lebih mendahulukan prasangka buruk (suudzhan) dibanding prasangka baik (husnuzhan). padahal diri ini bukan apa-apa, pengetahuan pun hanya secuil. tak sadar ada angkuh yang menyusup, merasa diri sudah benar. lebih bangga kalau tahu kesalahan orang lain, dikorek lebih dalam. berpuas diri ketika dapat menjatuhkan yang lain. padahal diri ini sering lupa, kesalahan diri sendiri...

This Is Not My Passion

Disemester ini, semester enam, rasanya seperti kehilangan semangat. Lost my passion. Malas banget. Kuliah rasanya gak nyaman. Dateng sih dateng. Raganya ada, tapi pikirannya gak tahu kemana. Parah banget ya. Gak cuma kuliah, organisasi pun juga lagi malas. Minggu-minggu ini cuma jadi pengamat aja. Dan hari ini ada setumpuk agenda, tapi akhirnya kuputuskan dirumah saja. Alias bolos. Gak kuliah, gak datang tahsin, dan gak datang kajian. Yaampun, devil sedang berjaya nih. Kuliah rasanya begitu-gitu doang. Dari semester ke semester dosennya itu-itu lagi, dengan cara mengajar yang gitu lagi gitu lagi. Ada sih dosen yang ajib, kalau beliau ngajar gak sekedar transfer ilmu, tapi transfer emosi juga. Kita diajak diskusi. Diajak mikir beneran mikir. Kalau kami salah, dikasih tahu yang benar. Bukan tipe dosen yang bisanya cuma menghakimi. Walaupun mata kuliah yang beliau ajar termasuk yang sulit dipahami, tapi ngajarnya enak. Aku pribadi enjoy, gak males-malesan masuk ke kelas beliau. Y...