Usiaku
menginjak 5 tahun, ketika aku mengajukan permintaanku untuk belajar ke sekolah.
Seperti biasa mama mengajakku belanja sayuran ditukang sayur, dan ketika itu
banyak anak-anak kecil berjalan bebarengan memakai seragam dan membawa tas gemblok.
Aku terus saja memandangi hingga mereka berlalu. Mama bertanya kepadaku, “ning,
mau sekolah?”. Ohh mereka pergi ke sekolah? Kujawab “hu’um, iya”.
Kemudian
mama mengutarakan keinginanku ke bapak, seminggu setelah itu bapak mulai
mencari-cari sekolah yang cocok. Tadinya aku mau dimasukkan ke TK Islam, tapi
karena teman bapak bilang itu nanggung, akhirnya aku langsung dimasukkan ke SD.
SDN Batu Ampar 10 pg, aku telat masuk seminggu di sekolah itu. Tapi karena dulu
di Jakarta sekolahan ada banyak, tapi siswanya sedikit, jadi aku diterima
(mungkin).
Semua
hal yang berkaitan dengan administrasi sekolah diurus oleh Bapak. Bapak tamatan
SMA, sedangkan mama putus sekolah waktu SD karena kondisi keluarganya (tahu
mindset orang tua zaman dulu? ya kira-kira begitulah mindset orang tua mama).
Mama sering menolak kalau diminta untuk mengurus hal-hal mengenai sekolah,
mungkin karena kurang percaya diri.
Aku
ingat, guru pertamaku bernama ibu Farida. Wajahnya khas, ada andeng-andeng
(tahi lalat) di atas bibir yang menghiasi wajahnya. beliau guru yang baik. Aku
duduk dibangku barisan depan dekat pintu. Pelajaran pertama kelas satu SD
adalah menulis spiral. Hari itu hari pertamaku memegang pensil dan menulis di
kelas. Bisa membayangkan spiral buatanku seperti apa? Hahaha bentuknya
berantakan, dari mulai spiral besar hingga mengecil, baik ke atas, turun ke
bawah. Bahkan kalau ada ruang-ruang kosong, kusisipi spiral-spiral kecil di
sana. Mirip urek-urekan. Nilai pertamaku? Aku dapat 6. Aku sih waktu itu belum
tahu nilai 6 itu bagus atau tidak, jadi tak terlalu peduli. Tapi ada seorang
anak yang duduk dibelakangku, namanya Melati, berbisik ke teman sebangkunya
(walaupun berbisik, tapi tetap saja aku bisa mendengarnya -__-) “eh, jangan
kayak anak baru itu. Liat aja tuh, bikinannya jelek.” Aku menoleh ke arahnya,
lalu memandangi kertasku. Dalam hati aku bilang : lain kali aku bisa lebih
baik. Tapi seiring waktu, dia jadi temanku.
Ada
lagi temanku namanya Sherly. Gadis yang cantik, rambutnya panjang tapi sering
jutek. Aku gak tahu, aku pernah bikin salah apa, atau dia memang begitu.
Entahlah. Kadang-kadang baik sih. Dia berteman dekat dengan Laras, Puji
Larasati lengkapnya. Dia manis, chubby, banyak teman. Dia juga murid terpandai
di kelas, dan mungkin dia orang pertama yang bikin aku cemburu. Aku juga mau
jadi pandai seperti dia (dulu). Waktu masih heboh-hebohnya film Sherina, banyak
yang bilang Laras mirip Sherina. Entahlah apa itu benar. Kadang orang dewasa
sering melebih-lebihkan.
Ada
temanku bernama Rico R. (aku lupa R itu kepanjangannya apa). Rico anak yang
hiperaktif, suka iseng, dan bikin onar di kelas. Siapa pun dia usilin, termasuk
aku. Menyebalkan sekali tiap hari main kejar-kejaran di kelas gara-gara dia.
Ada juga temanku bernama Rico A. Walaupun namanya sama, tapi mereka bukan
saudara. Sifatnya 180 derajat berbeda. Rico A. Anak yang kalem, penurut, dan
lemah, sering banget dijahili Rico R. Kasian.
Dulu
pernah punya sahabat SD, namanya Sari. Dia tinggi, lucu, sering senyum, dan
punya peliharaan ikan arwana yang besaaar sekali di rumahnya. Rumahnya agak
jauh dari sekolah, tapi aku sering main ke sana. Ibunya juga ramah. Kalau
kecapekan main, sampai-sampai tidur siang di sana. Dia hobi menggambar, aku
juga. Waktu kelas tiga, ada pelajaran IPA. Guru kami sering menyuruh kami
mencatat semua tulisan yang ada di papan tulis hingga berlembar-lembar,
pekerjaan yang melelahkan. Bodohnya, untuk menyingkat semua itu, kami berdua
menyingkat tulisan-tulisan kami, misal dengan menghilangkan huruf-huruf
vokalnya. Bahkan sampai menyingkat beberapa paragraf. Ahahaha.. parahnya
tulisan itu menjadi tidak jelas, akupun juga tidak mengerti kalau disuruh
membaca tulisanku sendiri.
Sari
punya sepupu, namanya Vina. Kami bertiga sekelas, sering main bareng. Vina
punya kakak laki-laki (lupa namanya, tapi kalau gak salah huruf awalnya dari V
juga) setahun lebih tua dari kami. Rumah Sari dan Vina berdekatan. Kalau lagi
ngumpul bareng, kami berempat sering main perang tanah di depan rumah Sari.
Waktu
itu pernah punya teman sebangku, namanya Nurhasanah. Anak yang pendiam banget.
Kalau gak ditanya, gak akan bersuara. Pun kalau ditanya, jawabannya cuma
anggukan atau gelengan kepala. Tapi kata ibunya, kalau di rumah Nur itu bukan
anak yang pendiam. Waktu tugas masak-memasak di SD, kami disuruh membuat nasi
goreng. Bumbu nasi goreng buatan Nur dan ibunya enak.
Waktu
kecil aku punya penyakit amandel. Minum es sedikit saja bisa langsung
mempengaruhi suhu tubuhku. Aku termasuk anak yang agak bandel juga sih, sudah
tahu dilarang jajan es, masih juga jajan. Saat itu jajan es dengan teman-teman
yang lain, lalu bu Farida lewat, dan kami bergantian salim dengannya. “lho nak,
kamu sakit? Kok badanmu panas banget?”. “enggak bu.” Setelah kuperiksa jidatku,
iya sih, panas. Kalau ketahuan bapak, habislah aku. Jadi kalau dulu selalu
mengendap-endap untuk jajan es, haram kalau ketahuan bapak bisa dimarahi
habis-habisan.
Waktu
belum bisa apa-apa, belum bisa menulis, belum bisa baca, tiap malam pasti mama
sama bapak rajin sekali nyuruh belajar. Biar kata cuma setengah jam bapak mau
meluangkan waktunya untuk mengajari pelajaran di sekolah. Namanya orang,
mungkin lama-lama bosan. Kadang-kadang akunya yang bosan belajar. Kadang-kadang
bapaknya yang bosan mengajari. Kalau ada pelajaran yang agak sulit nanya sama
mama, mama kurang tahu. Nanya sama bapak jawabnya, “bapak gak tahu, tanya aja
sama gurunya di sekolah.” Lha? Nanya sama guru? Malu (maklum anak SD). Baru
ngeh kalau pas kelas satu SD caturwulan kesatu pernah dapat nilai 5 di raport
untuk pelajaran bahasa Indonesia. Yaaah namanya juga anak kecil yang baru
belajar, mana tahu nilai 5 itu artinya apa, jadi keliatannya bagus-bagus aja.
Ahahaha.
Kelas
satu caturwulan ketiga nilaiku berangsur-angsur membaik, menjadi peringkat
empat di kelas. Pas kelas dua caturwulan kedua peringkatku turun jadi kelima.
Polosnya, aku gak tahu apa turun satu peringkat itu hal yang buruk? Sesuatu
yang memalukan? Entahlah. Tapi gara-gara itu, si Bapak bertemu kepala sekolah,
bu Indri. Aku jadi dinasehati oleh ibu kepala sekolah deh (-___-“)a
Caturwulan
berikutnya kuperbaiki nilaiku, alhamdulillah naik dua peringkat. Tradisi di
sekolah ini kalau ada murid berprestari di kelas dari peringkat 1-3 mendapat
sertifikat penghargaan dan piala. Dan itu piala pertamaku. Senang rasanya.
Orang tua murid yang lain mungkin menyempatkan waktunya untuk hadir di acara
ini. Tapi mama sibuk ngurus adik yang masih kecil-kecil di rumah, dan bapak
sibuk kerja. So, waktu naik panggung sendirian, yang memberi tepuk tangan yaa
orang tua dari murid-murid yang lain, orang tuaku engga ada. It’s OK.
Caturwulan-caturwulan berikutnya bersaing ketat dengan Sherly diperingkat 3 dan
4.
Waktu
SD aku tergolong anak yang bertubuh mungil. Pernah ada Ibu-ibu yang rumahnya
kulewati tiap hari bertanya, “kelas berapa dik?”
“kelas
tiga?”
“Waa
masa? Kecil-kecil sudah kelas tiga?”
Gak
percaya gitu. Yasudah kutinggal pergi saja. Dan besok-besoknya, masih saja ibu
itu bertanya hal yang sama. Cape deh.
Selepas
kelas 4 SD aku pindah sekolah di Depok. Bapak membangun rumah di daerah ini.
Dulu rumah yang di Jakarta itu masih rumah kontrakan. Kerjaan Bapak masih di
Jakarta, jadi tiap hari pulang pergi Jakarta-Depok.
Sekolahku
pindah ke SDN Sukamaju 3 Depok, sekolah yang mungil, dibanding sekolahku dulu.
ruang kelas yang terbatas menyebabkan sistem belajar di sekolah ini dibagi
menjadi masuk pagi dan masuk siang. Ruang perpustakaannya pun jadi satu dengan
ruang guru dan kantor kepala sekolah. Yang jelas budayanya juga berbeda. Muatan
lokal kesenian Jakarta berubah menjadi bahasa Sunda. Hadeeehh cultural shock.
Dalam bahasa sunda ada kata “resep” yang tadinya kata itu kumaknai sebagai
resep masakan, eh ternyata arti sebenarnya adalah suka. Ya ampun pantas saja
gak nyambung-nyambung tiap kali menerjemahkan bahasa Sunda ke bahasa Indonesia.
Komentar
Posting Komentar