Langsung ke konten utama

8 Alasan Travelling Itu Penting

Picture taken by: Bagus

"Dunia ini bagaikan buku raksasa. Dan mereka yang tidak melakukan perjalanan, hanya membaca satu halaman saja.” –St. Agustine.

Kamu suka travelling? Kalau begitu kita tos dulu. Siapa tahu kita nanti bisa jadi travelmate. Bicara tentang travelling mengingatkan saya pada satu ide gila yang pernah saya punya: “Menjadi jurnalis yang bisa keliling dunia”. Sebuah ide yang kala itu (masih maba) tercetus saat menjawab pertanyaan dosen tentang apa yang akan kamu lakukan setelah lulus kuliah. Saya sebut ide gila karena saat itu daya feasible-nya rendah. Keliling dunia itu harus punya finansial yang kuat kan? (normalnya sih begitu). Coba bayangkan: perempuan, baru lulus kuliah, belum punya penghasilan tetap, tapi mau keliling dunia, sebagai jurnalis pula. Terdengarnya sih asik, tapi perusahaan media mana gitu yang mau merekrut dan membayar perempuan unik ini untuk travelling? Haha absurd sekali. Ya Hal baiknya adalah pertanyaan dan kontradiksi ini jadi pemantik semangat untuk travelling.

Mungkin ada beberapa pendapat yang bilang bahwa travelling itu menghabiskan waktu, buang-buang uang, ikut-ikutan trend, cara melarikan diri dari rutinitas atau cuma sekadar ajang pamer foto dan gengsi. Semua itu dikembalikan ke niatnya masing-masing sih. Yang jelas buat orang-orang yang punya hobi travelling, mereka pasti menemukan banyak hal yang lebih dari sekedar jalan-jalan. Buat saya pribadi, setidaknya saya menemukan 8 hal penting mengapa harus travelling.

Pertama, Travelling Itu Melatih Kemandirian.
Kita belajar lebih dalam untuk memahami pilihan perilaku yang akan kita ambil dan melatih untuk berani bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang menyertainya.  Ini terasa sekali waktu menyiapkan itinerary alias rencana perjalanan sendiri (tanpa agensi travel). Mulai dari bertukar pikiran dengan teman (kalau ada), cari-cari informasi seputar tiket, penginapan, menentukan destinasi, mengukur jarak antar destinasi satu dan lainnya, serta menyiapkan diri untuk hal-hal tak terduga lainnya (mitigasi risiko). Ya hidup kan banyak hal tak terduga yang tak bisa semuanya kita kontrol semau kita. Selain itu, travelling juga merupakan upaya melatih diri agar tidak merepotkan orang lain (manja) untuk hal-hal yang sebenarnya bisa ditangani sendiri.

Kedua, Recharge Diri Dengan Energi Positif Melalui Travelling.
Kalau kamu jenuh dengan hiruk pikuk dunia, jalan-jalanlah. Pastikan travelling-nya ke tempat-tempat yang bukan maksiat ya. Saat travelling rasanya banyak energi positif yang bisa saya hirup, terutama saat jalan ke lingkungan yang asri dan berinteraksi dengan warga lokal yang ramah. Itu menyenangkan sekali. Rasanya bisa lepas dan lebih banyak senyum. Pastinya tidak terlalu memikirkan pekerjaan barang sejenak, hehe.

Ketiga, Travelling Itu Mengenali Tempat Baru Dan Belajar Lebih Peduli Lingkungan.
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahi lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Dan hanya kepadaNyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15)

Ayat ini menginspirasi sekali untuk menjelajah bumi bagian lain. Saya suka pemandangan langit, suka dengan wangi udara diantara pepohonan, suka dengan air jernih yang mengalir diantara bebatuan, suka dengan pegunungan yang jauh menjulang, suka dengan laut yang terlihat tanpa batas, suka tempat bersejarah, juga suka dengan kehidupan unik yang tersembunyi di tengah perkotaan.

Tempat-tempat baru membuat saya belajar lebih fleksibel untuk beradaptasi. Dan traveller sejati pasti menghormati aturan tak tertulis untuk tetap menjaga lingkungan. Berperilaku yang baik dan tidak merusak. Sejujurnya paling sebel kalau pas naik gunung ketemu pendaki yang merokok, kan salah satu tujuan ke gunung biar dapat udara segar, tapi karena bertemu mereka malah dapat asap beracun. Sedih. Sejauh ini tempat yang sudah dikunjungi baru sekitar pulau Jawa dan Sumatera, kalau dipikir ya Indonesia memang luas dan banyak tempat yang menakjubkan. Masya Allah.

Keempat, Travelling Adalah Cara Mengenali Orang Lain.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar Rum: 22)

Iya banget, perjalanan ke tempat baru itu pasti ketemu orang baru dengan latar belakang dan budaya yang berbeda. Bagaimana bisa ya semua itu tercipta? Kondisi geografis, keunikan manusia, cara berpikir, bahasa dan budaya yang melekat padanya. Suatu hal yang besar untuk direnungkan bukan?

Kalau pun tak ketemu orang baru, bisa juga mengenali diri yang baru dari teman seperjalanan. Setiap orang itu pasti berubah seiring perubahan waktu dan pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan. Bisa jadi travelmate kita; ia yang kemarin berbeda dengan ia yang saat ini. Perjalanan membuat saya sedikit lebih dalam mengenal orang lain, entah itu dengan teman sendiri yang jadi travelmate atau bahkan orang baru. Kurang lebih perjalanan itu membuat saya belajar untuk lebih mudah membaur. Default seorang introvert yang payah berbasa-basi sedikit berkurang dengan travelling. Dari sini pula, saya belajar untuk bisa menghargai pendapat orang lain yang berbeda, atau bahkan justru menemukan inspirasi baru dari perbedaan tersebut. Selain itu juga menjadi lebih percaya diri untuk membangun komunikasi.

Kelima, Travelling Itu Artinya Menemukan Diri Sendiri.
Bagaimana pun cerita sebuah perjalanan itu pada akhirnya menjadi sarana untuk menempa karakter diri. Mengetahui daerah buta diri sendiri melalui cerminan perspektif orang lain tentang diri kita. Belajar menghadapi kecemasan, ketakutan, dan keragu-raguan. Konon, kita cenderung untuk membenci hal-hal yang tidak kita tahu. Nah, travelling membuat saya belajar untuk tidak terjebak pada stereotip yang ada.

Keenam, Travelling Itu Mengambil Pelajaran Dan Peringatan.
Ada beberapa ayat quran yang menyuruh kita untuk berjalan di muka bumi dan mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu. Pola sejarah itu berulang, hanya beda aktornya. Jangan sampai kita melakukan hal-hal buruk yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu sehingga kepedihan yang menimpa mereka terjadi pula pada kita. Selain itu dengan memperhatikan peninggalan-peninggalan peradaban yang ada mengajarkan kita agar tidak sombong. Banyak peradaban yang kuat dan maju pada akhirnya hancur juga karena kesombongan.

Ketujuh, Travelling Itu Sarana Pembelajaran.
Menambah wawasan? Iya banget kan. Saat otak imajinatif saya bekerja, saya pernah membayangkan apa jadinya kalau hidup sezaman dengan Ibnu Batutah, mungkin saya akan mengajukan proposal untuk menjadi salah satu krunya. Pemuda 20 tahunan asal Maroko yang awalnya memulai perjalanan ke Baitullah kemudian melanjutkan perjalanan menjelajahi dunia hingga 30 tahun setelahnya. Wow banget! Pemuda itu memang luar biasa, tak heran catatan perjalanan beliau menjadi warisan berharga bagi umat manusia. Tokoh lainnya semisal Imam Al Ghazali yang banyak memberi sumbangan bagi kemajuan manusia juga mengawali karya besarnya dari sebuah perjalanan (discovery). Mereka ‘membeli’ pengetahuan dan pengalaman dengan perjalanan.

Ya kalau dibanding dengan usia saya yang sudah seperempat abad di zaman modern kebanyakan cuma bisa jalan-jalan di internet. Cuma tahu teori tapi tak punya banyak pemahaman konkret tentang itu, sejujurnya membuat saya envy berat sekaligus terinspirasi dengan orang-orang yang kaya pengalaman dan kebijaksanaan, haha.

Terakhir, Travelling Adalah Ibadah.
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkanNya kepadamu sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.” (QS. Luqman: 31).

Hiks, Mau nangis baca ayat ini.  Tanda-tanda kebesaran Allah itu banyak sekali untuk orang-orang yang mau berpikir, bersabar, dan bersyukur. Dan kalau bukan karena nikmat dari Allah, bisa apa sih kita. Muara dari segalanya bahwa travelling itu bagian dari ibadah. Allah sudah memberi banyak, Dia bahkan tidak butuh ibadah dari kita, justru kitalah yang butuh untuk beribadah padaNya. Rugi sekali rasanya kalau banyaknya travelling tapi tak membawa dampak yang berarti untuk bisa mendekatkan diri dan lebih mengenal Sang Pencipta melalui ayat-ayat kauniahNya.

Kalau berkeluarga nanti, saya berharap punya program family trip. Ada sebuah nasihat yang bilang bahwa hidup itu tak selalu diukur dengan umur, tapi dengan banyaknya momen atau cerita. Harapannya dengan family trip ini bisa memberi sesuatu yang bisa dikenang lebih lama dan dipelajari oleh anak-anak sebagai bagian dari bekal hidup mereka nantinya. Semoga.

That’s it cuap-cuap panjang lebar tentang travelling, semoga bermanfaat!
__________________________

Depok, 24 Februari 2018; berbagi pemikiran dengan #sabtulis. Sabtulis (Sabtu Menulis) adalah gerakan menulis di hari Sabtu. Kamu bisa menuliskan tentang gagasan, cerita, puisi, prosa, ataupun hal lain yang ingin kamu ekspresikan melalui tulisan. Yuk Ikutan! Mengenal diri, mengapresiasi diri, dan menjadi lebih percaya diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul