Langsung ke konten utama

Adab Mencari Ilmu (MIIP Batch #5)

Halo Readers!
Pertama-tama mau mengucapkan terima kasih sekali buat yang kemarin sudah bantu doakan saya agar bisa gabung di kelas Matrikulasi IIP (Institut Ibu Profesional). Alhamdulillah sekarang sudah masuk dan gabung di WAG Matrikulasi #5 Depok 3, yeay jadi bisa lanjut cerita nih tentang pengalaman belajar di sini.

Minggu pertama ini, kami belajar dan diskusi tentang adab menuntut ilmu. Mungkin kita sudah khatam tentang betapa pentingnya ilmu, tapi tak jarang kita temui bahwa kita pun sering lupa pada adab. That’s why dipembahasan pertama ini diingatkan lagi tentang adab, biar ilmunya juga bisa berkah ya. Iman-adab-ilmu-amal. Oke setelah materi pertama ini, fasil kami Mak Rina dan tim memberi tugas yang disebut Nice Home Work atau singkatnya NHW. Pakai kata “nice” mungkin agar mengerjakannya juga bisa have fun ya, hehe. Untuk NHW pekan satu tugas ada 4 poin yang harus dijawab nih. Pas lihat soal-soalnya, jujur ini membuat saya berpikir lebih dalam karena pertanyaannya fundamental sekali. Saya anggap fundamental karena dalam menjawabnya benar-benar menuntut kesadaran tinggi dan diperlukan komitmen yang kuat untuk melaksanakannya. Here they are:

1.) Tentukan satu jurusan ilmu yang akan anda tekuni di universitas kehidupan ini.

Kalau dulu pas awal-awal kuliah sempat merasa salah jurusan, mudah-mudahan di universitas kehidupan ini hal yang sama tak terjadi lagi. Dulu, sempat merasa pundung karena jurusan yang dimasuki bukan jurusan impian, tapi justru jurusan yang amat sangat tak pernah terpikirkan. Setelah dijalani justru mendapat semacam blessing in disguise. Saya mungkin tak dapat apa yang saya inginkan, tapi ternyata saya dapat apa yang saya butuhkan. Allah luar biasa Maha Tahu apa yang cocok untuk hambanya.

Berhubung ini universitas kehidupan dan belajarnya sepanjang hayat, untuk itu jurusan ilmu yang ingin difokuskan adalah tazkiyatun nafs. Tazkiyatun nafs adalah ilmu tentang bagaimana manusia menyucikan jiwa/hati dan dirinya dari sifat-sifat tercela sehingga memiliki akhlak yang baik (berkaitan dengan psikologi banget ini yah).

2.) Alasan terkuat apa yang anda miliki sehingga ingin menekuni ilmu tersebut?

Ujian kehidupan seringkali lebih sulit daripada ujian-ujian tertulis di universitas biasa. Dulu pernah diuji dengan ujian dari orang terdekat, saya fikir saya sudah cukup memaafkan. Tapi ternyata maaf itu baru sebatas lisan, belum benar-benar memaafkan dari hati. Maka ujian itu datang lagi dalam bentuk yang lain, dan di titik itu saya baru sadar bahwa masih ada kotoran di hati, sisa-sisa perasaan tidak menerima.

Lulus atau tidaknya melewati ujian tersebut bergantung pada sikap terhadap tazkiyatun nafs. Saya ingin ujian kehidupan apapun bisa dihadapi dengan tazkiyatun nafs. Perbaikan diri dan perilaku dimulai dari dalam diri sendiri, dari hati sendiri. Dari hati yang bersih, ingin bisa menghasilkan perilaku yang lebih baik, merespon orang lain dengan lebih baik dan hidup dengan ketenangan. Hmn, selain itu biar saya tak jadi racun bagi orang lain, mudah-mudahan justru jadi obat :D

3.) Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan anda rencanakan di bidang tersebut?

Strategi menuntut ilmu tazkiyatun nafs ala yuning adalah pertama-tama adalah istigfar dan ingat dosa.
Kemudian menargetkan diri untuk meluangkan waktu membaca buku, artikel, atau bahan bacaan lain yang berkaitan dengan rumpun ilmu tazkiyatun nafs. Selain itu menonton video atau datang ke kajian.
Memperbanyak perbuatan baik, husnudzon serta membuka mata dan telinga agar lebih peka dengan lingkungan sekitar.
Strategi keempat adalah sedekah, baik itu sedekah ilmu, sedekah tenaga, sedekah waktu, atau sedekah harta.
Terakhir, lebih serius dalam berdoa.


4.) Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, perubahan sikap apa saja yang anda perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut?

Perubahan sikap yang harus saya perbaiki dalam proses mencari ilmu tersebut adalah:
Melapangkan hati dan menurunkan ego diri. Belajar di universitas kehidupan artinya harus siap belajar dari siapa saja, oleh karena itu saya tidak boleh terjebak pada ego yang merasa lebih tahu. Melapangkan hati agar bisa lebih banyak menerima hikmah dan pelajaran sekalipun dari orang-orang yang punya pendapat berbeda.
Membiasakan diri untuk berkata baik dan lebih semangat melakukan hal-hal yang positif.
Menjaga mutabaah yaumiyah agar tidak banyak bolongnya.
Konsisten. Membiasakan diri untuk konsisten dalam menjaga komitmen. Sebisa mungkin akan berusaha untuk mengatur waktu dan mengurangi kebiasaan menunda-nunda.

Oke kira-kira itu jawaban saya untuk tugas NHW #1 pekan ini. Semoga jawaban hasil refleksi diri ini bisa diaplikasikan. Aamiin.. Semoga tulisan ini juga bisa bermanfaat :)

Last but not least, ada quote menarik dan menancap sekali dari IIP : “Sejatinya semua ibu adalah Ibu bekerja, yang satu memilih fokus bekerja di RANAH PUBLIK, satu lagi memilih fokus bekerja di RANAH DOMESTIK. Kemuliaannya sama, kebanggaannya sama. Yang membedakan keduanya adalah faktor KESUNGGUHAN dalam menjalankan peran peradabannya masing-masing." 

#NHW1 #MatrikulasiBatch#5 #AdabMenuntutIlmu
#Sabtulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul