Langsung ke konten utama

Dimulai dari Nol

Waktu saya kelas dua SMA, saya pernah tidak masuk sekolah karena sakit. Kemudian pekan depannya ada ujian fisika. Saya tidak tahu kalau saat itu akan ada ujian. Ditambah pula saya juga belum belajar tentang materi yang terlewat itu. Jreng jreng… alhasil nilainya NOL besar.

Pertama kali dalam sejarah selama saya duduk di bangku SMA dapat nilai nol. Bahkan nilai telor ceplok itu ada di mata pelajaran yang saya suka. Bila mendapat nilai jelek di mata pelajaran lain yang tidak begitu saya suka bisa dimaklumi. Coba bayangkan bagaimana perasaan seorang anak yang biasa ikut OSN fisika (ikut doang, menang mah engga, haha); yang selama hidupnya baik-baik saja dengan fisika; bisa dibilang fisika itu mata pelajaran andalannya… tapi hasilnya begitu mencengangkan. Salah semua.

Rasa percaya diri langsung remuk. Seperti habis terjun bebas dari langit. Rasanya malu sekali. Malu sama diri sendiri yang merasa sombong. Sempat terbersit perasaan tidak terima, lalu ingin menyalahkan faktor eksternal. Eh tapi buat apa? Mengkambing hitamkan yang lain tidak akan mengubah fakta bahwa nilai yang saya dapat hari itu nol.

Sakit. Jatuh dari ketinggian selalu menyisakan rasa sakit. Tapi mau sampai kapan meratapi nasib? Pekan depan guru fisika masih memberi kesempatan untuk ujian remedial. Saya sudah bertekad agar bisa dapat nilai lebih baik. 

Dan hasilnya…… dapat nol lagi. Nol lagi dong. Yaampuuunnn. Saya mulai frustasi. Apa saya sebegitu bodohnya? Apa IQ saya menurun? Rasa-rasanya tidak juga. Jangan-jangan karena kurang serius beribadah? Kurang banyak sedekah? Bisa jadi. 

Meski sedih melihat lembaran-lembaran berhias nilai telor ceplok, anehnya tidak ada niatan untuk membuang hasil yang menyedihkan itu. Nilai itu saya museumkan dibuku catatan. Tiap melihat nilai itu, saya bilang padanya: saya gak akan menyerah sama kamu. Tunggu aja, besok kamu pasti akan bagus. Ini cara saya balas dendam, membuat kamu lebih bagus. Wahai nol besar, ayo kita berteman dulu.

Pekan depannya lagi, ujian remedial terakhir. Saya coba berbagai cara, berusaha lebih, sampai mohon bantuan teman untk mengajari. Tapi pertama-tama yang harus saya lakukan adalah membuang rasa sombong dalam diri sendiri, kemudian lebih menghargai guru, menghargai teman yang sudah mau meluangkan waktunya untuk ditanya-tanya, juga berdoa agar diberi pencerahan.

Alhamdulillah, ujian remedial kedua ada perbaikan. Dari nol – nol – jadi sembilan. Dari kegagalan itu justru saya lebih banyak belajar, ada banyak hal yang bisa dipelajari dibanding langsung sukses. Entah mengapa saya tidak lagi marah mendapat nilai jelek. Justru pada akhirnya saya menikmati proses tersebut. Proses belajar yang sesungguhnya, sabar dalam belajar. Kegagalan memberi saya kesempatan untuk lebih memahami sesuatu. 

Bersyukurnya, ternyata proses itu cukup bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. So, kalau hari ini belum sukses jangan keburu putus asa dulu. Dari pada sedih-sedih tak jelas, mari habiskan jatah kegagalan yang ada. 

---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Husnuzhan

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kamu merasa jijik. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12) jleeebbb.. baca ayat ini rasanya jleb banget. semakin dibaca semakin ngerasa jleb! #istigfar banyak-banyak mungkin diri ini kerap kali lalai terhadap prasangka, lebih mendahulukan prasangka buruk (suudzhan) dibanding prasangka baik (husnuzhan). padahal diri ini bukan apa-apa, pengetahuan pun hanya secuil. tak sadar ada angkuh yang menyusup, merasa diri sudah benar. lebih bangga kalau tahu kesalahan orang lain, dikorek lebih dalam. berpuas diri ketika dapat menjatuhkan yang lain. padahal diri ini sering lupa, kesalahan diri sendiri...

This Is Not My Passion

Disemester ini, semester enam, rasanya seperti kehilangan semangat. Lost my passion. Malas banget. Kuliah rasanya gak nyaman. Dateng sih dateng. Raganya ada, tapi pikirannya gak tahu kemana. Parah banget ya. Gak cuma kuliah, organisasi pun juga lagi malas. Minggu-minggu ini cuma jadi pengamat aja. Dan hari ini ada setumpuk agenda, tapi akhirnya kuputuskan dirumah saja. Alias bolos. Gak kuliah, gak datang tahsin, dan gak datang kajian. Yaampun, devil sedang berjaya nih. Kuliah rasanya begitu-gitu doang. Dari semester ke semester dosennya itu-itu lagi, dengan cara mengajar yang gitu lagi gitu lagi. Ada sih dosen yang ajib, kalau beliau ngajar gak sekedar transfer ilmu, tapi transfer emosi juga. Kita diajak diskusi. Diajak mikir beneran mikir. Kalau kami salah, dikasih tahu yang benar. Bukan tipe dosen yang bisanya cuma menghakimi. Walaupun mata kuliah yang beliau ajar termasuk yang sulit dipahami, tapi ngajarnya enak. Aku pribadi enjoy, gak males-malesan masuk ke kelas beliau. Y...