Hari kelulusan sebentar lagi. Ransel
yang biasanya berisi buku-buku pelajaran SMA ini akan berpindah ke tempat yang
baru. Di sisa waktu, kami seperti berada di shelter, menunggu bus yang akan
membawa kami ke tempat tujuan masing-masing. Tentunya waktu yang kami habiskan
bersama tak akan selama waktu yang lalu.
Tiap dari kami hanya mampu mengandalkan kenangan untuk melepas rindu.
Kenangan saat kami ngumpul di basecamp untuk nonton film horror atau action
sadis sambil makan mie bebep (mie ayam yang bikin super kenyang yang adanya di
sekolah sebelah), dan yang biasanya teriak itu Una, Aina dan Febri. Aku, Yayat,
dan Dewi paling cuma bengong sepanjang film. “lha? Jadi intinya nih film apa?”
dan mulailah perdebatan yang aneh, lebih sering diantara aku dan Dewi.
Dewi itu senangnya ngebut kalau bawa
motor. Kalau Yayat digoncengin dewi, pasti helmnya dewi selalu bunyi. Kalau
diurutin Dewi itu ranking satu, aku rangking dua, Yayat di nomor 3. Sayangnya
Yayat masih trauma kalau bawa motor sendiri karena dulu waktu kecil pernah
kecelakaan di gang kecil saat mengendarai motor dengan temannya. Kami bertiga
sama-sama pelupa, tapi tetap yang paling parah itu Dewi. Dewi juga orangnya
sangat loyal dan perhatian, bahkan hal-hal yang harusnnya gak perlu dia urusin,
dia urusin juga. Gak jarang ni anak kena masalah gara-gara ngurusin urusan
orang. Diantara kami bertiga yang perempuan banget itu Yayat. Kalau dijalan ada
yang nitip salam, itu pasti buat Yayat, pasti. Yayat itu orangnya lemah lembut,
perhatian, pemalu, dan keibuan. Dewi ada diurutan kedua. Paling tidak stok
baju-baju ala feminin gitu dia punya. Kalau aku? Jangan ditanya. Yayat pernah
bilang, “Ijo, kalau bawa motor trus pakai celana jeans plus jaket gitu jadi
mirip cowok”. Emang sih kalau pakai rok itu cuma pas sekolah aja. Tapi ketika
mau lulus, mulai insyaf sedikit. Kalau diingat-ingat itu juga karena pengaruh
mereka.
Pernah suatu kali pas pelajaran
tambahan aku ke sekolah pakai rok. Sepulang sekolah aku mampir ke tempat
fotokopi di depan gerbang sekolah, dan seorang teman laki-laki sekelasku baru
saja keluar dari sekolah. “lho? Kok pakai rok? Kapan gantinya?” dengan wajah
keheranan dia bertanya. “eehh.. dari tadi pagi dia emang udah pakai rok, lu aja
kali kaga liat pas di kelas”. Jawab temanku yang baru keluar dari gerbang dan
kebetulan mendengar percakapan kami. Aku : -_____-!! Hhh…hhhh…
Aku dan Dewi memutuskan untuk membuat
project baru, project utama : jadi perempuan (beneran), Yayat gak ikutan kan
dari dulu dia udah normal. Project sampingannya, kalau diantara kita bertiga
ada yang jatuh cinta (sama orang, soalnya Dewi sukanya sama vampire =.=) harus
ngasih tahu satu sama lain. Wahh,, yang project sampingan berat nih, soalnya
aku sama Dewi rada-rada, dan gak terlalu peduli juga sama yang begituan. Oiya,
satu lagi, Pas SMA banyak banget ikut ekskul, jadi mulai bingung nanti di
kampus mau ikut ekskul apa.
“Dewi, nanti di kampus yang baru mau
ikut ekskul apa?” tanyaku pada Dewi.
“Apa ya?” dia juga bingung.
“Gimana kalau ekskul beladiri. Sejenis
karate atau taekwondo. Sepertinya OK.”
“kalau gitu taekwondo aja.” Jawab Dewi
dengan penuh percaya diri.
Akhirnya ditetapkan juga, tujuan
selanjutnya adalah taekwondo. Beberapa bulan setelah masa penerimaan mahasiswa
baru Dewi bergabung dengan klub taekwondo di kampusnya, Solo. Latihannya
keseringan sore sampai malam, bahkan larut malam. Perjalanannya mulus, terakhir
kali kudengar kabarnya sudah sabuk kuning.
Bagaimana denganku? Rumit !.
Fakultasku berbeda jadwal dengan fakultas regular lainnya. Jadi keseringan
ketinggalan info. Di gerbang kampus terpampang baliho karate, wushu, dan
merpati putih. Tapi bukan itu, sulit sekali menemukan informasi tentang
taekwondo. Akhirnya di semester kedua aku menemukan link untuk ikut bergabung
dengan klub taekwondo lewat temanku di sastra Inggris, namanya Endah. Endah
juga kebetulan temanku di rohis.
Setelah itu aku diskusi dengan kakak
mentorku, kubilang aku ingin masuk klub taekwondo. Dia keheranan, tapi akhirnya
mempersilahkan aku. Senangnya sudah dapat izin. Senin sore, aku resmi ikut
latihan taekwondo tapi masih pakai baju biasa dan training. Kami latihan di
lapangan parkir kampus. Latihannya lumayan, gak separah pecinta alam. tapi yang
bikin perang batin itu ada kak Chandra, dia kakak kelasku di rohis -____-“ tapi
yasudahlah lanjutkan saja (anak bandel). Usai latihan jam 8 malam, latihan
rutin setiap Senin dan Kamis. Oleh-oleh dari latihan pertama adalah cantengan
di kedua jempol kakiku. Berair dan agak perih karena kulitnya mengelupas.
Hari selasa pegalnya masih terasa,
mungkin karena sudah lama tidak berolahraga. Ada bentol-bentol berwarna putih
dan kalau dipecahin keluar cairan bening di lenganku. Kukira ini biasa saja.
Esoknya bentolnya bertambah dan akhirnya pergi ke dokter. Ternyata ini cacar
air. Seminggu lebih gak boleh kemana-mana. Sedihnya T.T artinya gak bisa ikut
latihan taekwondo. 3 minggu sudah berlalu. Inginnya gabung latihan lagi, tapi
gak enak abis baru pertama latihan udah bolos 3 minggu. Kuputuskan untuk daftar
lagi di semester depan, di tingkat 2.
Bikin baju taekwondo (dobok) sudah,
beli sabuknya sudah, daftar juga sudah, berarti tinggal ikut latihan. Sore itu
dari jam 3 aku sudah standby di bawah
pohon rindang, dekat lapangan parkir kampus
bersama kakak mentorku. Kulihat sudah ada beberapa anggota klub yang
berkumpul di sana. Latihan dimulai jam 4. Sambil menunggu Endah, aku dan kakak
mengobrol ringan. Jam 4 kakak berpamitan pulang ke rumah. Latihan terlambat
dimulai, aku masih duduk di bawah pohon rindang, sendirian. Kulirik jam digital
di Hp, setengah lima, Endah masih
belum datang dan klub sudah mulai pemanasan.
Maunya menghampiri mereka, tapi kakiku
terasa berat. Kupeluk erat ranselku, pandanganku menatap lekat ke tempat
latihan, tapi tak kunjung diriku ada disana. Diam sejenak. Aku berdiri,
berbalik, dan melangkah pulang. Yaaahhh hari ini gagal lagi. Hhhaaa bodohnya!
Maju selangkah, mundurnya banyak langkah. Kemana perginya tekad itu?
Beberapa bulan berikutnya Ibu
bertanya, “itu baju yang mama buatkan kok gak dipakai?”. Jarinya menunjuk ke
gantungan baju berwarna putih di pintu kamarku. “hehe.. iya, mungkin tahun
depan Ma.” Aku pun tak yakin dengan jawabanku itu. Tahun depan? Tingkat 3?
Janji? Coba lagi gak ya?? Taekwondo ooohhh taekwondo.
Komentar
Posting Komentar