Langsung ke konten utama

Jilbab: Sesederhana itu

Suatu siang di kesekretariatan..
Seorang mahasiswi datang berkunjung, sekedar singgah menunggu temannya yang sedang ada urusan di kesekretariatan ini. Yah, daripada bengong, mending buka obrolan. Dari yang sekedar obrolan ringan, blablablah, hingga obrolan tentang jilbab. Dan menurutku pandangan dia tentang jilbab itu nyeeeess banget.

“kalau kamu mulai pakai jilbab dari kapan?”
“aku baru kak kalau pakai jilbab.”
“ohhh.. kamu suka ikutan komunitas ya?” tanyaku sambil senyum-senyum.
“hehehe.. awalnya iya kak, tapi sekarang udah gak terlalu aktif.”
“lho kenapa? Kalau kegiatannya apa aja?”
“kegiatannya sih seru, macam-macam. Kadang kita belajar tutorial hijab bareng, trus suka ikut beauty class, trus kumpul-kumpul makan bareng.”
“ummn.. wah seru dong?”
“iya kak.. cuma aku merasa ada yang kurang aja. Kakak tahu kan kalau komunitas kayak kami itu modis, fashionable abis. Selalu ada trend-trend baru untuk penampilan kami. Tapi suatu hari aku ketemu akhwat kak. Yah mirip orang-orang di sini sih. Jilbabnya sederhana, panjang, dan lebar. Beda sama aku. Walaupun fashionable gini, tapi ada perasaan lain. Entah itu minder, kagum atau apa ya namanya..”
Aku masih menyimak.
“pertama kali aku ketemu dia, beda kak rasanya. Dia tetap cantik, alami. Sedangkan kami selalu berusaha mempercantik penampilan kami. Yaaah gaul-gaul gitu deh. Tapi dia tuh, ya ampun kak, bicaranya saja lemah lembut banget. Kalau aku pribadi sih, meskipun berjilbab gini tapi kalau bicara masih suka sembarangan, hehe. Sejak saat itu aku jadi mikir kak, dan mutusin pengen berjilbab yang lebih sederhana, yang sesuai sama di Qur’an. Walaupun sekarang aku belum bisa sepenuhnya berjilbab yang syar’i tapi aku coba dikit-dikit kak. Misalnya kayak sekarang kan pakai pashmina tapi gayanya lebih simpel dan menutupi dada.”

Yuning speechless. Pertemuan dengan mahasiswi yang ini membawa sebuah warna baru, sudut pandang lain, yang mungkin aku belum tahu. Bahwa memang proses ini bukanlah proses yang instan, melainkan proses yang panjang dan bertahap. Betapa inginnya aku, agar semua perempuan muslim itu tahu bahwa ketaatan itu sederhana, seperti semakin sederhananya jilbab. Ia tak perlu jadi sesuatu yang meribetkan ketika mengenakannya.

Masing-masing dari kita punya titik balik yang berbeda. Memaksanya berubah langsung syar’i hanya akan berdampak pada luarnya saja, namun dalamnya... bisa saja ia tetap kopong. Ada pun bagi kita, yang merasa jilbabnya sudah syar’i, pahamilah mereka yang baru berjilbab. Kebiasaan orang kebanyakan, apabila ada yang berbuat kebaikan kemudian dicibirin ditumben-tumbenin, apabila ada yang berbuat kesalahan atau sedikit menyimpang kemudian orang-orang kebanyakan ini merasa berhak untuk menyinyirin.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita (perempuan) akan menua. Kecantikan fisik lama-lama akan sama dengan rata-rata orang diusia senja. Lantas apa yang mau dibanggakan?
Tapi kecantikan hati, seiring berjalannya waktu, ia akan tumbuh dan makin bercahaya. Tapi pilihan itu lagi-lagi ada di tangan kita sendiri, terserah mau pilih cantik yang mana :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Manajemen Makna Terkoordinasi

Untuk memahami apa yang terjadi dalam sebuah percakapan, Barnett Pearce dan Vernon Cronen membentuk teori Manajemen Makna Terkoordinasi ( Coordinated Management of Meaning -CMM). Bagi Pearce dan Cronen, orang berkomunikasi berdasar aturan. Mereka berpendapat bahwa aturan tidak hanya membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain, melainkan juga dalam menginterpretasikan apa yang dikomunikasikan orang lain kepada kita. Manajemen makna terkoordinasi secara umum merujuk pada bagaimana individu-individu menetapkan aturan untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna, dan bagaimana aturan-aturan tersebut terjalin dalam sebuah percakapan di mana makna senantiasa dikoordinasikan. Cronen, Pearce, dan Haris menyebutkan : “Teori CMM menggambarkan manusia sebagai aktor yang berusaha untuk mencapai koordinasi dengan mengelola cara-cara pesan dimaknai.” Dalam percakapan dan melalui pesan-pesan yang kita kirim dan terima, orang saling menciptakan makna. Saat kita menciptakan dunia

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selamanya.

Fungsi Koordinator Akhwat (Korwat)

“Akhwatnya yang lain mana nih? Kok gak ada yang bersuara? Yang bicara dia-dia lagi...”   celetuk salah satu ikhwan (laki-laki) di sebuah forum. Ternyata kejadian ini juga bisa disalah pahami oleh beberapa orang. Awalnya saya juga berpikir untuk apa koordinator akhwat (perempuan) a.k.a korwat, kan sudah ada koordinator ikhwan? Bukankah dengan satu komando, sebuah koordinasi akan lebih mudah? Setelah mengamati dengan waktu yang cukup lama, jawabannya adalah karena akhwat/muslimah itu punya kekhasan tersendiri. Ada hal-hal yang tidak dapat ditangani secara langsung oleh koordinator ikhwan. Karena keunikan itulah dibutuhkan seseorang, tentunya akhwat, yang mampu mengurusi berbagai hal terkait koordinasi internal dengan akhwat-akhwat lainnya dan sebagai perantara komunikasi dengan korwan. Tentu saja kita akan dihadapkan pada pertanyaan, lantas apakah fungsi korwat hanya tampak sebagai “penyampai pesan”? Tidak, bahkan sebenarnya fungsi korwat lebih dari itu. Dari buah pemikiran (tul