We are free to choose our response in any
situation, but in doing so, we choose the attendant consequence…
Rara menutup
buku yang baru saja selesai dibacanya. Matanya mulai terasa lelah, tanpa sadar
dia pun menguap. Lantai kamarnya yang
semakin dingin selepas hujan tak ia dipedulikan. Ia asik saja telentang,
dan menelungkupkan kepalanya. Memandang kolong kasur yang kosong, dan mulai
terlelap. Senyap sejenak.
Tiba-tiba
hp-nya bergetar. Dengan mata setengah terbuka ia menggapai benda kecil yang ada
di sampingnya. Dilihatnya sms tersebut. Sms dari kak Arno, kakak seniornya.
Assalamualaikum..
Info
silaturahmi :
Besok
siapkan saja duit 30-50 ribu untuk jaga-jaga (sedia payung sebelum hujan) kata
yang mengadakan acara. Makan bayar sendiri-sendiri. Afwan ada perubahan tempat,
di resto depan kampus, datang ontime ya.
Hatinya
mulai menciut. Tadinya ia memang akan mengusahakan untuk hadir di acara
tersebut. Tapi setelah membaca sms, pikirannya kalang kabut.
Bagaimana?
Bagaimana…
Kondisi
ekonomi keluarganya sedang diambang krisis. Kalaupun ia masih bisa makan hari
ini, pergi ke kampus, itu hal yang bagus. Mungkin Allah sedang mengujinya dalam
keterbatasan. Sabar, syukur, dan huznudzon! Itu yang selalu diteriakkan hatinya
ketika pikiran-pikiran picik datang melintas.
Rara bingung
harus bagaimana. Dia tahu betul uang di dompetnya tak seberapa. Tak mungkin ia
meminta uang sebanyak itu pada orang tuanya, mustahil. Yang ada nantinya ia
dianggap anak yang tak paham situasi, dan menyusahkan orang tua. Tapi tak bisa
pula ia jelaskan keterbatasan kondisi pada teman-temannya sendiri. Lidahnya
kelu. Dia teringat kembali sms dari kak Anti, kakak seniornya juga yang masih
satu divisi dengannya.
“Ra, waktu
itu kamu bilang, sampai malam gak apa-apa asalkan bukan Minggu. Sekarang bukan
Minggu, tapi Kamis. Apa masih gak bisa juga? Ada apa sih kok kayaknya kamu gak
suka dengan acara ini?”
Bukan begitu
kak, bukan masalah suka atau enggak. Tapi kasian Ibu Rara kalau Rara memaksa
pergi di hari Minggu. Bagaimana pertanggungjawabannya nanti di akhirat kalau
orang yang aktif di organisasi, apalagi itu organisasi Islam tapi keluarganya
sendiri gak pernah keurus, bahkan tega menelantarkan Ibunya?! Rara juga gak
bisa pulang malam kak, karena malamnya Rara harus bekerja. Rara agak sedih
mendengar kata-kata seperti itu dari kakak, selemah inikah ukhuwah kita? Hingga
terselip pikiran sempit seperti itu? tapi yasudahlah. Mungkin ini salah Rara
yang gak pernah memberitahu kondisi Rara sebenarnya. Rara ikhlas. Mungkin ini
konsekuensi yang harus Rara terima.
lagi-lagi
perkataan itu hanya terucap di batin Rara. Begitulah dia, tak mau orang lain
tahu tentang kesulitannya. Di depan orang lain, dengan yakin ia menunjukkan
semuanya baik-baik saja. Aman terkendali, terlihat bahagia seakan masalah tak
pernah hinggap dihidupnya.
Masih saja
ia memutar otaknya, mencari siasat yang tepat tanpa membebani kedua belah
pihak. Bagaimana bila tidak datang? Disatu pihak menguntungkan memang. Ahhh…
tapi terlalu pengecut! Apalagi Rara sadar betul acara tersebut telah ditunda
beberapa kali karena Rara. Bagaimana caranya agar bisa hadir tapi tanpa
menyusahkan orang tua??
Puasa!
tiba-tiba kata itu merasuk dalam pikirnya. Atau memang ini cara terbaik yang
Allah tunjukkan, pun seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Rara
merasa lega, gundah mulai menghilang. Urusan besok? Insya Allah semuanya akan
baik-baik saja. Tak perlu terlalu dikhawatirkan, karena sebagian besar apa yang
kita khawatirkan tak sebanding dengan apa yang memang pantas untuk
dikhawatirkan.
Dingin,
lantai kamarnya masih terasa dingin selepas hujan. Rara menutup matanya
perlahan, ada senyum kecil yang mengikuti lelapnya malam ini.
***
Kalau
saatnya menentukan, maka tentukanlah.
Kalau kau
punya pilihan, pilihlah dengan tegas.
Tapi kalau
kamu cuma diam, tak akan terjadi apa-apa.
Kamu tidak
kalah, tapi menang pun juga tidak.
Bersiap-siaplah,
karena konsekuensi selalu ada.
Komentar
Posting Komentar