Sebingkai uraian : cerpen ini sebenarnya
dibuat untuk memenuhi tugas pelajaran Bahasa Indonesia, waktu SMA dulu (rasanya
sudah lama sekali). Dibuat pada zaman ababil, alias ABG labil. Cerpen pertama
yang berhasil ada endingnya (hahaha biasanya bikin cerpen gak berending alias
putus di tengah jalan). Oiya, terima kasih untuk orang-orang yang namanya sudah
bersedia saya pinjam sebagai tokoh di cerpen ini (maaf, cerpen ini ternyata gak
bisa kamu baca-pada waktu itu- karena datanya hilang terkena virus). Untuk
memenuhi janji, saya tulis ulang, mungkin ada beberapa bagian yang tidak sama
persis dengan aslinya. Selamat menikmati, sebuah cerita cinta fiksi tidak romantis,
hehehe.
Pria
itu melangkah dengan tas kantor terjinjing dilengannya memasuki sebuah rumah
kecil yang sederhana. Merebahkan tubuhnya dalam hangat dekap sofa. Kepalanya
menengadah menatap langit-langit rumah dan mendesah. Menguapkan lelah. Wajahnya
sedikit bercampur debu dan keringat, tapi tak memudarkan garis-garis kharisma
yang terlukis jelas di sana. Mata hitamnya menerawang menjelajahi sekeliling
rumah. Sepi sekali, batinnya.
Pandangannya
jatuh tepat ke atas meja. Sebuah buku tebal yang terlihat tua dengan gambar
padang ilalang tergeletak rapat. Segera saja ia mengambil buku itu dan perlahan
membukanya. “Sepertinya sudah lama. Milik siapa ini? Tak ada namanya. Tapi,
tulisan tangan ini..”
Rasa
heran dan penasaran memacunya untuk menelusuri buku itu. beberapa lembar dibukanya
secara acak, dan terhenti pada sebuah halaman.
November 2003
Kita
sama-sama berada pada kelas baru, dan disinilah pertama kali aku mengenalmu.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tentangmu. Tentang kebiasaanmu
yang pendiam dan penyendiri. Walau begitu, kau sangat menyebalkan. Mengapa
selalu menggangguku? Ada saja ulahmu yang membuatku kesal. Bahkan saat ujian,
masih saja menjahiliku. Kau tahu, nilaiku anjok karena tak bisa konsen
belajar!!! Tapi rasanya aneh. Walau begitu sebalnya, aku tak bisa memarahimu,
atau bahkan membencimu. Akhir-akhir ini, rasanya bertambah aneh. Kenapa juga
aku jadi memikirkanmu.
Jujur, aku tak tahu kapan aku mulai
memperhatikanmu.
Aku tak tahu mengapa perhatianku
mulai tertuju padamu.
Apa aku sedang tidak waras?
Tapi jujur, yang kutahu aku
mulai menyukaimu.
“Ditulis
6 tahun yang lalu. Aku yakin ini tulisan Rahma. Kemana dia?” sekali lagi pria
itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tetap sepi. Rahma, orang yang
baru saja menjadi teman hidupnya, namun bukan orang baru dalam masa lalunya. Ia
beranjak ke halaman lain dibuku itu.
Aku takut bila yang kutulis hanya tentangmu,
karena dalam pikirku lagi-lagi yang muncul dirimu. Aku ingin melarikan diri.
Atau setidaknya bisakah aku amnesia tentangmu?
Kepalaku tertunduk. Aku harus apalagi?
Sepertinya, aku melihat cinta dalam dirimu.
Aku tahu, rasaku sebatas sendirian.
Kau membuatku jatuh dalam kubangan, dan
lumpur perasaan ini semakin pekat melekat.
Aku tak ingin menjadi pengecut, yang
membohongi diri sendiri.
Bisakah ini menjadi nyata?
Maret 2004
Kututup perasaan ini hingga tak ada seorang
pun yang tahu, tidak juga kau.
April 2004
Aku ingin menyukaimu seperti yang kubisa.
Tak apa, hanya sesederhana yang kubisa.
Aku tak menyangka, selama ini ada
orang lain dalam hatinya. Salahkah aku menikah denganmu Rahma? Pertanyaan dan
keraguan menyerang benak pria itu. Hatinya bergemuruh. Dipegangnya erat buku
itu, membalikkan halaman-halaman berikutnya. Wajahnya mulai muram memucat.
Juni 2004
Hari ini seperti
kopi pahit.
Bahkan lebih pahit
dari biasanya.
Hingga hanya rasa
pahit yang tertinggal di dasar kerongkongan.
Aku baru tahu
sebuah rahasia.
Rahasia yang
sebaiknya aku tak tahu.
Hari ini Bunga,
sahabatku, bercerita padaku tentang sesuatu yang membuatnya resah tak karuan.
“Rahma, aku sudah
gak kuat. Aku harus cerita sama seseorang. Kamu kan sahabatku, ssst.. ayo
dengar ya.. rasanya aku sudah lama punya rasa ini, aku gak tahu lagi harus
gimana.”
“ehemmm… ada apa
nih? Lanjut lanjut, bakalan ada yang seru nih !” dengarku antusias.
“ihhh, serius
tahu. Jangan bercanda mulu!” wajahnya mulai cemberut.
“iya deh, aku
serius nih. Ada apa sih sobatku tersayang?”
“ummnn.. aku gak
tahu kapan mulai jatuh cinta sama dia. Ini mengalir begitu saja. Biasanya kalau
sama orang lain itu sebatas kagum, tapi yang ini beda! Aku gak tahu kenapa. Aku
ngerasa dia terlalu baik.”
“oooo.. jadi apa
masalahnya?”
“ihhh.. masalahnya
aku suka dia. Aku udah coba ngelupain perasaan itu. tapi semakin dicoba,
semakin dia gak mau hilang dari otakku. Jadi aku harus gimana? Bantuin dong!”
“emang siapa sih
orang itu yang udah bikat sobatku si Bunga jadi gak karuan gini?”
“ huh ! kamu itu
bercanda terus. Dia itu…..”
Aku gak pernah
menyangka bahwa sebuah nama yang diucapkan Bunga adalah namamu. Orang yang sama,
yang juga mengganggu hari-hariku. Tiba-tiba saja aku merasa hatiku seperti
gelas kaca yang jatuh menjadi kepingan.
Ya Tuhan, aku
harus bagaimana? Apa yang harus kukatakan pada Bunga? Apa aku harus bilang :
“wow kita jatuh cinta pada orang yang sama”. Tak mungkin!
Pilu, nyeri,
bingung, semuanya bergumpal menjadi satu. Dunia terasa sempit, dan aku mulai
sulit bernapas. Aku butuh udara.
“hey! Rahma, kok
malah bengong sih?” aku tersenyum pasi.
“tuh kan, gak
percaya. Jadi gimana jawabannya?” lanjutnya mengharapkan jawabanku.
“hemmn.. gak tahu
juga sih, tar kalau sudah tahu kuberi tahu deh. Oiya, aku mau ke toilet dulu
ya..” sambil memegang perut yang terasa bergolak dan kepala yang terasa pening,
aku buru-buru keluar kelas. Dan… duuuggg!!! Kepalaku terasa tambah pusing. Ada
benjolan merah yang muncul dikeningku.
“aduuhh.. malah
kejedot tembok pula, malangnya nasibku.”
To be continue…
Komentar
Posting Komentar