Langsung ke konten utama

Satu Hari Jelajah Tawangmangu

Day 1: Trip to Tawangmangu

Pertama-tama, terima kasih bagi yang sudah membaca cerita pembuka sebelumnya. Hari ini (Minggu, 3 Desember 2017) agenda utama kami adalah main ke Tawangmangu. Sekitar 50-an kilometer dari rumah Dedew (lumayan jauh ya). Kebetulan sekali, Dedew ada dua motor di rumahnya yang bisa dipakai so kami ga jadi sewa motor. Yeay, Alhamdulillah!

Setelah subuh, kami menjemput Umi dahulu di stasiun Solo Jebres kemudian singgah sebentar di Masjid Nurul Huda UNS. Masjidnya bagus, bersih dan terawat, serta ada fasilitas wifinya. Sebelum jalan, cari sarapan di dekat UNS. Tebak sarapannya apa? Bubur Ayam Jakarta. Walah-walah udah jauh-jauh ke Solo sarapannya kuliner Jakarta hahaha. Oiya, harga bubur dan air minumnya cukup murah lho hanya Rp 5.000,00. 

Destinasi pertama di Tawangmangu adalah Air Terjun Jumog. Perjalanan ke Tawangmangu bisa dibilang asik karena pagi hari udaranya masih segar, sedikit kabut, tidak macet, aspalnya rapi dan pemandangan kanan kiri jalan masih asri. Hamparan persawahan bak permadani hijau yang luas membentang. Mendekati daerah Tawangmangu, trek jalan mulai menanjak dan suhu udara juga lebih dingin. Mirip perjalanan ke puncak.

Air Terjun Jumog

Air Terjun Jumog

Surga dunia banget! 

Tiket masuk Air Terjun Jumog cukup murah, hanya Rp 5.000,00 dengan jam operasional dari pukul 07.00 – 17.00 WIB. Berhubung kami tiba di sana masih pagi, jadinya masih sepi. Buat introvert macam saya itu bonus banget karena bisa menikmati alam tanpa banyak terdistrak oleh aktivitas banyak manusia lainnya. Kalau ramai pengunjung, gak puas foto-fotonya hehe. 

Di sini juga disediakan oleh-oleh khas daerah Tawangmangu yaitu teh dari perkebunan teh kemuning. Ada teh hitam dan teh hijau, selain itu juga ada olahan wedhang uwuh. 

Tempat selanjutnya adalah Telaga Madirda, sebuah telaga tersembunyi di lereng Gunung Lawu. Di tempat ini tiket masuknya gratis. Sepertinya tempat ini belum cukup banyak dikunjungi wisatawan, sebab tempatnya benar-benar masih asri. Air telaganya benar-benar bening! Ikan-ikan yang hidup di telaga itu bisa terlihat dengan jelas dan gemuk-gemuk. Eeiitss tapi gak boleh dipancing ya, engga tahu kenapa mungkin berkaitan dengan kepercayaan lokal. Tempat parkir di Telaga Madirda tidak luas. Disarankan kalau mau kesini lebih baik naik motor karena jalannya sempit, banyak tikungan dan tanjakan. 

Telaga Madirda

Ikan-ikan di Telaga Madirda

Ini Frame: Umi Hasana (Cocok kan jadi cover buku ^^)

Setelah dari Telaga, tadinya mau main ke Candi. Berhubung ban motor bocor kena paku, akhirnya kami putuskan untuk cari tambal ban dulu dan ga jadi main ke Candi. Lokasi Candi masih harus naik ke atas. Nah selama proses mencari tukang tambal ban ini, jadi tahu “culture” baru dari warga di sini. Rumah-rumah mereka banyak terbuka, meskipun gak ada orangnya. Rumah dan isinya ditinggal begitu saja, benar-benar luar biasa. Kalau di Jakarta, barang-barang pasti sudah ludes diambil orang. Anyway, terima kasih sekali buat mas-mas tak dikenal yang terpaksa di-stop di tengah jalan dan mau berbaik hati mengantarkan ke tukang tambal ban.

Selesai tambal ban, kami melanjutkan perjalanan ke Kebun Teh Kemuning. Tak ada HTM-nya tapi cukup bayar parkir Rp. 5000,-. Dari tempat ini bisa lihat landscape kawasan sekitar. Sesekali angin bertiup cukup kencang. Karena sudah cukup siang (jam 11.00 WIB) sinar matahari cukup terik sehingga pemandangannya kurang jernih dan tak bisa lama-lama karena panas. Tapi masih indah untuk dinikmati, apalagi dibelakang kebun teh ini ada Gunung Lawu yang puncaknya tertutup awan tebal.

Kebun Teh Kemuning

Gunung Lawu



Destinasi terakhir untuk hari ini: Grojogan Sewu. Untuk menuju tempat ini, kami melewati perjalanan yang berkelok-kelok, beberapa tanjakan serta turunan yang cukup membuat jantung berdegup lebih kencang. Jalanan khas daerah gunung. Air di daerah ini menyegarkan, dingin tapi gak bikin beku. Setelah ishoma, kami lanjut masuk ke dalam. Harga tiket masuknya Rp. 17.500,00. Kami masuk dari loket 2 Grojogan Sewu. Jarak pintu masuknya sekitar 500 meter dari lokasi air terjun. Selama 500 meter itu, kami melewati hutan pinus yang eksotik. Berbeda dengan air terjun Jumog, Air terjun Grojogan Sewu ini sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk ambil spot foto air terjun harus bersabar menunggu momen yang pas.











Pertama kalinya nyobain sate kelinci! Waktu mau makan teringat muka hewan yang lucu itu. Agak tak tega tapi habis juga. Huwaaa… maafkan ya kelinci. Harga Sate Kelinci di sini Rp. 14.000,-/porsi sudah dengan lontong. Sambil istirahat, Dedew, Rani, dan Umi asik ngobrolin hal-hal berbau ekonomi, perusahaan, zakat dan sedekah, serta pengelolaannya. Da aku mah, abis makan ngantuk. Haha sempet-sempetnya tidur pules di ruang terbuka. Lumayan lah, daripada nanti ngantuk pas nyetir di jalan kan lebih bahaya. 

Jam 4 sore, kami balik pulang. Tiba di Solo lagi sebelum maghrib. Setelah ishoma, cari makan malam. Dan nyobain ayam geprek di belakang UNS. Padahal yang aku makan itu seharga Rp 11.500,- tapi pas Rani bayar, kata dia harga makanan kita diratakan semua. Jadi masing-masing cuma bayar Rp. 9.500,-. Masya Allah walhamdulillah! Entah kenapa hari ini dimudahkan sekali mulai dari cuaca yang cerah (padahal hari hari-hari sebelumnya selalu hujan di Solo), jalanan lancar, sampai diskon harga makanan meskipun pulang-pulang kulit langsung belang hahaha. What a wonderful day!

Semoga bermanfaat dan bisa jadi referensi, barangkali ada yang mau menjelajah ke daerah ini juga :)

(Penasaran hari kedua kami kemana aja? Nantikan cerita selanjutnya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul