Langsung ke konten utama

Meet The Stranger (1)

1 Februari 2018 adalah perjalanan pertama saya menghirup udara di tempat baru di tahun ini. Rencana awalnya bakal duo trip bareng Izzah ke Malang. Sebuah kota yang jaraknya kurang lebih 660 Km dari rumah saya di Depok. Tapi berhubung doi sedang dikejar deadline skripsi yang tak bisa diganggu gugat, akhirnya batal ikut. Sempat ngajakin adik untuk ikutan jalan, tapi jadwalnya belum cocok karena dia juga ada laporan awal tahun perusahaan. Coba ajak Rani, tapi dia juga lagi persiapan untuk purna tugas di kantornya. Mau ajak kak Dany, tapi katanya bosan ke Malang. Sudah bingung mau ajak siapa lagi, yasudah Oke fix-lah perjalanan ini menjadi solo trip terjauh pertama saya sepanjang sejarah. Sebulan sebelumnya sudah bilang ke Bagus kalau akan ke Malang. Alhamdulillah-nya dia bersedia meluangkan waktu Sabtu-Minggu menemani saya menjelajah selama di sana, padahal dia kerja di Surabaya (kan lumayan jauh yaa).

Rani sempat tanya kok saya bisa sih traveling tanpa rasa khawatir, dan itu membuat dia merasa iri. Hwaduuuh kalau ditanya seperti itu sebenarnya saya juga punya rasa khawatir. Perempuan, safar lebih dari tiga hari, ke sebuah tempat yang belum pernah dikunjungi, sendirian tanpa mahram pula (?). Tapi rasa khawatir yang saya punya tak lebih besar dari rasa penasaran akan sebuah perjalanan, petualangan, pengalaman, dan pelajaran-pelajaran baru yang mungkin bisa saya dapatkan. Risk taker abis. Mumpung masih single ya, kan engga tahu nanti kalau sudah menikah apakah dapat suami yang suka jalan-jalan juga atau engga (mudah-mudahan yaa dipersatukan dengan yang suka travelling juga). Perjalanan selanjutnya, ayo Rani ikut!

Anyway, zaman sekarang kalau mau melakukan perjalanan terasa lebih mudah dengan banyaknya dukungan teknologi dan aplikasi. Asal tak kehabisan kuota dan sinyal saja. Contohnya untuk tiket saya bisa pesan di traveloka dan tinggal cetak ketika akan boarding. Untuk perjalanan di dalam kota, apalagi kota yang banyak jadi destinasi wisatawan, saya yakin grab atau gojek pasti ada. Sedangkan untuk penginapan, saya coba pakai booking.com. Setidaknya persiapan ini bisa mengurangi risiko lenggang kangkung, buta tujuan, dan bisa estimasi biaya dengan lebih akurat. Berhubung saya orangnya tak terlalu rigid, jadi ya gak terlalu ambil pusing kalau ada jadwal yang sudah direncanakan berubah sewaktu-waktu sesuai situasi dan kondisi, yang penting happy.

Saya berangkat jam 15.15 WIB dari Pasar Senen dengan kereta Matarmaja dan tiba di Stasiun Malang 2 Februari 2018 jam 07.51 WIB. Mau check in di Batu, tapi masih nunggu siang. So jalan dulu ke Alun-alun Tugu, numpang sarapan dan duduk-duduk. Lokasinya dekat dengan Balaikota, Kantor DPRD Malang, dan beberapa SMA di Malang. Udara pagi di sini cukup sejuk. Apalagi banyak tanaman di Alun-alun ini, menyegarkan mata sekali. Disekitar Tugu, banyak tanaman teratai yang sedang mekar, cantik! Banyak juga orang yang lalu-lalang, beberapa diantaranya wisatawan macam saya. Oiya, pagi ini makin menakjubkan karena disapa oleh mbak-mbak bercadar yang bilang “Assalamu’alaykum!” Woaaah suka deh, merasa dianggap sebagai seseorang.

Alun-Alun Tugu Kota Malang

Alun-Alun Tugu Kota Malang

Bunga Teratai di Alun-Alun Tugu

Balaikota Malang

Selesai mengisi tenaga, mau naik Bus Malang City Tour alias Macito. Bus ini gratis lho, wajib dicoba kalau kalian pergi ke tempat ini. Khusus hari Minggu harus ambil tiket antrian, tapi kalau hari biasa bisa langsung naik selama busnya belum penuh. Kebetulan sebelum ke tempat Macito, menyempatkan untuk ambil gambar alun-alun dari depan gedung Balaikota. 

Then for the first time, I met the stranger in Malang! Namanya Galih, dia mau naik Macito juga. Sama-sama sendirian sambil bawa ransel yang penuh barang. Yeay akhirnya dapat teman jalan, Masya Allah bersyukur banget. Galih ini ternyata rumahnya di Cengkareng, mahasiswa semester 3 Universitas Satyagama jurusan Hubungan Internasional. Dia baru balik dari Bali. Hal yang menyenangkan bisa mendengar pengalamannya selama di Bali, dari mulai tips dapat penginapan murah tapi nyaman, pengalaman beli cenderamata, sewa kendaraan, ikutan family trip temannya di Bali, pengalamannya kena tilang, sampai rencana tempat-tempat baru yang akan dikunjungi. Setelah itu saya jadi mengenang masa lalu, semester 3 saya asik ngapain ya? Sepertinya masih sibuk berkutat dibalik bangku perkuliahan. Luar biasa anak ini berani banget, setelah dari Malang, dia masih singgah ke Surabaya kemudian pulang ke Cengkareng. Sambil menunggu kereta ke Surabaya Jam 13.00, masih ada waktu untuk keliling sebentar di Malang dan main ke Jodipan.

Bus Malang City Tour

Galih Priyo U.

Seru juga naik Macito sambil lihat landmark kota Malang disertai beberapa penjelasan singkat mengenai sejarah bangunan, jalan, dan beberapa monumen/patung yang menghiasi kota ini. Ada banyak foto yang diambil, tapi tak semua di upload di sini. Selengkapnya cek IG @yuningikar ya, sekalian diikuti juga boleh 😁 siapa tahu bermanfaat.

Suasana Di Bus Macito Bagian Bawah

Monumen Simbol Perjuangan Rakyat Malang Melawan penjajah 

Rumah Ibadah yang saling bersebelahan, lokasi dekat Alun-Alun Malang

Tugu Melati & Perpustakaan Umum

Salah Satu Resto Es Terkenal di Malang

Turun dari Macito, kami jalan kaki ke Jodipan dipandu oleh Google Maps. Terima kasih mbah Google :D By the way, surprised banget tiket masuk Jodipan dibayarin sama Galih, arigatou. Mengikuti anak ini jelajah jodipan dari turunan cinta sampai tanjakan maut. Tanjakan maut itu sempit dan anak tangganya tinggi-tinggi, kebayang ga? Naik tanjakan maut itu berasa lagi mendaki gunung, sampai di atas betis langsung pegel. Efek masih bawa barang banyak. Sayang gak sempat foto ini turunan-tanjakan.


Kampung Tridi

Kampung Arema

Pemandangan Jodipan

Sudah jam setengah 12 waktunya salat jumat juga waktunya kami berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing. Meski singkat, terima kasih sudah menjadi teman yang menyenangkan, sampai jumpa lagi.

Selanjutnya sayapun pergi ke homestay di Batu. Well, di tengah jalan sudah disambut hujan. Hujannya unik, tak pakai gerimis langsung menderas. Pertama kalinya merasakan kuyup di kota hujan ala Jawa Timur. Beruntung abang ojeknya baik, mau bersabar berhenti sebentar menunggu hujan mereda. Sampai di homestay, hujannya masih belum reda. Ini hujan yang awet. Finally, menghabiskan sisa hari pertama di Batu dengan beristirahat.

Perjalanan hari kedua, makin seru. Nantikan cerita selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul