Langsung ke konten utama

Meaning of Life

“Makin modern tapi merasa makin hampa, mengapa? Sebab kita makin kehilangan makna.”

Kehilangan makna adalah salah satu masalah krusial yang sebagian besar dihadapi oleh manusia modern zaman sekarang. Buah pemikiran Immanuel Kant di abad ke 18 menjadi momentum sejarah bagi lahirnya babak baru, yakni the age of enlightment atau abad pencerahan di Eropa. Semangat yang berkembang di Barat inipun digaungkan pada dunia Timur. Enlightment sendiri meyakini bahwa manusia harus mengandalkan dirinya sendiri dan mengunakan akal budinya secara maksimal dalam menghadapi segala persoalan dunia dan mentransformasi diri. Semangat pencerahan ini yang kemudian mengubah total pandangan manusia tentang dunia, alam semesta, dan bahkan tentang dirinya sendiri. Manusia kini menempatkan dirinya sendiri sebagai sumber otoritas utama, manusia sendirilah yang harus menentukan yang benar dan yang salah bagi dirinya sendiri.

Enlightment memperkuat pandangan self sufficiency yang mengatakan bahwa kita dapat mengamati, mempelajari, dan memahami setiap objek yang dapat kita pikirkan sebagai objek yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan objek lain. Dalam self sufficiency terkandung dualism (kesimpulan dari Rene Des Cartes), yakni pemisahan antara subjek yang berpikir dan objek yang dipikirkan.

Penekanan pada berpikir membawa dampak lain, yaitu gejala levelling down atau banalization. Levelling down bermula dari kenyataan bahwa di alam wacana, di alam konseptual, segala sesuatu kehilangan makna dan kualitas signifikannya yang konkret. Pola pendidikan modern sangat memberi tekanan pada kemampuan berwacana dan pengusaan berbagai teori, hal ini membuat seseorang kadang lupa bahkan tak sadar akan adanya jurang perbedaan. Seseorang berpuas diri ketika merasa memiliki pengetahuan/wacana yang canggih tentang sesuatu tanpa pernah punya pengalaman konkret akan sesuatu itu. Kondisi inilah yang mengarah pada levelling down, yaitu ketika seseorang tidak lagi menunjukkan kualitas signifikan yang sesungguhnya dan berpuas diri dengan hanya memahaminya di level wacana. Kehidupan modern yang terjangkit gejala levelling down kehilangan banyak sekali maknanya.

Selain itu, ada pula gejala self focused orang modern yang memandang dirinya sendiri sebagai objek terpenting dalam titik acuan utama ketika menyikapi sesuatu dan mengambil keputusan yang disebut antroposentrisme.

Dampak lain dari kebebasan individu untuk menentukan sikap dan berpikir bagi dirinya sendiri tentang segala sesuatu adalah munculnya relativitas kebenaran. Kebebasan ternyata membawa manusia pada kondisi groundlessness (ketiadaan dasar yang mutlak) bagi manusia dalam mengambil pilihan bagi hidupnya, terutama saat berhadapan dengan pilihan-pilihan yang paling mendasar dalam hidup. Ujung dari pemahaman relativitas ini adalah sikap apatis pada kebenaran. Sikap bebal, masa bodoh, tidak peduli mana iman dan mana kufur, mana tauhid dan mana syirik. Tidak lagi peduli mana yang haq dan yang bathil, mana yang haram dan halal, serta mana yang baik dan benar.

Ketiadaan kebenaran yang bisa dipegang, menempatkan manusia modern pada kondisi yang gamang. Manusia modern menjadi rentan untuk bersembunyi dari kehidupan yang autentik. Dan tempat bersembunyi yang paling nyaman adalah dengan bersembunyi pada suara orang banyak dan mengabaikan pertanyaan suara hati yang senantiasa mengganggu. Suara orang banyak memberi makna dan arah semu pada hidup kita. Kita tidak usah repot berpikir tentang apa makna hidup dan tujuan hidup sendiri, melainkan cukup mengikuti apa yang dipandang baik oleh orang banyak.

Berbagai gejala problematik dunia modern membuat hidup yang bermakna menjadi sulit untuk diraih, bahkan mengarah pada desacralization, yakni pemudaran dan pendangkalan makna yang sakral menjadi makna yang tarafnya manusiawi. Jika ia bersedia mengakui ada kekuatan lain yang bisa jadi lebih besar dari dirinya, yang ada di luar kemampuan akal budinya untuk dipahami, dan hal itu bertentangan dengan semangat enlightment; ada kecenderungan pada manusia modern untuk mencurigai sesuatu yang dianggap sakral. Ia akan merusaha merasionalisasi (downgrading) kesakralan itu supaya sesuai dengan batas kemampuan berpikirnya, dan meletakkan dasar pemikiran logis yang baru untuk menggantikan dasar mula yang berada di luar pemahamannya agar tetap diri sendirinyalah yang menjadi pusat. Contohnya pernikahan adalah sesuatu yang sakral dalam pandangan agama, namun pernikahan modern lebih dimaknai sebagai suatu partnership, suatu kerjasama sukarela antara dua pihak untuk menjalani kehidupan bersama yang diharapkan dapat membawa kebahagiaan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang ditetapkan sendiri oleh kedua pihak tersebut. Jika pernikahan tidak bisa mewujudkan tujuan itu, adalah hal lazim untuk melakukan perceraian. Atau pernikahan juga bisa dipandang sebagai suatu transaksi ekonomi seperti kawin kontrak.

Ketika meaningless semakin menggejala, maka hidup semakin gembos, semakin hampa, dan berbagai gejala patologis makin marak di dunia modern. Begitu juga dengan muslim, apabila ia dijauhkan dari agamanya dan semata hanya bersandar pada kemampuan akal, maka hidupnya menjadi kosong. Manusia berusaha mengisi kehampaan itu dengan berbagai hedonisme, adiksi, fanatisme, dan perilaku destruktif.

Pergumulan manusia modern untuk menemukan makna hidup bisa jadi terganjal oleh kekeruhan pandangannya. Langkah pertama untuk memahami makna hidup adalah dengan stepping back, connecting the dots, dan menjernihkan pandangan kita. Makna hidup sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata, namun bukan berarti ia jauh dari kita. Barangkali justru karena ia sangat dekat dan senantiasa hadir sebagai latar belakang dari apapun yang kita lakukan, dan menjadi prasyarat mutlak yang tanpanya kita tak bisa mengada (exist) dan melakukan apapun juga.

Meaningless bisa dihindari bila manusia mengikatkan diri pada sumber kekuatan yang lebih besar daripada dirinya. Komitmen tersebut dikenal sebagai defining commitment, yaitu komitmen yang mendefinisikan diri dan mendefinikan dunia. Defining commitment berarti menyerahkan diri dengan sukarela kepada Sang Kuasa, dan hanya dengan demikianlah seseorang menyelamatkan keberadaannya. Bagi seorang muslim, defining commitment itu artinya aqidah, ikatan untuk berserah diri pada Allah SWT. Dengan mengenal Allah, maka manusia tahu akan tujuan hidupnya. Setiap usaha yang ia lakukan punya makna lebih yang bukan sekedar bernilai dunia.

=============
Depok, 20 Januari 2018; menuliskan kembali catatan kuliah untuk #sabtulis. Sabtulis (Sabtu Menulis) adalah gerakan menulis di hari Sabtu. Kamu bisa menuliskan tentang gagasan, cerita, puisi, prosa, ataupun hal lain yang ingin kamu ekspresikan melalui tulisan. Yuk Ikutan! Mengenal diri, mengapresiasi diri, dan menjadi lebih percaya diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul