Langsung ke konten utama

Tentang Menulis

“Aku belajar menulis karena tahu dia suka membaca.”

Salah satu kalimat dari Doktor Smile yang cukup membuat saya terkesan dari Buku ‘Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta’ karya Tasaro GK. Saya rasa kalimat itu ada benarnya dan mulai mengamininya. Setiap mereka yang ingin menulis, paling tidak ada satu hal yang harus dilakukan: kemauan membaca. Aktivitas menulis dan membaca seperti dua sisi koin, berbeda tapi saling menyatu.

Saat membaca tulisan seseorang -terutama tentang hal-hal personal yang ia ceritakan- saya merasa menjadi sedikit lebih mengenalnya. Untuk beberapa kasus, tulisan-tulisan yang baik menginspirasi saya untuk hidup dengan lebih baik. Saya suka membaca, pada akhirnya itu mendorong saya belajar untuk menulis. Secara tidak langsung, tulisan-tulisan tersebut menjadi guru bagi saya.

Bagi setiap penulis pemula, memulai menulis memang bukan hal mudah. Ada ide, gagasan, atau perasaan yang berkutat di kepala tapi bisa menjadi sulit untuk dituangkan dalam tulisan. Tapi tidak ada cara lain selain tuliskan saja, seberapapun carut marutnya tulisan itu. Karena kalau mengharapkan tulisan yang sempurna, bisa jadi tulisan itu tak akan selesai.

Umumnya, menulis merupakan sarana untuk mengikat ilmu. Di sisi lain, menulis bisa jadi memiliki banyak makna untuk masing-masing penghayatan. Bagi seorang introvert macam saya yang sudah riuh dengan isi kepala (dan hati)nya, menulis adalah cara untuk memindahkan sebagian isi tersebut tanpa harus ada banyak kata yang terlongkap atau pesan-pesan yang terlewat untuk disampaikan. Dan seperti kebanyakan introvert lainnya yang tidak mudah menemukan telinga yang pas untuk cerita-cerita mereka, maka menulis adalah sebuah alternatif. Kami bercerita pada siapa saja, pembaca yang mungkin memang tertarik untuk menjadi pendengar tanpa banyak penghakiman.

Kedua, menulis adalah jalan untuk mendengarkan diri sendiri. Berdialog dengan diri sendiri dan melatih kejujuran. Sebuah proses untuk mencoba mencari jawaban otentik tentang hal-hal yang menggelisahkan. Meski pada akhirnya beberapa tulisan itu mungkin hanya saya saja yang mengerti dan menjadi ambigu bagi si pembaca.

Terakhir, menulis adalah cara lain untuk meminimalisir ledakan emosi. Menulis secara tidak langsung menjadi terapi dalam mengelola emosi. Mau sedih, marah, kecewa, patah hati, senang, berbunga-bunga, atau jatuh cinta bisa jadi hal menarik untuk dituliskan. Siapa tahu justru menelurkan karya, iya kan?


------------------------------
Tulisan ini merupakan bagian dari #Sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu buat kamu-kamu yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif sekaligus melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan. Tertarik? Jangan ragu untuk ikutan. Selamat berkarya!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul