Langsung ke konten utama

Teman SD

          “apa kabar?”
          “kabar baik J ini siapa ya?”
          “romi”
          “teman SD?”
          “iya, maaf ya aku gak bisa tepatin janji aku ke kamu dulu. Sekarang aku tinggal di kebumen.”
          “iya gapapa. Emang janji apa ya? Maaf temanmu yang satu ini kan pelupa..hhe :D”
          “janji kalau aku nikah aku bakalan ngasih tahu kamu.”
          “oohh yang itu, itu mah aku gak lupa. Emang kapan rom nikahnya? Kamu tinggal di kebumen udah berapa lama?”
          “baru februari kemarin. Aku udah di kebumen 6 tahunan.”
          “ wahh.. selamat ya, semoga jadi keluarga yang sakinah mawadah dan warahmah J
          “iya, terima kasih. Sekarang kamu kuliah atau kerja?”
          “kuliah rom.. rumah ibumu masih yang dulu kan ya?”
          “oh.. kamu sudah semester berapa? Ngambil D3 atau S1? Iya lah that’s the only my parents house hhe.. somestime klo aku pulang ke depok boleh ga aku main ke tempatmu? Btw masih yang dulu kan? Oiya kampungmu dimana?”
          “iya bolehlah :D. mampir aja rom. Di semarang, tapi udah lama gak pulang ke sana.”
          “oh, berarti sama kayak suamiku. Iya aku pasti mampir tapi besok kalau aku sudah main kesana gentian yak.. kamu sudah punya pacar belum?”
          “sippo.. lha? Kenapa tiba-tiba nanyain pacar?”
          “coz dulu kayaknya anti banget sama cowok, hayoo ngaku..”
          “hahaha…”
          “berarti sekarang kamu sudah punya pacar kan? Siapa? Cerita dong..”
          “ga ada rom. Haha masih pengen main-main”
          “masa sih ga ada? Kamu normal kan ? hehe piss bro.. mainan terus emang kamu masih kecil aja apa?”
          “emang masih kecil, kan masih 19 tahun. Haha”
          “itu mah udah saking dewasanya, btw kamu tahu kabar Sofi ga?”
          “umnn.. terakhir kali ketemu pas SMA. Rumahnya masih yang dulu kok :D”
          “nanti kalau aku ke depok, main sama-sama ya. Mengenang masa-masa kecil.”

          Begitulah percakapan singkat via sms dengan Romi, teman SD ku yang sekarang sudah menikah dan tinggal di Kebumen. Aku jadi bernostalgila sedikit tentangnya. Dulu dia dan Sofi termasuk anak yang sering diremehin di kelas, jarang ada yang mau jadi teman main mereka. Saat itu aku adalah anak pindahan yang baru masuk dan bergabung di kelas 5.
          Romi dijauhi karena menurut anak-anak sekelas dia suka berbohong, tapi setelah aku bertanya sama Romi, dia begitu karena dia gengsi dengan teman-teman yang lain. Karena dia ingin jadi seperti teman-teman yang lain makanya berpura-pura agar mereka bisa menerimanya. Toh waktu kecil kita juga pasti lebih memilih untuk berbohong agar orang lain menganggap kita ada. Tapi buatku itu tidak perlu, kita berteman seperti apa adanya saja. Gak usah pedulikan kata orang, karena kita yang menjalaninya dan kita yang paling mengerti seperti apa kondisi kita. Jarak rumah Romi ke sekolah cukup jauh, apalagi kalau berjalan kaki. Romi setiap hari membawa sepeda kumbang hitam, dan anak-anak sering menyebutnya “Becak”. Begitulah anak SD, masih sering main ceng-cengan, yah walaupun kagak sadar kalau terkadang cengannya itu sungguh terlalu dan menyakitkan hati orang. Romi juga dulu lebih suka nyontek, tapi masalahnya bukan itu. Dia hanya kurang mengerti apa yang dijelaskan oleh guru, dan ketika bertanya ke teman yang lain tidak ada teman yang cukup sabar untuk mengajarinya. Jadi lebih baik dia pakai cara pintas.
          Lain ceritanya dengan Sofi. Sofi anak yang pendiam, penakut, dan pemalu, cocok banget untuk dijadikan bulan-bulanan anak sekelas karena dia jarang melawan. Kalau Romi masih punya kata-kata untuk dijadikan tameng. Rumah Sofi sederhana, dengan kebun lidah buaya di depannya. Keluarga Sofi adalah keluarga yang agamis. Kalau dirumah, Sofi membantu Ibunya mengurus 3 orang adiknya. Anak kelas 5 SD sudah punya tanggungjawab yang seperti itu. Berbeda sekali karakternya denganku yang sangat cuek ini.
          Biasanya setiap Jum’at aku dan Sofi bermain di rumah Romi. Ibunya Romi adalah seorang penjahit baju yang ramah. Dibelakang rumah Romi ada kebon, sawah, dan lapangan golf. Saat musim mangga kami memetik mangga di belakang rumah Romi dan ngerujak bareng. Kalau bosan main di kebon, pergi ke sawah dan menangkap ikan-ikan kecil yang berwarna warni di saluran irigasi yang airnya bening. Atau ke lapangan golf mencari biji karet untuk bermain perang-perangan atau sekedar dikoleksi. Tak jarang pula kami dikejar-kejar satpam dan di usir. “Awas ya, kalau aku sudah besar dan jadi orang terkenal,nanti bapak yang kita usir. Huuuu” teriak Romi dari kejauhan. Setelah mengucap kata-kata itu kami kabur, hahaha namanya juga anak kecil.
          Setelah lulus dari SMA aku belum pernah berkunjung lagi ke rumah mereka, hummnn.. rasanya sekali-kali itu perlu :3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul