Langsung ke konten utama

Yang Diprioritaskan

Berapa kali dalam sehari kiranya kita memikirkan tentang orang tua kita? Tentang kebutuhannya? Atau tentang bahagianya?

Beberapa waktu yang lalu ketika hendak ke kampus Salemba, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Ini pertama kalinya saya mendapat pengemudi seorang perempuan. Ibu ini lumayan aktif membuka obrolan sepanjang perjalanan.

“Neng, mau kuliah ya?” tanya si Ibu
“iya bu. Ke kampus Salemba ya.” Sengaja saya iyakan, sudah biasa dikira masih mahasiswa (hehe).
“mau lewat mana Neng? Kanan atau kiri?”
“kanan aja bu, biar ga kena macet di RSCM.”
“oke neng, kita lewat arah jalan pramuka ya.”

“neng, sekarang biaya kuliah berapa ya?”
“kalau sekarang bisa lebih dari 10 juta bu persemester, itu juga tergantung jurusannya apa. Kalau yang berkaitan dengan jurusan IT biasanya lebih mahal.”
“oohh.. kalau dulu pas Neng masuk, berapa bayarnya?”
“kalau dulu zaman saya masuk ditotal semuanya sekitar 50 jutaan bu.”
“mahal yaa.”
“iya begitu bu, ibu mau lanjut kuliah lagi kah?”
“oh bukan neng, ini saya lagi cari tempat kuliah buat anak saya. Kebetulan sekarang dia sudah kelas 3 SMA. Saya pengennya dia bisa lanjut kuliah.”

Setelah dengar jawaban ibu itu rasanya mau menitikkan air mata. Ibu ini kerja ngojek, panas-panasan; macet-macetan. Mau tanya lebih lanjut tentang kehidupan keluarganya tapi urung; ragu karena itu ranahnya privasi dan personal sekali. Sesuatu yang membuat saya gelisah hari itu: Bu, kok bisa sih Ibu memikirkan anak ibu sampai sebegitunya? Iya bu, pendidikan tinggi biayanya memang mahal, kira-kira ibu akan banting tulang seperti apa lagi biar anak ibu bisa kuliah? Kok bisa sih ibu berkorban banyak? Kira-kira anak ibu memikirkan tentang ibu kah?

Perasaan yang berkecamuk itu akhirnya menjadi refleksi tersendiri bagi saya. Seiring dengan bertambahnya usia saya, orang tua saya juga semakin menua. Mereka sekarang lebih rentan dan cepat lelah. Jika selama ini perasaan dan kasih sayang orang tua bisa sebegitu tulusnya; kira-kira apa yang bisa saya lakukan sebagai bakti untuk orang tua sendiri.  Di hari itu saya ingin berpesan untuk diri sendiri: saat masih menjadi single seperti sekarang, saat kewajiban belum berpindah pada suami - sebelum bersenang-senang untuk diri sendiri, sebelum membahagiakan orang lain  (teman, orang yang membuat jatuh hati nantinya (mungkin), dan orang-orang lainnya); orang tua harus jadi prioritas. Mereka layak menjadi prioritas.

Terima kasih mama, papa untuk semua kebaikannya selama ini.

---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Husnuzhan

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kamu merasa jijik. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12) jleeebbb.. baca ayat ini rasanya jleb banget. semakin dibaca semakin ngerasa jleb! #istigfar banyak-banyak mungkin diri ini kerap kali lalai terhadap prasangka, lebih mendahulukan prasangka buruk (suudzhan) dibanding prasangka baik (husnuzhan). padahal diri ini bukan apa-apa, pengetahuan pun hanya secuil. tak sadar ada angkuh yang menyusup, merasa diri sudah benar. lebih bangga kalau tahu kesalahan orang lain, dikorek lebih dalam. berpuas diri ketika dapat menjatuhkan yang lain. padahal diri ini sering lupa, kesalahan diri sendiri...

This Is Not My Passion

Disemester ini, semester enam, rasanya seperti kehilangan semangat. Lost my passion. Malas banget. Kuliah rasanya gak nyaman. Dateng sih dateng. Raganya ada, tapi pikirannya gak tahu kemana. Parah banget ya. Gak cuma kuliah, organisasi pun juga lagi malas. Minggu-minggu ini cuma jadi pengamat aja. Dan hari ini ada setumpuk agenda, tapi akhirnya kuputuskan dirumah saja. Alias bolos. Gak kuliah, gak datang tahsin, dan gak datang kajian. Yaampun, devil sedang berjaya nih. Kuliah rasanya begitu-gitu doang. Dari semester ke semester dosennya itu-itu lagi, dengan cara mengajar yang gitu lagi gitu lagi. Ada sih dosen yang ajib, kalau beliau ngajar gak sekedar transfer ilmu, tapi transfer emosi juga. Kita diajak diskusi. Diajak mikir beneran mikir. Kalau kami salah, dikasih tahu yang benar. Bukan tipe dosen yang bisanya cuma menghakimi. Walaupun mata kuliah yang beliau ajar termasuk yang sulit dipahami, tapi ngajarnya enak. Aku pribadi enjoy, gak males-malesan masuk ke kelas beliau. Y...