Langsung ke konten utama

Malas bekerja, masih zaman?!

                Iman adalah meyakini di dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dalam perbuatan. Maka sudah selayaknya setiap muslim meyakini bahwa iman akan terasa kelezatannya apabila secara aktual dimanifestasikan dalam bentuk amal shaleh yaitu sebuah bukti wujud aktivitas kerja kreatif yang ditempa oleh semangat dan motivasi tauhid untuk mewujudkan identitas dan cita-citaaanya yang luhur sebagai umat yang terbaik.
                Islam bukanlah sekedar agama dengan seperangkat konsep ideal, tetapi sekaligus agama yang membumi. Itulah sebabnya, penghargaan islam terhadap budaya kerja bukan sekedar pajangan alegoris, penghias retorika, pemanis bahan pidato, indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan. Bekerja adalah fitrah dan salah satu identitas manusia. Bekerja yang didasarkan pada iman tauhid bukan hanya menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi juga meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang mengelola seluruh alam sebagai bentuk mensyukuri kenikmatan dari Allah SWT.
                Cara pandang dengan kacamata Ilahiyah menunjukkan bahwa manusia bukan hanya sekedar “ada, wujud, exist atau being” tetapi sejauh mana manusia itu mampu “mengada” untuk secara aktif dan bertanggungjawab melakukan perbaikan-perbaikan menuju derajat yang lebih tinggi baik secara batin (ruhaniyah) maupun secara lahir, sehingga setiap muslim selalu akan mengambil peran dan bermakna serta membuktikan kebenaran misi kehidupannya sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk seluruh alam).

                Cara pandang seorang musllim dalam melaksanakan suatu pekerjaan didasarkan pada tiga dimensi kesadaran, yaitu :
1.       Aku tahu (ma’rifat, ‘alamat, epistemologi).karena hanya orang yang mampu menerjemahkan tanda-tanda alam yang akan mampu tampil sebagai inovator melalui berbagai hipotesis keilmuannya.
2.       Aku berharap (hakikat, ‘ilmu, religionitas)
3.       Aku berbuat (syari’at, amal, etis)
                Dengan demikian, bekerja dan kesadaran bekerja memiliki dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakekat “bekerja” adalah fitrah manusia yang secara niscaya sudah seharusnya demikian. Manusia hanya bisa memanusiakan dirinya lewat bekerja. Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu peningkatan untuk meraih nilai yang lebih bermakna.
                Seorang muslim selayaknya menyadari bahwa dirinya hanya berharga apabila dia berkarya, mencipta, dan mampu memberikan arti bagi lingkungannya. Sabda Rasulullah mengatakan :
“bahwa mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah”.
                Hanya pribadi-pribadi yang menghargai nilai kerja yang kelak akan mampu menjadikan masyarakatnya sebagai masyarakat yang tangguh. Bekerja dalam takaran agama Islam adalah ekuivalen (seimbang) dengan pernyataan syukur kepada Sang pencipta, bahkan setara dengan berjuang fisabilillah. Konsekuensi logisnya adalah siapa pun yang tidak bekerja, hidupnya tidak produktif dan tidak punya arti (mau hidupnya gak punya arti? Nahh makanya sekarang mulai kerja yang berarti, hehe).
                Bekerja juga jangan diartikan sebagai penerima upah belaka. Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan di dalam mencapai tujuannya dia mengerahkan totalitasnya untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT. 
                Islam adalah aktual yang memberikan pelita hidup manusia bukan semata-mata hidup untuk hidup, tetapi Islam memberikan jalan praktis untuk menjadikan setiap muslim memiliki martabat Ilahiyah yang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai subjek yang harus keluar sebagai pemenang dalam setiap gejolak kehidupan. Pokoknya yang harus tertanam dalam keyakinan kita bahwa bekerja adalah amanah Allah, sehingga ada sikap mental yang tegas pada diri pribadi seorang muslim bahwa :
1.       Karena bekerja adalah amanah, maka dia akan bekerja dengan kerinduan dan bertujuan agar pekerjaannya menghasilkan performa yang seoptimal mungkin.
2.       Ada kebahagiaan dalam melaksanakan pekerjaan, karena dengan bekerja berarti dia telah menyelesaikan amanah Allah.
3.       Tumbuh kreativitas untuk mengembangkan, memperkaya, dan memperluas kegiatan dan memunculkan tantangan baru, yang berarti menunjukkan bertambahnya amanah Allah kepada dirinya.
4.       Ada rasa malu di hati apabila tidak melaksanakan pekerjaannya dengan baik, karena hal ini berarti pengkhianatan terhadap amanah Allah.
                Dengan cara pandang yang seperti ini, maka setiap muslim adalah tipikal manusia yang terus berpikir keras untuk secara dinamis mencari terobosan serta aktivitas yang penuh arti dalam bentuk dinamika kreativitas yang terus mengalir tak kenal lelah. Berhati-hatilah bila kita yang mengaku muslim namun tidak bekerja secara maksimal, karena manusia tanpa kesibukan akan menjadi santapan setan.

_dirangkum dari : Etos Kerja Pribadi Muslim Bab 1, oleh Drs. H. Toto Tasmara_

                So guys, masih mau malas-malasan bekerja dan dianggap tidak ada artinya hidup di dunia? Makanya bekerja. jangan pula terperangkap pada pemikiran sesat bahwa tolok ukur paten sebuah pekerjaan adalah uang. Tenang saja, bekerja dengan Allah ganjarannya pasti lebih baik, bila kita belum mendapatkannya di dunia, insya Allah akan diterima di akhirat kelak. Alangkah baiknya melakukan pekerjaan juga jangan yang penting jadi, iya kalau jadinya utuh, kalau setengah-setengah? Emangnya mau dapat hasil yang setengah juga??. Apa pun pekerjaannya, minumnya the botol s****o! (ups, ini bukan ajang promosi hehe) ralat : Apa pun pekerjaannya, niatkan ikhlas untuk mendapat ridho Allah SWT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Husnuzhan

"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu menggunjing sebagian yang lain. apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kamu merasa jijik. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12) jleeebbb.. baca ayat ini rasanya jleb banget. semakin dibaca semakin ngerasa jleb! #istigfar banyak-banyak mungkin diri ini kerap kali lalai terhadap prasangka, lebih mendahulukan prasangka buruk (suudzhan) dibanding prasangka baik (husnuzhan). padahal diri ini bukan apa-apa, pengetahuan pun hanya secuil. tak sadar ada angkuh yang menyusup, merasa diri sudah benar. lebih bangga kalau tahu kesalahan orang lain, dikorek lebih dalam. berpuas diri ketika dapat menjatuhkan yang lain. padahal diri ini sering lupa, kesalahan diri sendiri...

This Is Not My Passion

Disemester ini, semester enam, rasanya seperti kehilangan semangat. Lost my passion. Malas banget. Kuliah rasanya gak nyaman. Dateng sih dateng. Raganya ada, tapi pikirannya gak tahu kemana. Parah banget ya. Gak cuma kuliah, organisasi pun juga lagi malas. Minggu-minggu ini cuma jadi pengamat aja. Dan hari ini ada setumpuk agenda, tapi akhirnya kuputuskan dirumah saja. Alias bolos. Gak kuliah, gak datang tahsin, dan gak datang kajian. Yaampun, devil sedang berjaya nih. Kuliah rasanya begitu-gitu doang. Dari semester ke semester dosennya itu-itu lagi, dengan cara mengajar yang gitu lagi gitu lagi. Ada sih dosen yang ajib, kalau beliau ngajar gak sekedar transfer ilmu, tapi transfer emosi juga. Kita diajak diskusi. Diajak mikir beneran mikir. Kalau kami salah, dikasih tahu yang benar. Bukan tipe dosen yang bisanya cuma menghakimi. Walaupun mata kuliah yang beliau ajar termasuk yang sulit dipahami, tapi ngajarnya enak. Aku pribadi enjoy, gak males-malesan masuk ke kelas beliau. Y...