Langsung ke konten utama

What an Amazing Day!

Minggu, 10 Maret 2013
Buperta, Cibubur.


“Kakaaaaaaakkkk....” suara itu mengejutkanku, juga Ditya yang tengah duduk santai di gazebo depan danau. Serombongan anak-anak datang menyerbu kami. Surprised! Langsung saja kami dihujani pertanyaan macam-macam, belum sempat menjawab pertanyaan dari satu anak, anak lain tak mau kalah ikut melontarkan pertanyaan lainnya. “Kakak, Kakak, nanti kita main kan?” sambil menunjuk ke arah danau. “Naik perahu ya kak!”. “Kakak, aku mau naik yang itu, perosotan. Yuuuk.” “yuuuukkk...” Kami hanya bisa bilang, “iya, nanti ya..” untuk menyenangkan hati mereka. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sesuatu yang mengalihkan perhatiaannya. gruduk gruduk gruduk, anak-anak TPA langsung berlarian ke arah taman bermain mini. Karena memang wahana permainannya hanya 3, sedangkan mereka ada 25 anak, jadi untuk memainkannya harus bergantian.

Yup, hari ini ada pembagian raport anak-anak TPA Binaul Ilmi sekaligus rihlah (jalan-jalan). Kakak guru Ben, Fikri, Endah, dan Sifa membagikan raport kepada para orang tua santri, sementara kakak-kakak yang lain (Kak Sundari, Kak Maryamah, Kak Dinda, Kak Yahya, Ditya, Ricky, Yusuf, Ahmad, Mas Edi, Rudi, Hasril, Fendi,) menemani santri TPA bermain. Ada-ada tingkah anak-anak, dari mulai main kejar-kejaran hingga guling-gulingan di rumput.
“Mau ngapain kita? Main-main!” itulah slogan dalam acara rihlah kali ini.
Sesi yang paling seru adalah lomba estafet belut. Anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok dan berbaris  sesuai timnya. Dan aku, bertugas sebagai pemegang belut diawal. Untungnya belut-belut itu diletakkan di wadah kantong berisi air. Hehehe sebenarnya geli juga untuk memegang belut itu, bukannya takut, cuma geli saja. Kelompok anak-anak TPAku bernama Tinkerbell. Kupikir, mengapa namanya tidak diganti saja dengan nama-nama pejuang Islam lainnya. Ehmm, namanya juga anak kecil, mungkin tokoh Tinkerbell lebih melekat dalam benak mereka. Lucu, menyenangkan melihat ekspresi mereka. Ada juga yang takut memegang belut. Jadi dia tetap memegang belut, tapi suara jejeritan “ihhh kakak.. ihhh” tetap keluar dari lisan mereka. Mereka energik, bermain bersama mereka seperti terasa seumuran.
Waktu terasa cepat berlalu, adzan dzuhur telah berkumandang. Selepas sholat dan makan siang, tibalah saatnya untuk bermain wahana perahu di danau. Semoga bisa istiqomah ya kakak-kakak pengajar TPA :) 

Selepas acara rihlah TPA, aku dan Ditya meluncur ke Ciputat. Kalau ditanya soal jalan? Kami hanya modal nekat saja. Kalau bisa sampai tujuan tanpa nyasar, Alhamdulillah. Kalau nyasar, anggap saja itu jalan-jalan. Itulah prinsip ngebolang. Pada akhirnya kami selamat sampai tujuan. Yang bertugas sebagai rider siang hari adalah Ditya. Jalanan ibukota benar-benar panas. “walaupun jalanan di puncak itu mirip roller coaster, tapi mendingan di sana yah. Adem! Belum banyak polusi.”
Sekitar pukul setengah delapan malam, kami pulang dari Ciputat. Malam ini aku mengiyakan untuk jadi rider-nya. Tahu rasanya mengendarai motor tanpa SIM dan tanpa kacamata malam-malam? Dag dig dug. Tantangannya lebih wow! Kalau melihat cahaya lampu, itu hanya seperti lingkaran-lingkaran cahaya blur. Tak berani ngebut-ngebut, hanya dikisaran 40-80 km/jam.
Alhamdulilah hari ini sampai di rumah kira-kira pukul sepuluh malam.
What an amazing day, today!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul