Langsung ke konten utama

Mengapa Kita Sering Salah Mengenali?

Sumber yang berpotensi menyumbang kesalahan dalam berpikir mengenai orang lain.

Manusia bukan komputer, meskipun kita bisa berpikir secara rasional dan logis. Sekompleks apapun komputer beserta algoritmanya, jelas ia tak lebih kompleks dari manusia dengan segala pemikiran dan emosi/perasaannya ketika memutuskan untuk bertindak sesuatu; terutama yang berkaitan dengan orang lain. Aspek emosi (atau pengenalan terhadap emosi) inilah yang belum dimiliki oleh komputer. Pikiran dan emosi manusia bekerja secara dua arah. Pemikiran kita bisa mempengaruhi emosi/perasaan, sebaliknya emosi dan perasaan juga bisa membentuk pikiran kita. Tidak seperti komputer, nyatanya kita lebih jarang berpikir secara rasional daripada yang kita kira.

Kita sering salah dalam mengenali orang lain, bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal berikut.

1. Bias negativitas. Kita cenderung lebih memperhatikan hal-hal negatif yang dimiliki oleh orang lain. Kita lebih cepat sadar dengan ekspresi wajah negatif orang lain yang menunjukkan permusuhan kepada kita dibanding wajah positif dengan aura keramahan. Kita lebih sensitif terhadap informasi negatif daripada informasi positif. 

Coba jujur, saat ada temanmu yang bercerita tentang si X yang kaya, pandai, prestatif, dan pelit; mana yang paling kamu ingat dan menarik atensimu? Biasanya negatifnya. Makanya tak heran kalau menggosip itu yang keluar justru lebih banyak informasi negatif tentang orang lain. Informasi negatif yang kita dapat dari orang lain membuat penilaian kita menjadi tidak objektif.

2. Bias Optimistik. Kita cenderung mengharapkan agar sesuatu berjalan dengan baik. Faktanya, selalu ada hal-hal di luar rencana kita dan membuat apa yang kita rencanakan tidak berjalan dengan semestinya. Optimis itu boleh dan perlu bahkan, tapi jangan berlebihan. Sebab hal buruk bisa terjadi sewaktu-waktu dan itu di luar kuasa kita. Kita harus selalu bersiap untuk kemungkinan terburuk, sehingga itu tidak membuat kita jatuh pada kekecewaan yang lebih dalam apabila sesuatu terjadi sebaliknya dari apa yang kita harapkan.

3. Overthink. Kita terlalu banyak berpikir. Alih-alih tepat, terlalu banyak berpikir justru bisa menyebabkan kita semakin bingung dan frustasi. Akhirnya hal itu membuat penilaian kita menjadi tidak tepat dan tidak akurat.

4. Pemikiran konterfaktual. Pasti kita sering berpikir: “apa yang terjadi seandainya…..” saat menghadapi kondisi yang mengecewakan maupun sebaliknya. Dengan berpikir seandainya, kita membayangkan mengenai banyak kemungkinan yang lebih baik (upward counterfactuals) atau kemungkinan yang lebih buruk (downward counterfactuals). Semisal saat kamu bertemu dengan polisi tapi SIM yang kamu punya mati dan akhirnya ditilang. Kamu menjadi kesal dan menyalahkan polisi yang tiba-tiba mengadakan razia. Kemudian kamu mulai berpikir seandainya kamu melewati jalan lain, atau seandainya tidak ditilang; tentu kamu tidak perlu merasa kesal pada Pak Polisi dan menyalahkan diri sendiri. 

Ketika kita memikirkan hal-hal yang lebih baik dari fakta yang terjadi, kita akan semakin dekat dengan penyesalan. Ya, penyesalan itu muncul ketika kita memikirkan kemungkinan kejadian yang lebih baik dari sebenarnya. Kita cenderung untuk membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan kita dapatkan saat kita melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan. Selanjutnya kita menyalahkan diri sendiri dan merasa bodoh dengan tindakan yang kita ambil. Semakin lama kita menyesal, penyesalan itu akan semakin kuat dari waktu ke waktu dan bisa menghantui kita seumur hidup.

Kita juga sering berpikir untuk mengurangi rasa pahit dari kekecewaan yang dialami dengan berasumsi bahwa kejadian negatif/peristiwa buruk datang tanpa bisa kita hidari. Kita cenderung untuk membuat kejadian tersebut lebih bisa diterima. Contohnya  saat kita mengalami peristiwa tragis berupa kematian dari orang yang kita cintai. Kita mulai menyesuaikan pandangan kita dengan fakta yang ada.

Pemikiran konterfaktual juga bisa berpengaruh pada kelambanan apatis. Ketika kita gagal mendapatkan sesuatu yang bisa memberikan hasil lebih positif di awal, kita cenderung untuk tidak mencoba lagi di kesempatan yang lain. Kita menjadi tidak terlalu peduli pada hal itu dan agar tidak terlalu sakit ketika harus merasa kehilangan kesempatan bagus di awal.

Intinya, pemikiran konterfaktual punya banyak pengaruh. Ini bisa menyebabkan kekecewaan dan penyesalan mendalam di satu sisi, juga bisa memunculkan harapan dan kemauan untuk menjadi lebih baik di sisi yang lain.

5. Pemikiran magis. Kita berpikir dengan melibatkan asumsi dengan alasan yang tidak rasional. Misalnya kita menghindari orang lain yang sedang menderita sariawan dikarenakan kita takut akan tertular penyakitnya apabila kita berbicara dengan mereka. Padahal sesungguhnya sariwan bukanlah penyakit yang menular.

Semoga dengan mengetahui hal-hal ini membuat kita meminimalisir kesalahan berpikir, membuat kita menilai sesuatu dengan lebih adil dan bisa berbuat dengan lebih baik ketika berhadapan dengan orang lain. Semoga bermanfaat!

N.B: Bahan bacaan buku Psikologi Sosial dari Robert A. Baron & Donn Byrne.

---------------------------------

Tulisan ini merupakan bagian dari #sabtulis. Apa itu sabtulis? Sabtulis adalah gerakan menulis di hari Sabtu bagi sobat yang ingin menjadikan malam minggunya lebih produktif, melatih kemampuan menyampaikan gagasan atau mengekspresikan diri melalui tulisan, serta membentuk kebiasaan baik dalam menulis. Mari ikutan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul