Langsung ke konten utama

Perempuan Yang Menuntut Ilmu

Saya adalah seseorang yang dibesarkan dari keluarga sederhana. Kakek dan Nenek saya, semuanya berprofesi sebagai petani dan bisa dibilang tak pernah mengenyam pendidikan formal. Mengingat cerita kedua orang tua saya tentang bagaimana mereka berjuang untuk bisa sekolah sering membuat dada saya berdesir. Pada saat itu, ibu saya harus berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya untuk bisa belajar di sekolah. Peralatan pendukung belajar seperti buku dan pensil adalah barang mahal.  Ibu bercerita bahwa dulu meski pensil sudah setinggi jari kelingking itu tetap masih bisa digunakan dengan cara ditambah kayu lain. 

Kakek dan nenek dari ibu pada saat itu berpandangan bahwa sekolah bukan sesuatu yang cukup penting, apalagi untuk seorang perempuan. Cukuplah perempuan itu membantu di ladang dan mengurus segala yang berhubungan dengan rumah tangga. Ibu tak pernah berkesempatan menyelesaikan pendidikan dasarnya. Sedang ayah memiliki nasib yang cukup baik meski untuk bisa menamatkan SMA perjuangannya juga tidak mudah. Menjadi loper koran, berjualan mainan, dan beberapa pekerjaan lain dilakoninya untuk bisa melanjutkan pendidikan. Sejujurnya perjuangan mereka menjadi inspirasi tersendiri bagi saya. Selain itu nilai-nilai Islam juga memberi strong why atau alasan yang kuat bagi perempuan seperti saya untuk menimba ilmu.

Dalam Islam, ilmu menempati posisi yang amat penting. Hadits Nabi menyebutkan bahwa menuntut ilmu sendiri hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Tak ada perbedaan diantara keduanya, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Hal ini jelas berbeda dengan beberapa kultur masyarakat yang hanya mengutamakan laki-laki dalam pendidikan.

Bagi seorang muslim tujuan menuntut ilmu adalah untuk mengenal Allah SWT, beribadah dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menjadi paham mana yang benar dan salah, bukan sekedar demi gengsi sosial semata. Al Qur’an menegaskan bahwa ada perbedaaan yang besar antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui.
“Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az Zumar: 9).

Ilmu agama adalah ilmu wajib dipelajari sebagai seorang mukmin. Selain itu demi tegaknya masyarakat, beberapa orang juga perlu menuntut ilmu yang sifatnya fardu kifayah. Orang-orang yang mencari, memiliki, mengajarkan dan mengamalkan ilmu akan memiliki derajat yang tinggi dihadapan Allah. Para penuntut ilmu akan dimudahkan jalannya ke surga. Bahkan Nabi pun menjamin bahwa orang yang berilmu dan ilmunya bermanfaat, pahalanya akan tetap mengalir meskipun ia telah meninggal dunia.
“Apabila meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya. Kecuali tiga hal: sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan amal-anak shaleh yang mendoakannya.”

Imam syafi’i menasihatkan bagi siapapun yang ingin menguasai ilmu: “Wahai saudaraku, kalian tidak akan dapat menguasai ilmu kecuali dengan 6 syarat yang akan saya sampaikan: dengan kecerdasan, menuntutnya dengan bersemangat, dengan kesungguhan, dengan memiliki bekal, bersama pembimbing, serta waktu yang lama.” Beliau juga berpesan bahwa barang siapa yang tidak tahan terhadap lelahnya belajar harus menanggung perihnya kebodohan.

Ketika mendekati masa-masa kelulusan SMA, saya pernah mengalami keadaan yang cukup dilematis. Saat itu saya sangat berharap bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tapi saya paham kondisi keluarga tidak memungkinkan untuk membiayai pendidikan saya yang nominalnya bisa mencapai puluhan juta. Sempat dapat tawaran PMDK di salah satu universitas negeri di Bogor, tapi lagi-lagi pertimbangan biaya masih terasa berat. Saya juga tidak pernah mengikuti seleksi seperti SBM atau SNMPTN. Kontras sekali dengan teman-teman lainnya yang berani bermimpi tinggi. Dulu, bagi saya itu adalah mimpi yang mustahil. Alhamdulillah atas kuasaNya, Allah beri jalan tak terduga. Saya diterima sebagai salah satu penerimaan beasiswa full selama S1 dan S2 di salah satu universitas di Depok. 

After graduated, what do I want exactly? Apa yang benar-benar ingin dicapai terkait pendidikan?  Bisa dibilang ini pertanyaan yang cukup krusial bagi perempuan dengan usia seperempat abad. Salah seorang teman sempat memberi pencerahan mengenai sebuah tujuan. Keseimbangan antara karir akademik, karir profesional, kehidupan rumah tangga, dan lainnya. Untuk karir akademik, kalau ada kesempatan saya ingin menjadi seorang perempuan penuntut ilmu setinggi dan seluas yang bisa saya pelajari.  Untuk karir profesional saya ingin berkontribusi dalam pencerdasan bangsa dan umat sebagai pengajar, selain itu ingin menjadi illustrator yang bisa mengkomunikasikan pesan-pesan visual dengan lebih menarik. Untuk itu sebenarnya yang ingin saya capai di tahun ini adalah belajar ilustrasi.  Kehidupan rumah tangga? Berhubung masih single, urusan jodoh sepenuhnya saya serahkan pada Allah. Saya yakin bahwa pendidikan tinggi bukanlah penghalang bagi perempuan dalam menemukan jodohnya. Ia bukan sandal yang dengan mudahnya bisa tertukar atau hilang. Saya ingin kehidupan rumah tangga nantinya bisa sebagai basecamp inovasi peradaban.

Saya bersyukur bahwa saat ini kesempatan untuk menuntut ilmu di Indonesia sudah terbuka lebar bagi perempuan. Meski harus diakui biaya pendidikan di Indonesia masih terbilang mahal, terutama untuk jenjang pendidikan tinggi. Saya berharap ke depannya, siapapun bisa sekolah. Dengan adanya perkembangan teknologi yang canggih dan semakin murah, semoga bisa memudahkan akses bagi setiap orang yang ingin belajar. Tanpa ada lagi hambatan kultural, kecemasan sosial, dan batasan ekonomi.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Akhir kata, ada doa yang amat indah bagi para penuntut ilmu, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS. Taha: 114). Salam semangat!

==========
Tulisan ini merupakan bagian dari #Sabtulis. Sabtulis (Sabtu Menulis) adalah gerakan menulis di hari Sabtu. Kamu bisa menuliskan tentang gagasan, cerita, puisi, prosa, ataupun hal lain yang ingin kamu ekspresikan melalui tulisan. Yuk Ikutan! Mengenal diri, mengapresiasi diri, dan menjadi lebih percaya diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul