Langsung ke konten utama

Jihad dan Tauhid sebagai Etos kerja (bag.2)

Apa yang dimaksud dengan etos?

Etos berasal dari bahasa Yunani, yang berari sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap, serta persepsi terhadap nilai kerja. Dari kata ini terlahirlah yang disebut “ethic” atau etika yaitu pedoman, moral dan perilaku, atau dikenal pula etiket yang artinya cara bersopan santun. Karena etika berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang, maka hendaknya setiap pribadi muslim mengisi etika tersebut dengan keislamannya dalam arti yang aktual. Jadi etos adalah norma, serta cara dirinya mempersepsi, memandang, dan meyakini sesuatu.

Apa yang dimaksud dengan “kerja”?

Makna kerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir, dan dzikirnya untuk mengaktualisasi atau menampakkan dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khoiro ummah).
Etos kerja muslim itu dapat didefinisikan sebagai cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan hanya untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai sebuah manifestasi dari amal sholeh dan oleh karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur.

Ciri Etos Kerja Muslim
  1. Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership)
Memimpin berarti mengambil peran secara aktif untuk mempengaruhi orang lain, agar orang tersebut berbuat sesuai dengan keinginannya karena orang tersebut ingin melakukannya bukan karena terpaksa. Kepemimpinan berarti kemampuan mengambil posisi dan memainkan peran sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada lingkungannya. Seorang pemimpin selayaknya berpikir kritis anallitis karena dia sadar bahwa seluruh hidupnya akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S Al Israa’ : 36).
  1. Selalu berhitung
Umar bin Khattab pernah berkata : maka hendaklah kamu menghitung dirimu sendiri, sebelum datang hari dimana engkau yang akan diperhitungkan. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah : “Hendaklah kamu menghitung diri hari ini untuk mempersiapkan hari esok….” (Q.S Al Hasyr : 18).
Di dalam bekerja dan berusaha, akan tampaklah jejak muslim yang selalu teguh pendirian, tepat janji dan berhitung dengan waktu – The most important thing in doing business is trying keeping promises and be in time.
  1. Menghargai waktu
Bagi seorang muslim, waktu adalah rahmat yang tiada terhitung nilainya, pengertian terhadap makna waktu merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Sehingga konsekuensi logisnya, dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Baginya, waktu adalah sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan deretan kalimat kerja dan prestasi. Baginya, waktu adalah asset Illahiyah yang merupakan ladang subur yang membutuhkan ilmu dan amal untuk diolah dan dipetik hasilnya pada waktu yang lain.
Bekerjalah dengan rencana, dan kerjakanlah rencanamu (plan your work, work your plan). Setiap muslim adalah manusia yang senang menyusun jadwal harian, mampu merencanakan pekerjaan dan programnya sehingga dia sarat dengan berbagai catatan yang menunjukkan kesadaran terhadap waktu. Apa yang diraih pada waktu yang akan datang ditentukan oleh caranya mengada pada hari ini (what we are going tomorrow we are becoming today).
  1. Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan
Karena merasa puas berbuat kebaikan adalah tanda-tanda matinya kreativitas.
  1. Hidup berhemat dan efisien
Orang yang berhemat adalah orang yang memiliki pandangan jauh ke depan. Berhemat bukanlah dikarenakan ingin menumpuk harta kekayaan yang melahirkan sifat kikir, tetapi berhemat dikarenakan tidak selamanya waktu berjalan secara mulus. Berhemat adalah mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
  1. Memiliki jiwa wiraswasta (enterpreneurship)
Innalloha yuhibul mukminal muhtarif (sesungguhnya Allah sangat cinta kepada seorang mukmin yang berpenghasilan).
  1. Memiliki insting untuk bertanding dan bersaing
Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim yang memiliki semangat jihad. Lebih baik megetahui dan mengakui kelemahan diri sendiri sebagai persiapan untuk bangkit daripada bertarung tanpa mengetahui potensi diri, karena hal itu sama saja dengan seorang yang bertindak nekad.
Seorang muslim hendaknya sadar bahwa sejak dini, kita adalah mahluk unggul, pemenang, dan sejak dini sudah tertanam insting bertanding. Sehingga mengapa kita buang asset alamiah yang positif ini? Mengapa masih saja ada orang malas, lemah, dan kehilanngan daya tanding? (semoga itu bukan kamu, atau pun aku)
Dunia ini kejam, mas bro and mbak sist! Dia tidak mengenal kasian kepada orang-orang yang gagal. Kalau kita gagal, apakah serta merta dunia lantas serempak mengulurkan tangan kepada kita? Dunia, paling banter hanya berteriak : “ aduh, kasihan. Dia gagal yah.”
Masih mending apabila dunia mau menaruh kasihan (walau hanya sebuah kata-kata) tetapi yang lebih menyakitkan lagi, dunia itu malah mencerca orang-orang yang gagal. Oleh sebab itu, setiap muslim harus mampu mengaktualisasikan dorongan semangatnya untuk menjadi seorang petarung yang unggul.
The best fortune that come to a men is that he corrects his defects and make up his failings. Seorang mujahid dan ciri pribadi muslim yang mempunyai etos kerja Islami tidak pernah menyerah pada kegagalan. Kalau ia tersungkur maka segeralah dia bangkit untuk melawan lebih tangguh dan keluar sebagai pemenang.
  1. Keinginan untuk mandiri
Seorang muslim yang berkeyakinan pada nilai tauhidnya memiliki semangat jihad dan jiwa yang merdeka sehingga tidak lemah dan menggantungkan kehidupannya pada orang lain.
  1. Haus untuk memiliki sifat keilmuan
Seorang yang memiliki wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted. Dia adalah pribadi yang kritis dan sadar bahwa dirinya tidak boleh ikut-ikutan tanpa pengetahuan, karena seluruh potensinya suatu saat akan diminta pertanggung jawaban dari Allah. Rasulullah juga mewajibkan bagi muslimin dan muslimah untuk mencari ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat walaupun harus menempuh tempat yang jauh.
Lagi pula Allah mempertanyakan kepada diri kita tentang kualitas dan kemuliaan manusia yang berilmu dan yang tidak berilmu tidak akan pernah sama. ”(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S. Az Zumar : 9).
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Mujaadilah : 11)
  1. Berwawasan universal
  2. Memperhatikan kesehatan dan gizi
  3. Ulet dan pantang menyerah
  4. Berorientasi pada produktivitas
  5. Memperkaya jaringan silaturrahmi

Iman, akal dan ikhtiarlah yang membedakan satu dengan lainnya dan kemulian manusia akhirnya diukur oleh derajat taqwa, yaitu mereka yang mampu menggubah alam untuk meraih mardhatillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul