Langsung ke konten utama

Yang Lain Mana?

“Yang lain mana?”
Satu orang bertanya tentang itu.
“Teman kamu mana?”
Dua orang yang bertanya.
“Kok sepi, teman-teman kakak (adik- kalau yang bertanya usianya lebih tua) yang lain gak dateng?”
Tiga orang bertanya lagi. Empat, lima, dan seterusnya dengan pertanyaan yang intinya sama. Gak salah kok, mereka gak salah bertanya begitu, mungkin mereka ingin tahu kabar yang lain atau hanya sedang heran karena melihatku (atau mungkin siapa pun yang kebetulan sedang sendirian, cuma berdua, atau bisa dibilang minoritas dibanding yang lain).
“ohh si A lagi sibuk ini, si B lagi bantu ibunya, si C lagi sakit, si D, si F, si G blablablabla...” kalau menjelaskan alasan satu atau dua orang sih gak masalah, tapi kalau harus menjelaskan keabsenan 10 orang lebih kepada si penanya yang berbeda-beda dan berulang-ulang, males juga -_____-“
Semakin ditanya begitu kok jadi ngerasa aneh sendiri, lama-lama kok jadi berasa sepi sendiri.
Lama-lama merasa jadi kayak orang yang gak amanah, gak bisa ngajak yang lain untuk hadir.
Gimana yaa..
Kadang kalau udah dongkol dengan pertanyaan yang kayak gitu, suka menjawab dengan seenaknya, “emangnya saya buntut mereka.”
Bahkan sering mikir gini : yang penting kan saya sudah ngajak, sudah ngabarin, sudah ngasih info. Urusan mereka mau datang atau gak ya itu keputusan mereka. Beruntung banget kalau ada yang mau ngasih kabar, kalau sms ajakan itu hanya sekedar dilirik dan dilupakan karena tidak tertarik. Yasudah. Mau apa? Toh mereka bukan anak-anak lagi. Toh agama ini mengajarkan bahwa tidak ada paksaan.
Astagfirullah, ini devil banget ya.. bikin pembenaran sebagai pembelaan untuk diri sendiri.
Entah mereka yang bertanya seperti itu sadar atau tidak, tetapi pertanyaannya bisa saja membuat sesak orang yang ditanya.

Kadang pertanyaan itu juga bikin sesak orang yang gak bisa hadir dengan alasan yang jelas, maksudnya bukan karena males ya..
Bukankah sebaik-baik sikap kepada teman atau saudaranya adalah berbaik sangka?
Mungkin aja kan seseorang itu benar-benar pengen hadir tapi gak bisa. Apalagi jika kondisinya orang yang gak bisa hadir itu adalah orang yang dibutuhkan, mendengar pertanyaan itu seperti menyisakan rasa bersalah.
Apa? Apa? Apa yang bisa dibantu dari kejauhan? Selain doa dan menanyakan kabar misalnya...

Coba deh, misalkan temanmu itu benar-benar gak bisa hadir karena ditimpa kesulitan. Memangnya kamu setelah tahu kabarnya bisa apa? Apa kamu sudah maksimal melakukan sesuatu untuk membantu meringankan bebannya? (pertanyaan ini ditujukan untuk diri sendiri kok :D)
Perkara peduli memang sungguh berat.
Ehh tapi memang kita selalu saja mencari yang gak ada, terlalu fokus dengan hal-hal yang jauh. Tapi orang yang ada jelas-jelas di depan mata, seringnya kita abaikan.

#Perenungan Untuk Diri Sendiri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul