Langsung ke konten utama

Memahami Diri Sendiri

Bagaimana kita bisa mengenal dan memahami diri kita sendiri?

Dalam kajian psikologi, ada dua persepsi tentang diri sendiri. Pertama sebagai “aku yang diketahui” atau biasa disebut sebagai konsep diri (self concept) yaitu pengetahuan mengenai siapakah diri kita. Kedua adalah “aku yang mengetahui” atau dikenal dengan istilah kesadaran diri (self awareness), yakni cara kita berpikir mengenai diri sendiri.

Diri (the self) memiliki dua fungsi berupa fungsi organisasional dan fungsi eksekutif. fungsi organisasional merupakan cara seseorang mengorganisasikan pengetahuan mengenai diri sendiri seperti mencatat, memikirkan dan mengingat dirinya sendiri. Ada kecenderungan bahwa seseorang mengingat informasi secara lebih baik apabila informasi itu berkaitan dengan dirinya. Sedangkan fungsi eksekutif, yaitu diri bertugas memutuskan untuk meregulasi perilaku, pilihan-pilihan dan rencana di masa depan. Regulasi diri ini berkaitan dengan pengendalian diri. Orang dalam kondisi stres dan kelelahan cenderung lebih sulit untuk mengendalikan dirinya.

Ada perbedaan budaya yang mempengaruhi pendefinisian diri. Seseorang dalam budaya barat biasanya memiliki pandangan mengenai diri yang independen. Sedangkan orang dalam budaya nonBarat cenderung belajar untuk mendefinisikan dirinya yang saling tergantung (interdependent of view of the self). Misalnya seorang perempuan muslimah yang berjilbab. Dalam menilai keputusan tersebut, masyarakat Barat cenderung menduga bahwa jilbab adalah bentuk pengekangan atas kebebasan perempuan. Padahal dalam budaya lain, jilbab dimaknai sebagai konsekuensi logis dari pandangan dirinya tentang sebuah keimanan terhadap Tuhan dan memiliki kewajiban atas orang lain untuk sama-sama menjaga (aurat). 

Penjelasan mengenai perbedaan budaya mengenai konsep diri ini bukan berarti bahwa semua anggota masyarakat Barat memiliki independent view of the self dan semua anggota masyarakat Asia memiliki interdependent view of the self. Di dalam tiap-tiap budaya, bagaimanapun juga terdapat perbedaan konsep diri. Selain itu, bila kontak antar budaya meningkat maka perbedaan antar budaya akan berkurang.

Perbedaan pendefinisian diri juga terkait gender. Konsep diri perempuan cenderung fokus ke arah relational interdependence. Artinya, perempuan lebih memperhatikan bagaimana pereasaan terhadap orang-orang disekitarnya. Sedangkan laki-laki lebih ke arah collective interdependence, yakni lebih fokus pada keanggotaannya dalam kelompok besar.

Konsep diri bersifat adaptif terhadap semua budaya. Tiap-tiap orang punya suatu motif dasar yang menuntun bagaimana ia memandang dirinya sendiri. Seseorang biasanya ingin mengetahui tentang informasi akurat tentang dirinya sendiri, konfirmasi atas hal-hal yang diyakininya, serta umpan balik yang positif.

Mengenal diri sendiri bisa dilakukan dengan 3 cara: introspeksi, mengamati perilaku diri kita sendiri, dan mengenal diri sendiri dari cerminan orang lain. Seberapa seringkah kita bermuhasabah atau mengintrospeksi diri sendiri? Seberapa sering kita berpikir tentang diri kita sendiri? Seberapa sering kita berbincang dengan nurani sendiri? Di titik ini kita mulai membangun kesadaran diri dengan cara memusatkan perhatian, menilai dan membandingkan perilaku kita dengan standar internal dan nilai-nilai kita. Introspeksi mungkin tidak selalu berhasil membuat kita menemukan penyebab pikiran atau perasaan kita, tapi kita akan berhasil meyakinkan diri tentang suatu sebab.

Cara selanjutnya adalah dengan mengamati perilaku sendiri. Teori persepsi diri (self-perception theory) menyatakan bahwa bila sikap dan perasaan kita tidak menentu atau kabur, kita mencoba menarik kesimpulan dengan mengamati perilaku kita sendiri dan situasi yang ada. Apakah tindakan kita termotivasi secara intrinsik atau ekstrinsik. Dalam suatu kondisi, mengganti motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik (berupa hadiah misalnya), hasilnya tidak menguntungkan. Itu membuat orang kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati. Mengamati perilaku, artinya kita juga perlu untuk memahami emosi kita. Dalam hal emosi, yang kita amati adalah perilaku internal kita, yaitu bagaimana kita merasa terbangkitkan/bergejolak (aroused) secara fisiologis.

Cara berikutnya dengan bercermin pada orang lain. Konsep diri kita berkembang bukan hanya oleh diri kita sendiri, melainkan juga dibentuk oleh orang-orang di sekitar kita. Bila kita tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, maka gambaran diri kita akan kabur, karena kita tidak melihat diri kita yang berbeda dengan orang lain. Kita belajar mengenai kemampuan dan sikap-sikap kita sendiri dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain (teori perbandingan sosial) terutama pada saat kita tidak yakin tentang diri sendiri pada suatu bidang tertentu. 

Perbandingan sosial ini bisa dilakukan ke bawah (downward) dan ke atas (upward). Contohnya bila kita merasa selalu kekurangan, kita cenderung akan membandingkan diri pada mereka yang lebih kekurangan dan itu membuat kita berpikir lebih banyak  untuk bersyukur daripada mengeluh. Sedangkan perbandingan sosial ke atas biasanya kita lakukan untuk dijadikan inspirasi dalam mengembangkan diri. Bila kita ingin mengukur secara akurat kemampuan dan pandangan-pandangan kita, seringkali akan lebih bermanfaat bila kita membandingkan diri dengan orang yang memiliki latar belakang sama dengan diri kita.  

Selain perbandingan sosial, kita mengetahui diri sendiri dengan jalan mengadopsi pandangan orang-orang lain sebagai tolok ukur untuk menilai diri sendiri.  Dalam kondisi yang sama, orang cenderung memakai pandangan umum yang sepergaulan alias looking glass self. Kita melihat diri sendiri dan dunia sosial kita melalui pandangan orang-orang lain dan sering mengadopsi pandangan itu. Tidak heran bahwa antarteman yang satu sama lain ingin bergaul bisa saling mempengaruhi pandangan. Dan ini bisa terjadi tanpa kita sadari termasuk saat kita berinteraksi dengan teman baru.

Ternyata proses mengenali diri sendiri bisa semenarik ini. 
Kamu, apa sudah mengenali dirimu sendiri? Jangan ragu untuk selalu berkenalan ya agar tidak hilang arah.

NB: belajar psikologi sosial tentang self-knowledge dari handout Ibu Nilam W. 

---------------------------------

Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

  1. Kaa aku masih belum ngerti bedanya self concept sama self awareness hehe bisa kasih contoh simpel ga kak? Tulisan kaka keren2 ih #thumbsup -Qurina

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Qurina, wah ga nyangka bakal dibaca Qurin. Hehe... Kalau konsep diri itu berkaitan dengan kognitif, Emn sekumpulan pengetahuan tentang diri kita dan itu bisa didapat dari diri kita sendiri (self awareness) dan juga informasi dari orang lain. Nah di sini kita bisa lihat bedanya kan? :) Jadi self awareness itu bagian dari konsep diri.

      Misal Qurina sadar kalau Qurina itu orangnya rajin (self awareness) meski orang lain mungkin gak sadar tentang itu. Dan Qurin tahu kalau Qurin itu rajin (self concept).

      Contoh lain misal awalnya Qurin ga sadar kalau ternyata Qurin itu orangnya ceroboh (artinya ga ada self awareness), tapi info dari orang lain bilang bahwa Qurin itu ceroboh. Nah ini bisa jadi konsep diri.

      Kurang lebih begitu :) semoga bisa lebih jelas ya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul