Langsung ke konten utama

25 Januari 2013

25 Januari 2013

Sehari sebelum terselenggaranya SERPIHAN HATI di Kalimang...

Sugi, koordinator perlengkapan sudah ketar-ketir menanyakan siapa yang akan mengantar barang-barang perlengkapan seminar ke kalimalang. Awalnya, beberapa hari sebelumnya mau di ambil sama ikhwan dari kalimalang. Tapi setelah dikonfirm ulang mereka belum bisa mengambil barang di hari kamis karena yang punya mobil lagi ada agenda lain. Sedangkan kalau diambil di hari-hari sebelumnya, seksi perlengkapan di Depok belum sepenuhnya siap. Alhamdulillah adik kelasku dari seksi HPD, Sheila bersedia membantu dan meluangkan waktunya di hari Jum’at, 25 Januari.

Dari kampus E berangkat ke masjid Daarul Ilmi kampus D jam sebelasan kurang. Ke sana mau ambil buku-buku sponsor yang di simpan di kestari lantai dua. Sudah mencoba menghubungi ikhwan yang ada di masjid Daarul Ilmi, tapi responnya lama. Ditungguin gak muncul-muncul, mungkin dia lagi sibuk mempersiapkan untuk sholat Jum’at. Nah! Sekalinya keliatan, dia senyum, trus pergi lagi.. Astagfirullah. Aku, Sugi, Sheila cuma bisa mengelus dada aja. Ini waktunya makin mepet, sebentar lagi sholat jum’at, pasti masjid bakal dipenuhi jama’ah. Akhirnya kita bertiga inisiatif yang gerak, kucluk-kucluk ke lantai dua, buka kestari, trus mindahin kardus-kardus berisi buku. Tadinya kami kira enteng, ehh ternyata beraaaat buaaangggeet, gak sanggup ngangkat. Jadinya mindahin itu kardus dengan di dorong dan di seret-seret. Sampai akhirnya terdengar bunyi yang cukup membuat kaget gluuuuddduukk gluduk duuuk... Sugi! Ya Allah, itu anak kenapa? Langsung nengok ke arah tangga. Aku kira dia jatuh dari tangga.

“hehehe.. udah lemes Ning, jadinya aku biarin aja kardusnya jatuh.” Jawab Sugi. Fiuuuuhh ternyata kardusnya yang kepeleset. Alhamdulillah, gak kebayang kalau Sugi yang jatuh terguling dari tangga. Setelah semua barang turun ke lantai satu. Ada masalah lain, gimana caranya mindahin barang ini ke mobilnya Sheila. Sheila kakinya sampai keseleo. Kita bertiga udah kehabisan daya buat angkat-angkat. Sugi masih di lantai dua, ngecek ruangan sekaligus mengunci kestari.

Untungnya ada mas-mas yang lagi duduk di pelataran masjid, yang sedari tadi mengamati tingkah laku kita. Yasudah aku minta tolong sama dia.
“mas, lagi sibuk gak? Boleh minta tolong yah, bantuin mindahin barang ke mobil yang itu.”
“ohh, iya boleh.”
Akhirnya dibantuin mas-mas tidak dikenal. Alhamdulillah. Sugi yang baru turun langsung bilang, “ayo mas.. ayo bantuin. Nah gitu dong. Daripada duduk-duduk aja, blablabla...” aku yang ngeliat sugi ketawa-tawa aja. Sugi itu kalau sudah panik jadi rame. Hahaha, agak kasian juga sih mas-masnya. “gi, sebenernya tadi sebelum kamu bilang sama mas-masnya, aku minta tolong sama dia kok, hehe.”
“ohh.. hahahaha, aku kira...abisnya dia daritadi ngeliatin aja, kayak mau bantu cuma gak gerak-gerak. Hahahaha. Kan aku gemes liatnya.”

Thanks banget deh buat mas-mas tak dikenal itu dari kami bertiga, semoga Allah yang membalas kebaikannya di Jum’at ini. Setelah semuanya beres, kita langsung cabut ke Jatinegara, beli goody bag. Di perjalanan ngomongin makanan, maklum belum pada sempet makan siang. Tiba-tiba nyangkut ke tempe mendoan.
Entah dari mana si Sugi terlintas istilah tempe mendoan “Ning, Sheila.. tahu tempe mendoan kan? Itu loh tempe yang dimasak setengah mateng. Yang klemer-klemer gitu. Keplek-keplek. Payah dah. Ikhwan zaman sekarang banyakan yang kayak gitu.”
Buahahaha.. pecah tawaku dan Sheila. Menertawakan kejadian siang ini.
“ehh, tapi gak gitu juga sih kak. Teman-teman ikhwanku di SMA pada strong kok. justru kita akhwatnya disuruh diam-diam aja. Mereka semua yang ngerjain, yang bikin konsep, yang beresin ruangan, sampai yang ngangkut-ngangkut meja.” Pandangan Sheila.
“iya, tapi pasti gak semua ikhwan kayak gitu gi. Mungkin cuma beberapa yang rada-rada kayak gitu. Hahaha tapi istilah tempe mendoannya lucu banget”
“kak, ini gak hujan kan ya? Kalau banjir aku takut nih mobilnya mogok. Soalnya ini mobilnya ceper, kalau banjir nanti airnya masuk ke mesin.” Penjelasan dari Sheila.
“kita berdoa aja. Mudah-mudahan gak hujan di perjalanan.”
“oiya, kakak ada yang tahu pasar Jatinegara dimana gak?
“ahahahaha... gaaaak tahu! Nanti kita tanya-tanya aja deh ya sepanjang jalan.”

Jadi teringat evaluasi SERPIHAN HATI tahun lalu, ketika ada akhwat seangkatanku yang coba mengeluarkan unek-uneknya tentang ikhwan-ikhwan seorganisasi yang sering absen bila diminta bantuannya mendirikan stand, atau bantu-bantu lainnya selama masa registrasi dan publikasi. Dia bilang: gak tahu ikhwannya kemana, kebanyakan susah dihubungi, gak balas sms, diminta bantu untuk ngejualin tiket juga susah responsnya. Mungkin mereka malu kali ya karena ini acaranya perempuan. Temanku yang itu udah pesimis dan hopeless banget dah nada bicaranya.
Dan ini tanggapan dari salah satu kakak senior ikhwan 08 yang sampai saat ini kalau gak salah terekam di memoriku bilang begini: mba, kalau dirumah saya, gak peduli tuh yang namanya kerjaan bisa dilakukan sama siapa saja. Mau perempuan atau laki-laki. Ketika saya (laki-laki) harus mencuci piring ya saya lakukan itu, ngepel rumah, atau hal-hal lain yang biasa dilakukan perempuan. Begitu juga sebaliknya, ketika perempuan harus angkat-angkat juga harus bisa. Blablaba...
Inti yang kutangkap dari kata-katanya: mba, please deh, JANGAN MANJA!

Allahu rabbi, padahal maksud akhwat ini, dia cuma minta, tolong ikhwannya ada perhatian untuk bantu-bantu, gak harus semuanya terjun. Minimal ada satu atau dua orang gitu yang siap pasang badan untuk bantu mem-back up hal-hal yang gak bisa sepenuhnya ditanggung akhwat. Sebenarnya akhwat ini hanya merasa miris, masa tiap kali yang bantu mendirikan stand, ngangkatin meja, kursi, pasang banner (pada saat itu) ikhwan-ikhwan dari ormawa lain, ini baru sebagian kecil kerjaan, envy dong! ikhwan yang dari organisasi sendiri pada kemana? Kami akhwatnya juga gak mau manja kok, kami selalu berusaha mandiri. Hanya saja ketika butuh pertolongan dalam hal teknis, kami harus kemana dahulu yang siap kami mintai pertolongan ini kalau bukan ke saudara-saudara seorganisasi.

Aku tahu, gak semua ikhwannya begitu kok. pasti ada sebagian ikhwan yang memang benar-benar bisa diandalkan. Yang kerja-kerja hebatnya dalam aksi, gak banyak teori atau mulutan, tapi hal itu jarang kami sadari. Sebenarnya kami sangat-sangat mengapresiasi kalian, dan berharap ada keistiqomahan. Maafkan, mungkin kami yang kurang jeli dan terlalu fokus pada mereka yang masih jadi “tempe mendoan”. Titip doa pada langit, aku percaya dan berharap, saudara-saudara ikhwan ini akan menjadi lebih baik lagi dari tahun ke tahun. Buktinya tahun ini, Alhamdulillah sebagian besar nyata kontribusinya. Yang jadi “tempe mendoan” sudah mulai berkurang.

Okay yang tadi itu cuma flashback, sekarang balik lagi. Jalanan sepanjang Kramat Jati mulai diguyur hujan. Kami bertiga was-was, berharap hujan ini gak menderas. Sampai di Jatinegara tinggal gerimis. Setelah menepikan mobil, kami mulai mencari tempat yang menjual goody bag. Agak jauh di dalam pasar, di lantai basement. Sudah dapat goody bagnya, kami buru-buru keluar. Tapi hujan semakin menjadi lebat. Kami nekat menerobos hujan, dan mampir ke tukang sepatu. Sheila mau beli sepatu, sepatunya basah. Dari tukang sepatu itu kami minta plastik. Plastik yang disematkan dikepala sebagai pengganti payung. Ahahaha.. cupu abis deh.

Karena jarak dari pasar ke tempat parkir mobil agak jauh dan hujan semakin deras, kami putuskan menyewa bajaj. Parahnya kami lupa-lupa inget tempat parkir mobil itu adanya dimana dan akhirnya minta turun di depan stasiun Jatinegara. Ternyata mobilnya masih ke depanan lagi. Kami jalan buru-buru hingga di sebuah tikungan penyebrangan ada mobil tiba-tiba dari belakang berbelok ngebut ke arah kami yang hendak menyebrang.

Sheila dan Sugi yang jalan di belakang teriak, “yuniiiiinnng...”
Bemper depan mobil itu sudah mengenai ujung belakang jilbabku. Sepuluh senti! Sepuluh senti lagi mobil itu telat ngerem, entah ada di dunia mana ini nyawa. Sheila dan Sugi tampangnya syok. Aku refleks merentangan tangan kanan yang memegang barang belanjaan ke arah mobil itu. Menatap dalam-dalam ke arah bapak pengemudi. Wajahnya bukan menunjukkan ekspresi wajah yang menyesal atau terkejut. Lebih mirip ekspresi kesengajaan. Mungkin ekspresi itu ingin menyampaikan : pejalan kaki minggir ya, mobil mewah mau lewat. Kami lebih berhak atas jalan ini. Hhaa... ekspresiku juga bukan tipe ekspresi yang syok atau berasa pengen minta maaf. Datar. Aku lanjut menyebrang dan gak memandang mobil itu, cuek, toh si pengemudi itu juga diam-diam saja. Kalau ini bukan zebra cross sih well, mungkin aku yang salah karena nyebrang sembarangan. Sugi dan Sheila bilang ibu yang duduk di samping bapak pengemudi itu tampangnya kaget banget, ummn... aku gak sempet memperhatikan.

Jadilah kami hujan-hujanan beneran, dan mampir ke sebuah kedai untuk minum teh. Melanjutkan lagi dan akhirnya sampai ke tempat parkir.
“kalau liat bapak tukang parkir itu Sugi jadi inget kakek Sugi. Kasian deh.. udah tua gitu masih kerja.. sewa parkirnya kasih lebih ya.”
Sheila memberi ongkos parkir ke Kakek itu. Ya Allah, beningnya hati dua orang ini, semoga Engkau balas dengan sebaik-baik balasan... aamiin.

Di jalan Sheila bilang, “yaaahh beli sepatu kan niatnya biar gak basah. Ehh ini basah-basah juga. Sama aja bo’ong ini sih.” Sambil cemberut. Buaaaahahahahaha aku dan Sugi ketawa. Lucu banget sih si Sheila.
“kakak, ini jalan ke Kalimalang lewat mana ya?”
“engga tahu.. hahaha kita tanya-tanya lagi deh, kalau nyasar nanti balik lagi.”
Bener-bener ngebolang hari ini. Baju yang basah jadi bikin dua anak ini masuk angin. Sepanjang jalan ada orkestra gitu deh : hheeeeeg heeeeeggh heeeggggh. Hahahaha.. kasian juga. Belum makan siang, hujan-hujanan, dan masuk angin. Langsung sms akhwat kalimalang pinjam baju untuk kami bertiga. Udah dibawain sama teman akhwat di kalimalang, tapi Sugi bilang ga usah, bingung balikinnya bagaimana. Akhirnya dari kering, basah, sampai kering lagi di mobil.

Tiba di kalimalang, tujuan pertama adalah sholat dan nyari makan. Soto mie bogor sore itu rasanya beneran nikmat, makan bareng Sugi dan Sheila. Abis itu langsung nge-drop barang ke ruang seminar. Bantu-bantu persiapan di sana sebentar, dan pulang karena udah sore juga. Pulangnya lewat tol, menghindari macet. Pemandangan sore yang indah selepas hujan. Sugi dan Sheila masih ngelanjutin orkestranya: heeeegggggh heeeegggh heeegggh. Hahahahaha... what a wonderful day with you, gals. Gak bisa dilupain ini. Allah, terima kasih, Engkau kirim dua malaikat menemani perjuangan sepanjang hari Jum’at ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul