Suatu hari aku ingin membangun sebuah rumah, tak
perlu besar, megah dan mewah, cukup rumah yang sederhana. Sebuah rumah
sederhana dengan banyak jendela, agar angin sejuk bisa masuk ke dalamnya.
Arsitekturnya didominasi dengan kayu. Disamping rumah akan ada sebuah kebun
kecil yang diisi dengan koleksi kaktus mini (gampang ngerawatnya, bentuknya
juga unik) dan bunga daisy, crysantium, juga tanaman obat. Dibagian belakang
rumah ada halaman yang luasnya seukuran lapangan bola (hahaha kaga mungkin,
bener-bener mimpi dah) untuk memelihara kuda poni dan bisa untuk camping
(hahahaha, camping di dekat rumah sendiri). Di bagian depan ada beranda dengan
kolam ikan. Dilantai 2 akan ada atap yang bentuknya setengah bola seperti di
planetarium dan bisa di buka. Aku ingin rumah itu menjadi rumah yang hangat
dengan kasih sayang dan penuh tawa. Tapi lebih dari itu, aku berharap dapat
membangun rumah di surga bersama orang-orang sholeh, tak perlu megah, sederhana
saja. Selagi masih mimpi, mimpi aja sengaco-ngaconya....ahahahahaha...
Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku. Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...
Komentar
Posting Komentar