Walaupun banyak
kakak kelasku yang berjilbab, tapi dikelasku, aku masih merasa menjadi
minoritas alias limited editon.
Setiap jum’at siang, aku dan beberapa teman sekelasku mengikuti mentoring.
Dimentoring ini kami dianjurkan memakai jilbab, senangnya, setidaknya disini
aku tidak menjadi minoritas.
“Ika, nanti temani
aku ya sepulang sekolah!” pinta aya, teman sekelasku.
“Boleh, tapi
kemana dulu?” aku penasaran.
“Beli kerudung,”
sahut Ebi.
“hhe? Kalian mau
pake kerudung !”
“iya, udah jangan
keras-keras, lagi rame ni di kelas.” Jawab Novia sambil mencubit pipiku. Siang
itu, hatiku berbunga-bunga. Tak kusangka tiga teman sekelasku akan memakai
jilbab.
Esoknya, kulihat
mereka telah mengenakan jilbab. Aya yang lemah lembut, Ebi yang lugu, dan Novia
yang tomboy kini terlihat menyilaukan dengan jilbab barunya. Ini sensasi yang
berbeda. Kami berempat jadi seperti provokator dan agen promosi jilbab dikelas.
Tahun kedua, kami
berbeda kelas. Ketiganya memilih jurusan IPS, dan aku di jurusan IPA. Di akhir
semester kedua, ada adik kelasku yang mengutarakan bahwa dirinya ingin
berjilbab. Subhanallah! Setiap ada
yang ingin berjilbab, hatiku sumringah. Ada
kebahagiaan yang terselip di hati ini. Rasanya seperti addicted. Aku teringat oleh pesan dari mentorku : sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya, dan saling berlomba-lomba dalam
kebaikan (fastabiqul khairat).
Tahun ketiga, aku
duduk dengan teman yang selama tiga tahun menjadi teman sekelasku, namanya Ayu.
Dia anak yang manis, dan aku selalu saja mengganggunya. Disetiap kesempatan
selalu kukatakan, “Ayu kapan nih pake kerudung?”, “Ayu cantik deh kalau pakai kerudung!” “Ayu !
kutunggu lhooo jilbabmu…” dan sederet kata manis lainnya.
Hingga akhirnya suatu hari dia berbisik
ditelingaku, “aku mau pakai jilbab!” Refleks aku memeluknya. Hari ini ada satu
lagi kebahagiaan dihari-hariku. Rasanya senang sekali. Semoga Allah meridhoi
jilbab ini dan memudahkan langkah kami di jalan-Nya.
------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar