Langsung ke konten utama

Pukulan Telak dihari Kartini



Rara mengambil handphonenya yang tergeletak di meja, ternyata sudah banyak sms. Hampir semua sms itu berupa reminder untuk Rara dari temannya yang mengharapkan Rara untuk hadir di acara ini dan itu. Sabtu-minggu ini ada kegiatan yang bentrok. Rara menghela napas. Untuk kali ini rasanya berat. Rara selalu sibuk. Begitulah Rara, sibuk dengan dunianya.

Sabtu pagi, 21 April, hari Kartini. Sebelum berangkat ke kampus, Rara meminta izin sekaligus berpamitan kepada Ibu.
“Ma, hari minggu Rara ada acara. Izin ya ?”
“Senin sampai Sabtu kamu pulang malam terus, Ra. Kapan terakhir kali kamu liburan ? bahkan hari  minggu pun kamu gak ada di rumah.”
Rara diam, wajahnya memelas.
“Minggu kemarin kamu pergi, minggu ini kamu izin lagi. Pasti minggu depan kamu punya acara lagi. Waktu untuk mama kapan?”
Deg! benar sekali tebakan ibu. Minggu depan Rara memang sudah ada undangan untuk menghadiri pertemuan terakhir sebelum masa kepengurusan di organisasinya berakhir.
“Ra, kadang mama berpikir. Mama lebih suka kamu menjadi anak kecil yang selalu punya waktu untuk mama. Kalau kamu gak bisa sediain satu hari saja dihari-hari kamu untuk keluarga ini, setidaknya kamu bisa kan untuk tidak pulang malam?”
Rara gak bisa janji Ma. Jawab Rara dalam hati.
“hhe…” Rara nyengir, tak ada pilihan lain. Tak ada jawaban.
“Ra, kamu tahu? Mama itu gak bisa tidur setiap kamu belum pulang ke rumah. Pikiran Mama itu gak tenang. Apalagi kamu itu perempuan. Kamu juga tahu kan kondisi keluarga kita seperti apa? Kalau sekiranya kegiatan itu gak penting, gak usahlah kamu ikut.”
“Yasudah Ma, Rara berangkat dulu. Assalamu’alaykum.” Sambil mencium tangan mama.
               
Tangan yang semakin terasa kasar setiap harinya. Tangan halus yang terpaksa mengeras kapalan untuk mengupas kulit kacang. Tangan yang tiap malamnya selalu menari di atas mesin jahit bersama jarum dan benang. Tangan ibu, tangan seorang Kartini yang membiayai kehidupan dan pendidikan Rara.

Kata-kata Ibu adalah pukulan yang telak dihati Rara. Rara tenggelam dengan kesibukan, tugas, rapat, kepentingan teman, tuntutan memprioritaskan organisasi, tapi boro-boro terselip pikiran tentang keluarga, terlebih tentang Ibu. Tapi Ibu ternyata sebaliknya.

Sepanjang perjalanan kata-kata ibu, message dari teman, semuanya berputar-putar di kepala Rara. Huuuuhh… Rara menghela napas panjang. Teringat semua hari-hari yang terlewatkan dari keluarganya. Ayah yang pernah selingkuh dengan wanita lain selama dua tahun, dan mengabaikan keluarga, tapi Rara tidak sadar. Saat itu semuanya berubah.

Aaahhhh…. itu salahku, aku yang terlambat tahu, aku yang kurang peduli terhadap keluarga sendiri. Rara merasa biar bagaimanapun itu kesalahannya. Ia tak ingin hal yang sama terulang lagi. Ayah sekarang tidak lagi bekerja, untuk sekedar makanpun kadang sulit. Semuanya tanggungan Ibu.
Tapi surga itu ditelapak kaki Ibu. Ridho Allah adalah Ridho orang tua. Maaf kawan, aku tak datang. Yang bisa ku katakanan hanyalah: Jangan dihari Minggu. Tak apalah ketika prasangka buruk hinggap dipikiran kalian. Biarlah Allah Yang Maha Tahu. Aku ikhlas. Bismillah…
               
Rara memantapkan hatinya. Dia bertekat untuk memenuhi permintaan ibunya, selagi masih ada waktu.
“Ma, hari ini Rara pulang cepat!”

Nb : Selamat hari Kartini, perempuan-perempuan Indonesia!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul