Langsung ke konten utama

Welcome 2018!


Sejujurnya ada banyak hal yang tak terarsip secara rapi di 2017. Saya akui bahwa saya memang menjalani hidup dengan mengalir begitu saja, bukan seseorang yang terlalu ambisius. Aktivitas 2017 kurang lebih diwarnai dengan kegiatan mengajar, mengerjakan freelance desain, mengerjakan beberapa project foto, menggambar dan doodling untuk kesenangan diri sendiri. Selain itu, tahun ini juga berkesempatan bertemu Bu El Shanti dan jadilah keseharian saya makin challenging dengan mengurus butik els. Entah rutinitas-rutinitas itu berbuah menjadi pencapaian atau bukan, tapi kali ini saya ingin menuliskan beberapa hal berkesan yang saya ingat di tengah kerandoman hidup selama 2017 . 

> Januari: Mendokumentasikan (moto) selebrasi teman SMA yang akan menikah di bulan ini & acara lamaran teman sekampus. Bulan ini kondisi adik bungsu sedang kritis. Waktu kuliah S1 Ilmu Komunikasi, saya diuji dengan ujian komunikasi keluarga. Saat ini kuliah di S2 Psikologi, ujiannya berkaitan dengan psikologi dan hal gaib. Segala hal yang terjadi dengan manusia berkaitan dengan jiwa (hati). Saat menghadapi krisis ini, saya menemukan bahwa nilai-nilai psikologis Islam bisa lebih berperan dalam kesembuhan adik. Kondisi ini sesungguhnya membawa banyak pelajaran tentang keimanan dan memaafkan. Jangan pernah menimbun dengki di hati karena ia sepeti racun bagi diri sendiri. 

> Februari: Satu tahunan Sky Share Desain. Terima kasih adik-adik SkyShare smanti, semoga tahun 2018 masih bisa bertemu kalian :)

> Maret: Berkunjung ke Masjid Dian Al Mahri (Kubah Emas) Depok, motoin pemandangan bulan purnama dan bulan tiga perempat, berkunjung ke Japan Foundation untuk acara pameran lettering: di antara jeda bareng Irsyad. Letteringnya bagus-bagus, Suka! gak nyesel deh datang ke pameran itu.

> April: Datang ke syukuran pernikahan mas dul (sepupu), pergi ke Cirebon untuk fotoin acara nikahan Tri & Alvin. Di bulan ini untuk pertama kalinya memberanikan diri mengenal lebih dekat kehidupan seseorang di dunia nyatanya. Satu hal yang saya sadari setelah bertemu dengannya adalah, sebersinar apapun dia saat ini, dia juga pernah mengalami hal-hal buruk dikehidupannya. Dia memilih untuk keluar dari kegelapan, bertekad dan mendekat pada Allah. 

> Mei: Main ke festival Jepang Ennichisai di Blok M. Ikut ke acara sosial sehat bersama saung Kite di Bekasi.

> Juni: Bikin acara ramadhan camp untuk anak-anak SMA bersama teman pengajian. Ikut jadi panitia penyelenggaraan Bukber akbar Pay & Doit!  (komunitas pecinta anak yatim) di taman mini dengan jumlah peserta lebih dari 1500-an. Dan saat itu saya tidak sadar bahwa ketika mau shalat maghrib, yang ada di samping saya itu bu Silvi (calon gubernur DKI Jakarta). Kemudian sempat juga mengisi liburan dengan main ke Kampung Cina di Kota Wisata.

> Juli: Kembali naik ke Gunung Gede setelah 8 tahun cuti mendaki. Dunia pendakian benar-benar berubah. Sudah banyak kafe-kafe dan penjual makanan keliling di gunung. Haha, hal yang delapan tahun lalu amat jarang ada. Di bulan ini, saya dan tim (Sano & Ami) mencoba ikut sosiodigileaders dari Telkom. Saya tidak pernah menyangka bahwa ide kami ini akan masuk dalam Top 100 dari sekian ratus tim yang ikut dengan ide-ide yang bahkan lebih keren dan realistis. Meskipun belum masuk ke tahap selanjutnya, saya pikir ini adalah hal yang patut untuk disyukuri dan diperbaiki untuk ke depannya. Satu poin pelajaran menguat: kamu tak akan pernah tahu kalau tak pernah berusaha mencoba, nikmati saja prosesnya, dan serahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Juli ini pun membawa saya lebih memahami kehidupan mereka yang memiliki keterbatasan fisik tapi mereka tak pernah membatasi diri untuk mejalani hidup dengan lebih baik dan bersemangat.

> Agustus: mulai ribet dengan tesis. Sebelum bulan ini sebenarnya sudah pernah bimbingan dengan Dosen Pembimbing yang lama, tapi beliau belum klop dengan judul yang saya ajukan. Saya ingat tanggapan beliau tentang judul saya. Beliau bilang, “mbak cari judul dan fenomenanya yang gampang-gampang saja, kecuali mau S3. Silahkan ajukan judul yang ini.” Setelah itu saya bingung yang gampang itu didefinisikan seperti apa coba (?). Setelahnya justru rumit dengan pikiran sendiri plus belum menemukan fenomena baru yang menarik hati untuk diteliti. Jadilah saya kerjanya jalan-jalan dan ikut kegiatan ini itu sebagai penyegaran dari tesis. Dan tenyata di bulan ini Dosen Pembimbing saya diganti, ada untungnya juga sih belum banyak menggarap judul yang baru, hehe.

> September: Motoin nikahan muti, berpusing-pusing ria dengan tesis dan karantina sambil mengurus Sekolah Digital.

> Oktober: Sidang tesis. Hari dimana sidang tesis adalah hari yang tidak bisa dilupakan. Coba bayangkan, jam 1 siang sidang seharusnya sudah dimulai. Tapi justru para penguji sidang harus sabar menunggu saya dan Diah yang masih ribet di tempat fotokopian. Yassalam banget kan! Hihi. Dua hari setelah sidang tesis, saya kecelakaan motor; tidak bisa jalan dan harus bedrest kurang lebih sebulan. Oh iya, di bulan ini juga saya sedang berproses dengan seseorang untuk mencoba menjawab pertanyaan  tentang “kapan” dari orang tua yang mulai sering bertanya-tanya. Saat itu satu hal yang menjadi doa saya: Ya Allah, kalau bapak dan mama kurang cocok, mohon jangan sampai saya yang menolak. Semoga ia saja yang mengundurkan diri dari proses ini. Dan doa itu terjawab sudah, pada akhirnya ia mengundurkan diri. Sedih kah Ning? Engga sama sekali, entah mengapa rasanya justru leeega. Selang sebentar waktu, ada lagi teman yang berbaik hati tiba-tiba menawarkan seseorang. Saya belum siap, jadi niat baiknya saya tolak sehalus mungkin.

> November: Berkunjung ke Museum Macan bareng kak Dany. Motoin nikahan Adit. Dua minggu kemudian motoin nikahan Dini. 

> Desember: Pergi ke Solo dan bertemu Dewi! Yeay ini adalah hal yang paling menyenangkan di tahun ini. Beberapa hari berikutnya Wisuda S2, Alhamdulillah lebih cepat daripada harapan saya yang maunya wisuda tahun depan. Ada satu kejutan lagi! Di penghujung bulan ini pun terjawab sudah pertanyaan saya tentang kemungkinan atau kemustahilan. Untuk pertama kalinya Allah beri jawaban melalui mimpi bahwa itu kemustahilan. Takdir itu tidak pernah menjadi milik saya. Ada orang lain  yang doa-danya lebih serius, lebih panjang, lebih tulus sehingga meskipun keberadaaanya lebih jauh, dia lebih mungkin dan lebih pantas untuk memiliki takdir itu. Maka di akhir tahun ini lagi-lagi belajar tentang melepaskan dan keikhlasan :) memiliki impian dan kehilangan, adalah hal yang lumrah. Yang penting tidak kehilangan harapan pada Allah. Dear Allah, semoga saya senantiasa menjadi hamba yang ikhlas menerima takdir dan ketetapanMu atas semua yang sudah saya coba perjuangkan.

That’s it, kaleidoskop singkat perjalanan hidup selama 2017. Setelah menuliskan hal-hal di atas, rasanya saya amat sangat ingin bersyukur tentang waktu, kehidupan, dan pertemuan dengan orang-orang yang sudah Allah berikan. Semoga tahun ini kerandoman saya bisa berkurang dan lebih tertata. Semoga tahun ini bisa belajar memperjuangkan sesuatu yang sesuai kata hati. Semoga tahun 2018 lebih banyak hari libur sehingga bisa menjelajah tempat-tempat baru, bertemu dengan wajah-wajah baru, dan bisa mengambil banyak hikmah darinya. Let’s say welcome to 2018! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul