Mengapa kita tertarik untuk memahami orang lain?
Kita cenderung tertarik memahami orang lain karena mereka punya peranan penting dalam hidup kita. Kita seringkali menghabiskan banyak waktu untuk mencoba mengerti perilakunya. Kita akan selalu mencoba memahami mereka dengan meneliti emosinya dan menafsirkan perilakunya. Kadang kala yang kita lakukan itu tepat tapi tentu tidak selamanya berhasil.
Dalam psikologi, proses ini bisa disebut sebagai persepsi sosial; yakni proses-proses yang kita gunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami orang kita. Dengan persepsi sosial, kita melatih kemampuan untuk membaca orang lain. Lebih lanjut hal ini bisa berguna untuk melatih empati kita terhadap orang lain.
Apa yang kita lakukan saat kita membentuk persepsi sosial?
Kita sangat tertarik untuk memahami dan mencari tahu bagaimana perasaan orang lain saat ini -terlebih mereka yang kita anggap spesial di hati, kita tentu akan memikirkan mereka lebih banyak daripada orang lain. Ketika kita merasa penasaran dengan itu, tak jarang kita memakai jalan pintas yang sederhana yaitu dengan bertanya. Sayangnya, cara itu sering gagal sebab orang lain tak selalu bersedia untuk menceritakan perasaannya yang terdalam. Sebaliknya, ada momen tertentu di mana justru mereka berusaha keras untuk menyembunyikan bahkan berdusta pada kita tentang emosi mereka.
Lalu apa yang kita lakukan jika jalan pintas tersebut menemui kebuntuan?
Biasanya kita akan menggunakan strategi lain yakni dengan memperhatikan petunjuk nonverbal. Kita akan mempelajari komunikasi nonverbal seseorang. Seringkali tingkah laku sosial manusia sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat sesaat. Perubahan mood, emosi, penyakit, dan pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Contohnya, kebanyakan orang mau menolong orang lain saat perasaan hatinya sedang baik dibanding saat perasaannya sedang buruk. Seseorang cenderung kehilangan kontrol diri dan melampiaskan kemarahannya pada orang lain dengan berbagai cara saat perasaannya terluka, daripada saat ia sedang merasa bahagia.
Komunikasi nonverbal bisa diamati dari ekspresi wajah, kontak mata, intonasi suara dan gestur/bahasa tubuhnya. Komunikasi nonverbal yang ditampilkan seseorang ternyata bisa mempengaruhi perasaan kita, baik saat kita sengaja mencoba membaca perasaannya maupun saat kita tanpa sengaja memperhatikan tanda-tanda tersebut. Gejala ini disebut juga sebagai penularan emosi (emotional contagion). Kita bisa ikut sedih ketika orang lain sedih, menjadi bahagia ketika orang lain tersenyum, atau gusar saat orang lain marah.
Seorang orator terkenal dari Roma, Cicero berkata bahwa wajah adalah gambaran jiwa. Maksudnya adalah perasaan dan emosi seseorang bisa terbaca dari beragam ekspresi wajahnya. Meskipun hal ini bisa jadi relatif tengantung latar budayanya, namun pada dasarnya ada ekspresi wajah yang berlaku secara universal. Selain itu kontak mata juga penting untuk dipahami. Penyair kuno bilang bahwa mata adalah jendela jiwa. Ya, kita bisa belajar banyak tentang perasaan orang lain dari tatapan matanya. Misalnya apabila kita ditatap terlalu lama oleh orang lain tanpa peduli situasi dengan tatapan yang dingin, kita mungkin akan mengartikan bahwa itu adalah tatapan tidak suka. Dengan memperhatikan tanda-tanda nonverbal, kita bisa lebih menyadari kapan seseorang sedang berbohong atau sekedar menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya dari kita. Ada hal yang perlu dicatat: seseorang yang sangat termotivasi untuk mendeteksi kebohongan atau pengecohan cenderung tidak akurat karena biasanya lebih fokus pada kata-kata.
Apa yang diuraikan di atas sangat mungkin dilakukan apabila kita dalam kondisi berinteraksi secara langsung. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita bisa memahami orang lain saat komunikasi yang kita jalin dilakukan secara tidak langsung? Apa bisa seakurat saat kita berkomunikasi secara tatap muka? Mengingat bahwa zaman sekarang kita bisa terhubung dengan orang di belahan dunia lain dengan bantuan teknologi tanpa perlu bertemu langsung. Saya pikir ini adalah hal menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
Kita memang sering berpikir dengan cara yang begitu rumit dan kompleks ketika mencoba memahami orang lain. Jadi meskipun analisis terhadap konteks personal-situasional terbukti bermanfaat, tapi tetap saja belum mampu menerangkan keseluruhan proses berpikir kita untuk menjawab pertanyaan “mengapa” tentang orang lain –mengapa ia begini, mengapa ia begitu-. Usaha kita masih jauh dari sempurna. Faktanya, kita masih banyak menemui kesalahan yang berujung pada kesimpulan yang keliru tentang perilaku seseorang dan prediksi tentang perilakunya dikemudian hari.
NB: hasil catatan dan perenungan tentang materi psikologi sosial dari Robert A. Baron & Donn Byrne.
---------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!
Komentar
Posting Komentar