Langsung ke konten utama

Jihad dan Tauhid sebagai Etos kerja (bag.1)

                Jihad atau mujahadah yang berasal dari kata jahada-yujahidu, yang mempunyai makna bersungguh-sungguh dalam mengerahkan seluruh potensi untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an :
                “Dan barang siapa berjuang sekuat tenaga (jahada) sesungguhnya ia telah berusaha (yujahidu) untuk dirinya sendiri.” (Q.S. Al Ankabuut : 6)
                “Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan memberikan jalan baginya.” (Q.S Al Hajj : 77)
                Hanya orang-orang yang berpikiran sempit yang mengartikan dan menafsirkan jihad hanya dengan pengertian perang. Makna  jihad bila dikaitkan dengan bekerja atau berikhtiar adalah satu kekuatan yang harus terus digali dan diuji potensinya agar mampu mengeluarkan energi yang signifikan. Apalah artinya cita-cita tanpa adanya keinginan dan daya juang, ia hanya menjadi sebuah mimpi dan obsesi kosong yang membuahkan khayalan melankolik. Tentu kita boleh bermimpi, tapi lebih dari itu wujudkanlah mimpi menjadi kenyataan dengan mengerahkan seluruh potensi diri yang ada.

                Jihad adalah etos kerja pribadi muslim yang membedakan dengan semangat kerja budaya lainnya, karena esensinya bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah sehingga kesadaran bekerja seperti ini yang disebut sebagai jihad fi sabilillah.
                Jika saja setiap muslim mengetahui makna dari tauhid, niscaya mereka akan merasa sangat bangga dan berbahagia menjadikan Islam sebagai agamanya. Kalimat toyibah : Laa Ilaha Illallah (Tiada Tuhan selain Allah) merupakan pernyataan, kesaksian serta proklamasi kemerdekaan martabat kemanusiaan bagi setiap muslim yang pengertiannya ada dalam tiga aspek yang bersifat integrated, yaitu :
1.       Aspek Uluhiyah
Yaitu sesuatu yang secara mutlak kita cintai sehingga mendominir seluruh sikap dan perilaku kita, sehingga kita merasa sangat bergantung dan tidak berdaya.
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Q.S. Faathir : 3)
2.       Aspek Rububiyah
Yaitu sesuatu yang secara mutlak kita anggap sebagai pelindung dan sangat memberi pengaruh sehingga dianggap memiliki kekuatan yang melebihi segalanya.
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (Q.S An Nahl : 53)
3.       Aspek Mulkiyah
Yaitu sesuatu yang secara mutlak menyebabkan diri kita merasa terikat dan keterikatan tersebut diyakini sebagai suatu hukum sehingga kita mengabdikan diri sebagai hambanya.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al Maa’idah : 1)
                Dengan kalimat tauhid ini Allah ingin memuliakan dan sekaligus membebaskan jiwa manusia dari segala bentuk penghambaan serta keyakinan yang akan meruntuhkan dirinya sebagai mahluk yang mempunyai potensi rohani. Nilai tauhid pasti tak terelakan dengan ibadah, yang secara luas dapat diartikan sebagai suatu sikap batin, sikap dan perilaku seseorang untuk tunduk patuh terhadap suatu aturan, pengaruh atau kekuasaan tertentu dank arena sesuatu tersebut dianggapnya sebagai tuhan, maka dia tidak mampu untuk mengubahnya. Pribadi muslim yang berpijak dari pondasi tauhid tidak akan pernah merasa goncang karena dihatinya telah terpatri kalimat Laa Ilaha Illallah.
                Allah itu pasti Ilah (Tuhan), tapi Ilah (tuhan) itu belum tentu Allah. Tidak ada jihad tanpa tauhid, karena apalah artinya jihad apabila tanpa tujuan, dan apalah artinya tujuan bila bukan karena tauhid. Maka makna hidup bagi seorang muslim adalah sebuah lahan yang harus diolah, dan karenanya dalam memberikan makna pada kehidupan itu, seorang muslim memandang kehidupan ini sebagai arena yang memberikan empat cakupan penting, yaitu tantangan (challenge), kekuatan (power), kesempatan (opportunity), dan perjuangan (fighting).
                Korelasi antara jihad dengan kualitas hidup Islami, dapat dirumuskan dalam aksioma berikut, yaitu :
KHI = AS (Co, M) {J (C,O,F)}

KHI         = Kualitas Hidup islam
AS           = amal Saleh sebagai kekuatan
Co           = Continuity, konsisten, berkesinambungan sebagai kekuatan
M            = Mahabbah, kecintaan kepada Allah sebagai sumber kekuatan
J              = Jihad
C             = Challenge, tantangan
O             = Opportunity, kesempatan
F              = Fighting, peluang

                Bersambung ke jihad dan tauhid sebagai etos kerja (bag. 2)
_dirangkum dari : Etos Kerja Pribadi Muslim Bab 1, oleh Drs. H. Toto Tasmara_

                Nah, pertanyaannya :
1.       Sudah berapa lama anda hidup, dan sebagai seorang muslim sudahkan hidup anda berkualitas?
(Mak Jleb Jleb, udah 19 tahun, tapi rasanya masih biasa-biasa saja T.T)
2.     Apa prestasimu, wahai orang yang telah mengaku diri sebagai muslim? (apa ya? Duhhh,, sepertinya belum ada prestasi yang bisa dibanggakan deh, yang ada kenyataannya masih sering menyusahkan orang tua dibanding membuat mereka bangga. Mutaba’ah yaumiyah masih bercelah-celah. hummnn suram!)
3.   Apakah hidupmu sudah mempunyai makna dan arti bagi lingkunganmu, bukankah engkau meyakini bahwa dirimu membawa misi rahmatan lil alamin? (-..-“ eeehhh,, apalagi ini. Buang sampah aja kadang masih suka sembarangan)
4.    Mengapa engkau nyaman dalam kemalasan dan ketidakberdayaan, padahal diseluruh penjuru alam kau meyakini bahwa banyak sekali rahmat Allah? (iya iya,,, godaan paling berat nih, kuliah angot-angotan, ipk pas-pasan, gak mampu berjuang, huwaaaa… lagi-lagi jadi pecundang. hiksss)

                Katanya seorang muslim, WAJIB banget dirubah ni kebiasaan-kebiasaan jeleknya (tunjuk ke diri sendiri #plak aku masih payah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul