Langsung ke konten utama

Pengalaman Mengajar

“Kalau Ibu mengajar di sini karena pengabdian, berarti Ibu terpaksa dong?”

Pertanyaan yang cukup berkesan saat obrolan santai dari salah satu mahasiswa selepas kuliah. Pikiran saya langsung terlempar pada beberapa tahun sebelumnya. Dulu, ketika mendapat tugas untuk mengabdi sebagai pengajar memang cukup mengejutkan bagi saya. Sebuah takdir hidup yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tak pernah tertulis dalam daftar impian saya.

Beberapa bulan sebelum saya dinyatakan lulus, saya banyak berpikir dan merenung. Menjalani tanggung jawab sebesar ini, saya harus menjalaninya dengan penuh kesadaran; bukan keterpaksaan. Bayangkan kalau 6 tahun pengabdian harus menjalani hidup dengan terpaksa? Betapa tersiksanya itu. Bukan hanya menyiksa diri sendiri, tapi juga bisa menyiksa orang lain. Kalau dijalani dengan keterpaksaan nanti ilmunya bisa tidak sampai, tidak berkah.

Saya sidang S1 pada Desember 2014, sedangkan untuk wisuda sendiri baru dapat jadwal di bulan April tahun depan. Kemudian mulai resmi mengajar pada awal tahun 2015. Kebetulan saat itu saya mendapat beasiswa untuk ambil kuliah S2 yang jam belajarnya malam hari. Pada usia 22 tahun, saya diamanahi untuk mengajar beberapa kelas, salah satunya kelas malam. 

Saat pertama kali menginjakkan kaki di kelas malam, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa yang saya ajar adalah mereka yang mayoritas usianya di atas saya. Mahasiswa kelas malam rata-rata berstatus karyawan. Sempat agak canggung karena hal itu, tapi Alhamdulillah bisa diatasi. Kuncinya jujur. Jujur pada diri sendiri, jujur pada audien kita dan bangun kesepahaman. Karena transfer ilmu bukan masalah siapa yang lebih tua, tapi siapa yang mau mengambil hikmah. 

Saya mengapresiasi semangat mereka yang tetap belajar sepulang kerja. Sebab saya sendiri merasakan bagaimana beratnya untuk fokus kuliah di malam hari. Pagi sampai sore hari energi sudah terkuras dengan pekerjaan di tempat kerja, kemudian bermacet-macet ria sepanjang perjalanan ke kampus, dan di kampus masih harus siaga pikiran untuk menerima materi. Belum lagi kalau ada badai tugas dari dosen yang berbeda-beda. Kapan mengerjakannya? Perjuangan memang. Mahasiswa kelas malam harus pandai memenej diri.

Ada satu cerita menarik tentang salah satu mahasiswa di kelas malam. Pada sesi perkenalan, masing-masing orang menceritakan motivasi kuliahnya. Mahasiswa ini bilang kalau dia ikut kuliah untuk sekedar mengisi waktu luang. Sebenarnya bukan jurusan ekonomi yang ia tuju. Ia ingin masuk ke akademi kepolisian. Saya kira ia hanya sedang susah move on dari cita-citanya. Setelah beberapa minggu perkuliahan, ia tidak hadir. Ternyata ia pindah. Siapa sangka cita-citanya untuk masuk akademi kepolisian tercapai. Saya terkesan, sebab ia seserius itu mengejar mimpinya. 

3 tahun lebih mengajar, membuat saya mengenal berbagai macam karakter orang. Mulai dari yang paling pendiam sampai yang paling berisik. Mulai dari yang serius mengerjakan tugas sampai yang sering ambil jalan pintas. 3 tahun lebih mengajar, banyak cerita unik. Mulai dari yang serius memperhatikan, sampai yang sering ketiduran di kelas. 3 tahun lebih mengajar, justru membuat saya banyak belajar.

Saya harap ilmu yang saya sampaikan bisa berguna. Semoga mahasiswa-mahasiswa yang pernah saya ajar bisa menjadi bagian dari solusi di masyarakat. Kalau nanti mereka bisa sukses sebagai sebaik-baik manusia, itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri tentunya.  

#sabtulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul