Langsung ke konten utama

Itinerary Gunung Papandayan 2018

Pendakian saya ke Gunung Papandayan kali ini ditemani oleh 4 orang. Pertama Amir, dia adalah teman sekelas saya ketika S1 di jurusan komunikasi. Kedua ada Ajeng, teman satu kampus, satu organisasi, juga teman mengaji bareng. Ketiga Esa, Esa adalah teman sekelasnya ajeng di jurusan teknik informatika. Dan terakhir ada Ryan. Ryan adalah temannya Amir. Kami berlima janjian untuk bertemu di titik kumpul Terminal Kampung Rambutan.

Saya datang pertama, kemudian Ajeng dan Esa. Sambil menunggu Amir dan Ryan, kami bertiga makan malam dahulu dengan nasi padang. Tak lama kemudian Ryan tiba. Setelah Amir datang dan semua anggota lengkap kami langsung naik bis ekonomi AC meluncur ke Garut. 

Kami berangkat sekitar jam sembilan malam. Tiba di Terminal Guntur-Garut jam setengah tiga pagi. Udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Di sini saya dan teman-teman sempat diminta oleh seorang pemuda untuk memberinya sekian uang. Sepertinya ia mabuk, terlihat dari pupil matanya dan mulutnya yang tercium bau alkohol. Saya yang agak ngeri buru-buru masuk ke dalam mobil yang kami sewa untuk  menuju ke Cisurupan. Di mobil ini kami berbagi ruang dengan kelompok pendaki yang lain. Esa yang duduk di pinggir dekat jendela mobil menggigil kedinginan terkena angin selama perjalanan. Sayang jendela mobil tidak bisa ditutup karena untuk mengaitkan tali pengaman keril di atas mobil.

Pukul setengah empat pagi kami tiba di pertigaan Cisurupan. Kami tidak langsung naik ke atas karena tanggung menunggu shalat subuh terlebih dahulu. Sekalian menunggu warung nasi buka untuk bisa sarapan. Di dekat pertigaan Cisurupan ada masjid besar, kami shalat subuh di sana. Kemudian sekitar jam lima lewat kami sarapan di warung. Setelah sarapan, baru kami naik ke pos masuk Papandayan dengan menyewa mobil pick up. Selain naik mobil pick up, ada opsi lain yaitu ojek. Tarifnya sekitar Rp. 25.000 per orang. Perjalanan dari Cisurupan ke pos masuk Papandayan sekitar satu jam.

(Kiri ke kanan) Yuning, Esa, Ajeng, Ryan, Amir

Sekitar jam tujuh kurang kami sampai di pos masuk Gunung Papandayan. Di sini, kami harus mengurus simaksi terlebih dahulu. Biaya masuk Gunung Papandayan Rp. 30.000 ditambah Rp. 35.000 jika camping. Setelah itu kami mulai perjalanan menapaki Gunung Papandayan. Ritme pendakian kami bisa dibilang cukup santai. Setiap jalan beberapa ratus meter, kami berhenti untuk sekedar istirahat atau mengabadikan pemandangan.

Area Kawah Gunung Papandayan
Gas Belerang dari Kawah Gunung Papandayan
Pemandangan Awan dari Gunung Papandayan

Di Papandayan, saya bisa langsung menikmati pemandangan area kawah. Sebab memang dari pos masuk ke area kawah tidak jauh dan ini merupakan jalur utama pendakian di Papandayan. Setelah sampai di pos 7, kita bisa memilih dua jalur untuk dilewati. Ada jalur hutan mati dan jalur longsor. Berhubung kami berniat untuk bermalam, jadi kami memilir pergi melewati jalur longsor dan pulangnya melewati jalur hutan mati. Bedanya kalau lewat jalur longsor, treknya relatif lebih landai dibanding dengan trek hutan mati. Di jalur longsor lumayan banyak pemandangan yang bisa dinikmati berupa perbukitan dan sungai.

Pos 7, persimpangan jalur hutan mati dan jalur longsor
Petunjuk Arah Via Jalur Longsor
Perbukitan

Kami tiba di area perkemahan pondok salada sekitar jam setengah sepuluh pagi. Saya terkejut karena cepat sekali tiba di tempat kemah! Dibanding ke Gunung Gede dengan waktu awalan pendakian yang sama, saya baru bisa tiba di area perkemahan surya kencana sekitar jam dua siang. Jauh sekali perbedaan waktunya. Wah benar-benar camping ceria ini temanya. 

Area Perkemahan Guber Hoet

Setelah lapor pada ranger, kami mulai bebenah. Amir dan Ryan memasang tenda. Ajeng dan Esa mulai memasak makanan untuk makan siang. Menu utamanya sayur sop. Kalau saya bantu-bantu yang perlu dan sesekali mengambil foto kegiatan. Selesai makan kami bingung mau melakukan apalagi. Akhirnya waktu dimanfaatkan untuk tidur siang.

Enaknya di pondok salada berbagai fasilitas ada. Warung ada, toilet ada, lapangan ada, mushola juga ada. Praktis sekali. Setelah shalat dzuhur yang dijamak ashar, kami mulai menjelajah ke daerah hutan mati dan tegal alun. Awalnya saya bertanya-tanya ada apa di Tegal Alun. Ternyata pas tiba saya terperangah melihat padang bunga edelweiss yang amat luas. Oh ya trek pendakian ke tegal alun ini lumayan terjal lho. Ini dia beberapa pemandangan di hutan mati dan Tegal Alun yang eksotis abis.

Kupu-kupu di Atas Bunga Edelweis
Hutan Mati Gunung Papandayan
Kawasan Hutan Mati
Tegal Alun
Pohon Edelweiss
Tegal Alun, Surganya Edelweiss

Kami tiba kembali di kemah sekitar jam setengah lima, kemudian mulai masak untuk makan malam. Kami memutuskan untuk membuat nasi goreng sebab sisa nasi tadi siang masih banyak. Nasi goreng yang keasinan karena kebanyakan bumbu. Selepas isya agendanya bebas. Ryan dan Amir pergi ke warung untuk menikmati api unggun sambil minum kopi/teh. Saya, Ajeng, dan Esa pergi ke lapangan untuk melihat langit malam. Lapangan cukup ramai dengan pendaki yang lalu lalang. Alhamdulillah langitnya terang benderang penuh bintang. Sayang kalau dilewatkan karena ini adalah pemandangan yang amat jarang bisa ditemui di Depok.

Angin dingin yang bertiup kencang seolah enggan reda membuat tubuh kami kedinginan. Padahal sudah berlapis jaket tetap saja dinginnya tetap tembus. Ajeng dan Esa akhirnya memutuskan untuk ke warung membeli minuman hangat. Sedangkan saya masih bertahan di lapangan, penasaran dengan eksperimen untuk mengabadikan momen tersebut. Saat masih mengutak-atik speed, ISO, dan diafragma kamera; ada dua pendaki laki-laki yang lewat tiba-tiba berhenti menghampiri. Mereka ikut nimbrung dan memberi beberapa saran terkait pengaturan kamera yang pas. Saya tidak bisa melihat rupa mereka karena lapangannya gelap dan saya tidak  membawa senter. Tapi saya harus berterima kasih karena masukannya sangat berguna. 

Milky Way | Pemandangan Langit Malam

30 menit berada di lapangan tubuh saya sudah mengigil. Tak kuat berlama-lama; ajeng dan esa yang sudah kembali dari warung menghampiri saya dan kami balik ke tenda: tidur!. Alih-alih tidur pulas, kami justru tidak bisa tidur saking dinginnya. Terus gangguin amir, dia memberi saran ini itu agar kami kebal dingin. Kami mencoba segala cara agar bisa mengusir dingin dan tidur lelap. Baju pun sudah dobel, tapi masih dingin. Akhirnya masak air di dalam tenda, cukup berbahaya memang. Posisi tanah tepat kami mendirikan tenda miring, air yang kami rebus sempat tumpah membasahi sebagian matras dan kantung tidur. Haha malah jadi ribet dan makin dingin. Esa pamit tidur duluan, saya dan Ajeng menonton film The Commuter untuk mengalihkan perhatian dari rasa dingin. Sepanjang malam, angin yang berhembus mengenai tenda kami membuat suara yang agak horror. Akhirnya kami bisa tidur juga.

Lapangan & Mushalla di Pondok Salada

Sudah bisa dibayangkan kondisi air di subuh hari. Ajeng dan saya memutuskan untuk shalat subuh di tenda. Saya harus salut pada Esa yang kuat wudhu dengan air sedingin es. Setelah shalat kami tidur lagi karena masih mengantuk akibat semalam. Agak sayang melewatkan momen matahari terbit. Ternyata suhu papandayan itu memang dingin, sempat ada yang meninggal karena hipotermia di gunung ini. Bagi yang mau ke sini, bawa emergency blanket dan matras aluminium sebagai persiapan lebih untuk berkemah.

Setelah sadar semua, kami langsung masak untuk sarapan. Minyak goreng di botol sudah berubah padat. Perlu dipanaskan dulu agar bisa dipakai menggoreng. Pagi ini menu utamanya adalah spaghetti dengan lauk omelet, perkedel dan sosis. Entah mengapa rasa perkedel goreng pagi itu menjadi enak berkali-kali lipat hahaha. Kami beberes setelah selesai makan.

Sayang Tak Sempat Mampir ke Area Mata Air

Kami pulang sekitar jam 10 lewat jalur hutan mati. Jalur di sini lebih mudah karena sudah berupa anak tangga. Saat menuruni tangga, tempo jalan saya agak cepat dan celakanya saya salah menggunakan kaki untuk tumpuan. Lutut yang dulu bekas kecelakaan terkilir lagi. Saya minta waktu break 10 menit untuk mengembalikan posisi sendi lutut seperti semula. Keril saya akhirnya dibantu bawa oleh Amir hingga di pos masuk (terima kasih Amir, maaf jadi merepotkan). 

Kami tiba di pos masuk sekitar jam sebelas siang. Istirahat sebentar untuk ganti pakaian dan cuci muka. Kami tidak bisa langsung turun ke Cisurupan sebab supir mobil pick up yang kami sewa sedang mengerjakan sesuatu. Kami pun menunggu hingga jam dua belasan. Sampai di Cisurupan, bapak supir membantu menurunkan barang sambil ramah tamah menunjukkan lokasi rumahnya. “Nanti kalau ke sini lagi, hubungi bapak aja Neng. Bapak anterin ke atas. Mau mampir ngopi di rumah juga boleh. Nomor bapak udah bapak kasih ke temennya yang tadi duduk di depan.” Pesan si bapak. “Oke pak siap!”

Sudah masuk waktu dzuhur, kami shalat di masjid terlebih dahulu. Kemudian makan bakso di pertigaan sambil mencari angkutan yang bisa dinego. Ujung-ujungnya naik angkot yang ada di pertigaan juga sih karena mobil elf tidak ada yang berhenti di terminal. Tiba di terminal, kami pisah rombongan. Saya, Ryan, dan Amir naik bis yang turun di Pasar Rebo; sedangkan Esa & Ajeng naik bis yang turun di Cililitan. Bis yang saya naiki ngetem lama. Sekitar jam setengah 10 malam saya baru sampai di Pasar Rebo. Tiba lagi di rumah jam 11 malam. Perjalanan yang menyenangkan! Terima kasih teman-teman. 

Berikut ini adalah rincian itinerary gunung Papandayan 2018 perorangan versi saya kemarin.
===================================
Angkot 37 ke terminal Kp. Rambutan: Rp 10.000
Retribusi terminal: Rp 500
Nasi padang: Rp 20.000
Bis Kp. Rambutan-Garut: Rp 50.000
Mobil ke Terminal Guntur-Cisurupan: Rp 25.000
Mobil pick up Cisurupan-pos masuk Papandayan: Rp 30.000
Sarapan: Rp 15.000
Mobil pick up pos masuk Papandayan-Cisurupan: Rp 30.000
Tiket masuk: Rp 30.000
Tiket camping: Rp 35.000
Makan Bakso: Rp 7.000
Mobil Cisurupan-Terminal Guntur: Rp 25.000
Bis Terminal Guntur-Pasar Rebo: Rp 52.000
Angkot 41 ke Villa Pertiwi: Rp 9.000
Ojek ke rumah: Rp 7.000
Patungan makan berat: Rp 18.000
Camilan & obat p3k:  +- Rp 100.000
===================================
Total: Rp 453.500

Bagaimana, tertarik untuk mendaki Gunung Papandayan juga?
---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul