Langsung ke konten utama

Sepele Sih

Sepele sih. ini menyangkut kehidupan sehari-hari. Tapi setiap kali berurusan dengan hal-hal ini, hati saya tidak nyaman, pikiran saya selalu bilang: seharusnya tidak begini, dan akhirnya kesal sendiri. Yeah, walaupun itu belum menghasilkan apa-apa secara realistis.

1. Orang yang merokok ditempat umum, apalagi di depan anak kecil. Tahu kan bahaya rokok itu apa? Well, kita juga tahu kan anak kecil itu belajar dengan cara meniru? Dan biasanya ingatan masa kecil itu lebih lekat terekam. Nah perilaku gini nih yang tanpa sadar ditularkan orang dewasa ke anak kecil. Dan satu lagi yang saya tidak suka, rokok itu bau!

2. Yang ini masalah klasik banget, melempar sampah sembarangan. Contoh kecilnya, sering banget lihat orang buang sampah di dalam angkot (duuuh, emang ini angkot tempat sampah ya? Dan itu berarti sepangjang perjalanan ditemani oleh sampah) yang membuat saya sangat tidak nyaman. Dan lagi-lagi, seringnya yang melakukan hal ini adalah orang dewasa. Pengen banget tereeeaak : ga lulus SD ya? Masa buang sampah aja sembarangan?! Mikir dong, punya otak kan?.

3. Menyebrang di jalan Margonda Raya. Wuiihhh, susah deh. Jarang ada pengendara yang mau ngalah. Kalau menyebrang di sini itu taruhannya nyawa. Kalau sudah ditunggu lama, tapi ga ada mobil dan motor yang berhenti juga, yasudah nyebrang aja. Kalau tak ada yang mau berhenti, maka buat mereka berhenti sejenak. Bodo amat deh *kesel tingkat dewa. Hahaha.

4. Rasa-rasanya 10 menit jalan di Depok itu sudah berkeringat, apalagi di Margonda. Panasnya mentereng. Ya ampun deh, pengen banget bilang ke Bapak Walikota : pak, warga depok gak butuh mall, pusat perbelanjaan, apartemen, atau bangunan-bangunan megah dan mentereng lainnya. Itu sudah banyak pak, sudah lebih dari cukup. Justru kami butuh lebih banyak pohon pak, lebih banyak tanaman, agar kota kecil ini lebih indah, cukup oksigen dan gak stress pak. (buahahaha, belagu banget ya saya)

5. Macet. Dulu waktu pertama pindah ke Depok, kota ini gak macet-macet banget. Dibanding sekarang, macetnya itu parah. Tiap jam-jam masuk kantor dan pulang kantor, jalanan banjir kendaraan. Kalau sudah macet itu jadi mirip saluran yang mampet. Kalau sudah stress, pengendara jadi tidak ramah, maunya serobot-serobot aja, kesenggol sedikit langsung marah-marah. Oiya, fenomena menarik lainnya (entah ini perasaan saya doang atau emang beneran terjadi) kemacetan itu signifikan dengan pertumbuhan jumlah pengamen jalanan. Semakin macet, jumlah pengamen itu semakin banyak, bahkan anak-anak yang masih ingusan pun turun ke jalan ikutan ngamen. Miris deh ngeliatnya. Kalau sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan untuk kerja ngamen, pendidikan mereka bagaimana ya?. Kalau kita memberi mereka uang, mereka pasti senang dan kita juga turut mendukung mainset mereka : ngapain gue sekolah, cukup tepuk tangan, genjreng-genjreng, nyanyi dan pasang tampang melas gue udah bisa dapet duit. Sekolah itu cuma buang-buang duit. Pikiran jangka pendeknya sih begitu, kalau pikiran jangka panjangnya mereka akan nyaman hidup di jalanan. Apa mereka mau selamanya jadi anak jalanan? Dari kecil, dewasa, sampe tuwir hidup dijalanan gitu? Itu kan gak aman. Kalau itu sudah menjadi habit alias kebiasaan mereka, wahhh susah deh tuh. Apa jadinya masa depan negeri ini kalau pola pikiran kebanyakan masyarakatnya begitu? Kalau mereka yang ngamen secara pribadi untuk membiayai pendidikan dan membangun kehidupan yang lebih baik, well it’s OK.

6. masih tentang pengamen nih. Sering mereka bilang ngamen itu menjual suara. Kalau yang namanya menjual suara harusnya nyanyinya gak ngasal dong, pun juga modal. Suka sebel deh kalau ada yang nyanyinya asal-asalan, asal bunyi, modal instrumen pengiringnya cuma tepuk tangan udah gitu lupa lirik lagunya lagi. Pengen bilang: mending gak usah nyanyi deh, berhenti aja jadi pengamen (jahat banget ya? haha). Kalau menganggap pengamen itu profesi, ya yang elegan dikit kek.

7. Orang yang gak mau antri dan suka menyerobot itu menyebalkan.

8. Sinetron atau infotainment yang isinya tidak lebih dari sekedar pembodohan pada masyarakat. kapan ya sinetron-sinetron yang diputar di layar kaca negeri tercinta ini dan informasi yang disajikan infotainment isinya bisa bermutu semua?

9. dan banyak lainnya. (kalau ada yang gak setuju, yaudah sih, gak perlu jualan bakso urat alias ngotot)

Menurut saya yang masih bodoh dan bukan siapa-siapa ini, kalau kita tidak aware, tidak sadar diri, sadar lingkungan, bagaimana sistem di negeri ini bisa mengarah ke yang lebih baik? Perubahan dari sistem yang besar akan lebih mudah dilakukan dengan merubah subsistem-subsistem yang lebih kecil. Hei diri sendiri (juga orang yang baca tulisan ini) yuk lebih peka dengan situasi sekitar, lebih rajin membaca keadaan, dan lebih pandai memposisikan diri dalam lingkungan. Karena perilaku kita sekecil apa pun selalu berpengaruh terhadap sistem yang ada di lingkungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kutipan Menarik dari Buku Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi

Buku “Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi” karangan Boy Candra ini saya beli beberapa hari yang lalu. Kalau ada yang bilang jangan menilai sebuah buku hanya dari sampulnya saja, mungkin saya adalah bagian dari sebuah anomali. Nyatanya, keputusan saya untuk membeli novel ini sebagian besar ditentukan oleh apa yang ditampilkan pada bagian sampulnya. Saya tertarik membeli sebab sampul bukunya yang sederhana dengan ilustrasi dua orang yang berada di bawah hujan ditambah beberapa kalimat narasi di sampul belakang buku.  Ini pertama kalinya saya membaca karya dari Boy Candra. Sebuah novel yang cukup renyah untuk dicerna. Hanya perlu waktu setengah hari untuk menyelesaikan buku setebal 284 halaman ini. Berlatar belakang dunia perkuliahan, tokoh Kevin, Nara, Juned, dan Tiara dipertemukan. Kevin dan Nara sudah bersahabat sejak kecil. Diam-diam ia memendam perasaan pada Nara. Nara yang tidak tahu bahwa Kevin punya perasaan lebih padanya, pernah meminta Kevin untuk menjadi sahabat selaman...

Sebuah Nasihat yang (Tidak) Perlu Dimasukkan ke Hati

Jarang-jarang temanku berpendapat sebegini panjangnya. "Ning, selama berhubungan dengan manusia; ketulusan itu utopis banget. Apalagi zaman sekarang. Naif namanya kamu percaya dengan hal itu. Nih ya, mungkin kamu engga sadar; sebenernya orang-orang yang memberi kebaikan mereka ke kamu diam-diam mereka sedang menganggapmu seperti celengan. Suatu saat mereka pasti akan meminta kembali kebaikan itu darimu dalam bentuk yang lain. Lalu ketika kamu tidak bisa atau memilih untuk tidak ingin mengembalikan itu; mereka mulai mengungkit-ungkit aset apa yang sudah ditanamkannya  kepadamu. Kemudian dengan bias, kamu dianggap tidak sadar diri, tidak tahu balas budi, tidak tahu caranya bersyukur pada mereka. See??? Waspada saja kalau banyak orang baik yang terlalu baik disekitarmu, ingat ya; di dunia ini tuh gak ada yang mananya gratisan. Jangan percaya, bohong! Mungkin mulanya kamu sulit melihat ujungnya, tapi pasti ada yang tersembunyi dibalik itu. Terserah sih ma...

Happiness Is

Psikologi positif pada awalnya dicetuskan oleh Martin Seligman. Psikologi positif memandang pada dasarnya manusia itu mencari kebahagiaan ( happiness ).  Psikologi positif memusatkan diri kepada keutamaan-keutamaan manusia, hidup dengan moralitas, tahu yang baik dan yang buruk. Karena itu secara keseluruhan mengandalkan akal budi dan nurani. Kalaupun emosi, maka emosi yang dipakai adalah emosi positif. Dalam psikologi positif, seluruh tubuh (jiwa & raga) adalah sumber kekuatan, keutamaan, dan nilai-nilai yang menggerakkan manusia. What is happiness? Happiness atau kebahagiaan itu bukan senang melihat orang menderita dan sengsara ketika melihat orang lain senang. Bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram, bebas dari segala hal yang menyusahkan. Authentic happiness adalah tujuan akhir keberadaan manusia, thrive/flourish adalah tanda dari authentic happiness. Where does happiness come from, Nature or Nurture? Ada dua pendapat dalam membahas keb...