Langsung ke konten utama

Rayakan Ultah, Bolehkah?

Mungkin sebagian besar dari kita masih bingung kan soal hukum merayakan ulang tahun alias ultah. Katanya merayakan ultah itu gak boleh soalnya bukan tradisi Islam. Namun ada juga yang tetap merayakan hari ulang tahun. Secara, pasti kan kamu juga merasa kalau hari ulang tahun itu adalah hari spesial kamu, dan kamu tidak mau melewatkan hari-hari itu seperti hari-hari biasa lainnya. Hayoo mengaku? Tuh kan. Biar tidak bingung, ada artikel menarik tentang ulang tahun dari koran Republika terbitan Jumat, 1 Maret 2013 yang ditulis oleh Nashih Nashrullah. Yuk langsung disimak saja!


Hadiah kado, kue tar lengkap dengan aksesori lilin, iringan lagu ulang tahun, pernak-pernik yang menghiasi ruangan, mulai dari balon, pita, dan hiasan warna-warni merupakan pemandangan yang banyak ditemu saat perayaan hari jadi seseorang digelar. Tak ada data pasti asal-usul dan kapan tradisi peringatan kelahiran itu mulai marak berlangsung.


Yang jelas, kemunculan di dunia Islam lumayan menyedot energi para cendikiawan dan pegiat fiqih masa kini. Lihat saja di Arab Saudi. Polemik ini pernah mengemuka dan mennjadi diskusi hangat. Ini setelah salah seorang cendikiawan dari Tanah Haram tersebut mengeluarkan pernyataan tentang bolehnya mengadakan perayaan hari ultah.


Pendapat ini disampaikan oleh cendekiawan Muslim kelahiran Buraidah, Qasim Arab saudi, Syekh Salman bin Fahd bin Abdullah al-Audah. Tokoh yang berulang kali pernah dicekal oleh Kerajaan Arab Saudi karena alasan politik itu, memandang perayaan ultah sah-sah saja digelar. Si empunya hajat boleh pula mengundang kerabat dan handa tolan untuk menghadiri pestanya tersebut.


Aktivitas ini, sebut sosok yang dberhentikan dari tugas mengajar di Universitas King Saud, merupakan tradisi sehari-hari dan tidak tidak termasuk ritual keagamaan. Ia menyatakan hukum yang sama juga berlaku untuk perayaan yang digelar bagi pasangan suami istri untuk memperingati hari pernikahan.

“Jadi, jangan dipermasalahkan,” ujar tokoh yang kritis menentang kebijakan-kebijakan Kerajaan ini. “Jangan samakan pula peringatan tersebut dengan hari raya keagamaan , yakni Idul Fitri dan Adha’” imbuh dia.


Pendapatnya ini mengundang kontroversi. Syekh Salma banyak mendapatkan kritik dan hujatan. Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Muni’ menuding ijtihad
yang dilakukan oleh koleganya tersebut salah dan menyimpang. Apapun alasan yang dikemukakan tidak cukup kuat.


Perayaan ultah merupakan budaya non-Muslim yang datang dari dunia Barat. Semestinya, tidak begitu saja menelan mentah-mentah tradisi tersebut. Jika mudah mengekor maka ini berarti apa yang diwanti-wantikan oleh Rasulullah SAW terbukti. Dalam riwayat Bukhari Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Rasul menyatakan, akan datang generasi umat yang mengikuti tradisi Yahudi dan Nasrani. Saking fanatiknya, jika generasi itu disuruh memasuki sarang biawak pun niscaya akan ditempuh.


Syekh al-Muni’ yang menjadi penasihat syariah administrasi Kerajaan Arab Saudi ini menyebut, fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh Salman itu bertentangan dengan pandangan mayorits ulama. Syekh al-Muni’ membeberkan antara lain, pendapat Ibnu Taimiyyah di kitab Itiqdha fi ash-Sirath al-Mustaqim, Ibn al-Jauzi, serta sejumlah ulama masa sekarang, seperti Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh al-Utsaimin. Pendapat Syekh Salman dianggap pula bersebrangan dengan keputusan Lembaga Kajian Tetap dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.


Landasan secara umum yang dijadikan dasar pelarangan ultah oleh mereka ialah dalil tentang larangan bid’ah. Dan tentunya tak ketinggalan kecaman akan keberadaan generasi Muslim yang cederung “copy paste/copas” dengan budaya non-Muslim. Argumentasi yang sama juga dipakai oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Libia.


Selain dalil di atas, lembaga fatwa resm negara yang pernah dipimpin oleh Muammar al-Qadzafi itu mengemukakan, Islam hanya mengenal dua perayaan, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Karen itu, tak boleh menyelenggarakan perayaan ultah dengan konsep sederhana. Alasannya, indikasi pengharaman ialah penyerupaan terhadap kebiasaan yang berlaku di kalangan non-Muslim.


Namun ampaknya tak semua sepakat dengan lembaga fatwa resmi kedua negara di atas, yaitu Arab Saudi dan Libia. Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Mesir mengeluarkan keputusan yang membolehkan perayaan ultah. Menurut lembaga resmi yang kini dipimpin oleh Mufti terpilih, yaitu Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-karim Allam, peringatan ultah merupakan bentuk rasa syukur manusia ata nikmat kelahiran. Allah SWT memberikan nikmat tersebut agar dipergunakan semaksimal mungkin. Ucapan rasa syukur atas nikmat kelahiran itu pernah diisyaratkan melalui lisan Nabi Isa AS. “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan kembali.” (QS Maryam: 33)


Langkah serupa juga pernah dilakukan Rasulullah saat berpuasa Senin. Tujuan puasa Rasulullah SAW di hari tersebut merupakan wujud terimakasih kepada-Nya yang lahir pada hari itu. Ini seperti tertuang di hadits Muslim dari Abu Qatadah al-Anshari.


Namun, lembaga ini menggarisbawahi beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu hendaknya tidak menganggap ini sebagai perayaan keagamaan, jauhi perkara haram dan maksiat, atau segala hal yang dilarang oleh agama selama perayaan ultah itu digelar.


Menggelar pesta dengan mengundang handai tolan pun tak jadi soal. Ini adlaah bentuk upaya berbagi kebahagiaan. Mendatangkan kebahagaan untuk sesama Muslim termasuk amalan yang dianjurkan. Ini seperti penegasan hadits riwayat Abu Hurairah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul